tirto.id - Ada 68 pasangan calon dari jalur independen atau perseorangan pada Pilkada 2020, tapi hanya enam di antaranya yang menang, menurut rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum.
Keenam paslon independen yang menang itu Romi Hariyanto-Robby Nahliyansyah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi; Wahdi-Qomaru Zaman di Kota Metro, Lampung; dan Syamsul-Hendra di Rejang Lebong, Bengkulu.
Kemudian, Aulia Oktafiandi-Mansyah Sabri di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan; Hendrik Syake Mambor-Andarias Kayukatui di Teluk Wondama, Papua Barat; dan Untung Tamsil-Yohana Dina Hindom di Fakfak, Papua Barat.
Pendeknya, persentase kemenangan seluruh paslon independen hanya 8,8 persen.
Persentase kemenangan calon independen menurun drastis dibandingkan Pilkada 2015. Berdasarkan survei Skala Survei Indonesia (SSI), ada 35 persen calon independen Pilkada 2015, antara lain 14,4 persen menang.
Selain persentase kemenangan yang menurun drastis, beberapa paslon independen mengalami kekalahan tragis.
Misalnya, di Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara, ada tiga calon independen yang maju. Ketiganya kalah, bahkan salah satunya (Maslin Pulungan-Fery Andhika Dalimunthe) hanya mendapat 4.699 suara (3 persen dari keseluruhan pemilih).
Kekalahan tragis lain dialami paslon independen Bagyo Wahyono-FX Suparjo (Bajo) di Kota Surakarta. Mereka kalah melawan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Kekalahan mereka diwarnai dugaan ada makelar KTP. Dugaan semakin menguat setelah perolehan suara yang diperoleh mereka kurang dari jumlah KTP pendukung yang mereka kumpulkan.
Syarat Berat. 'Parpol Dikuasai Oligarki'.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Hasanudin, mengatakan sejak pilkada langsung diselenggarakan kali pertama, para calon independen memang sulit menang.
“Calon independen memang sedikit atau sulit menang. Itu karena demokrasi kita dikuasai dan didominasi oleh partai politik,” katanya, Jumat pekan lalu.
Para paslon independen tumbang karena kebanyakan lawan mereka adalah petahana dan didukung oleh banyak parpol. Berdasarkan data Pilkada 2020, terdapat 80 petahana maju lagi.
Secara umum, kekuatan calon independen tak merata. Lawan-lawan mereka menguasai jaringan politik hingga level RT/RW. Kepala desa juga ditengarai berpihak pada petahana.
“Demokrasi saat ini lebih memihak pada partai politik yang dikuasai oligarki dan dinasti politik, sehingga ruang calon independen untuk menang itu kecil,” ujar Ujang.
Menurut dia, harus ada perubahan regulasi bila hendak memudahkan calon independen. Ujang menilai aturan untuk calon independen disengaja sulit oleh pembuat undang-undang yang tak lain adalah anggota DPR.
Ihsan Maulana, peneliti Kode Inisiatif, mengatakan semakin minim paslon independen dan semakin sedikit yang mampu memenangkan pilkada ini karena syarat yang berat dalam pendaftaran paslon independen.
“Prasayarat dukungan untuk calon independen maju itu memang sangat berat dibandingkan parpol. Kalau parpol tinggal mengonversi kursi di parlemen. Parpol sudah bisa maju asal memenuhi 20 persen,” kata Ihsan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/12/2020).
Sementara calon independen harus mengumpulkan dukungan berdasarkan persentase jumlah penduduk di wilayah tersebut.
Jumlah KTP calon independen beragam berdasar jenis pemilihan. Kisarannya antara 6,5 persen-10 persen dari jumlah pemilih. Syarat awal sudah berat. Pendukung yang dikumpulkan berdasarkan KTP belum tentu memilih calon independen.
Calon independen lolos pendaftaran juga dihadapkan pada situasi berat pula. Mereka makin kesulitan untuk menang karena tak memiliki konsolidasi, dukungan dan dorongan masyarakat seperti para paslon yang diusung partai politik.
Hal itu terbukti karena mayoritas paslon yang menang di Pilkada 2020 adalah mereka yang diusung oleh partai-partai besar, menurut Ihsan.
“Ini menggambarkan bagaimana sebetulnya struktur [yang dimiliki partai] itu sangat dominan di Pilkada 2020,” katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Zakki Amali