tirto.id - Dana kampanye yang besar ternyata tak menjamin pasangan calon menang di Pilkada 2020, yang hari pencoblosannya dilakukan pada 9 Desember lalu. Ini terjadi di tiga kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Dana kampanye di tiga kabupaten tersebut yang dilaporkan oleh sembilan pasangan calon jumlahnya mencapai Rp22,9 miliar. Pengeluaran oleh paslon di Gunungkidul Rp17,22 miliar, Bantul Rp1,97 miliar, dan Sleman Rp3,78 miliar. Dua paslon dengan pengeluaran terbesar dipastikan kalah.
Pilkada Kabupaten Gunungkidul, yang perputaran uangnya terbanyak, diikuti empat paslon. Nomor urut pertama, Sutrisna Wibawa-Mahmud Ardi Widanto, melaporkan pengeluaran sebesar Rp3,88 miliar. Kemudian paslon nomor 2, Immawan Wahyudi-Martanty, Rp232 juta. Paslon nomor urut 3 Bambang Wisnu Handoyo-Benyamin Sudarmadi sebanyak Rp7,9 miliar. Paslon terakhir, Sunaryanta-Heri Susanto, pengeluarannya Rp5,1 miliar.
Sunaryanta, mantan anggota TNI berpangkat mayor, berhasil mengumpulkan suara terbanyak. Hasil rapat pleno rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Gunungkidul, Sunaryanta-Heri meraih 155.878 suara, unggul 11.866 suara dari pesaing terdekatnya Sutrisna-Mahmud yang memperoleh 144.012 suara.
Bambang-Benyamin yang melaporkan pengeluaran dana kampanye terbesar kalah. Mereka hanya menempati posisi tiga dengan raihan 116.881 suara.
Ketua Tim Pemenangan Bambang-Benyamin, Endah Subekti Kuntariningsih, mengakui kekalahan. Namun ia menyebut besaran anggaran kampanye yang dilaporkan tak dapat jadi tolok ukur. Menurutnya belum tentu paslon lain melaporkan dana kampanye secara transparan, memasukkan semua variabel pengeluaran ke dalam laporan. Dengan kata lain, bisa jadi yang lain lebih besar.
“Kita bisa lihat dari surat izin pertemuan, berapa titik pertemuan dan setiap titik membiayai berapa orang. Kalau semua paslon mau jujur. Dan saya rasa paslon yang paling logis [laporan pengeluaran dana kampanyenya], ya, kami,” kata Endah saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/12/2020).
Situasi serupa terjadi di Bantul. Ada dua paslon yang bersaing. Nomor urut 1 Abdul Halim Muslih-Joko Purnomo dan nomor urut 2 Suharsono-Totok Sudarto. Abdul-Joko melaporkan pengeluaran Rp676 juta, sementara Suharsono-Totok Rp1,29 miliar.
Pengeluaran lebih besar besar tak berbuah kemenangan untuk Suharsono, yang berstatus petahana. Dari hasil rapat pleno rekapitulasi KPU, mereka hanya memperoleh 228.407 suara, sementara Halim, sebelumnya wakil Suharsono sebagai Wakil Bupati Bantul, meraih 305.263 suara.
Wakil Ketua Tim Kampanye Suharsono-Totok, Amir Syarifudin, mengatakan pengeluaran mereka yang jumlahnya Rp1,2 miliar wajar dan logis. Namun tidak seperti Endah Subekti, dia bilang memang perlu ada evaluasi mengapa bisa kalah dari lawan yang dana kampanyenya lebih kecil. “Kami harus mengevaluasi tim internal Suharsono-Totok, plus minus[nya],” ujar Amir kepada reporter Tirto, Jumat (18/12/2020).
Suharsono sendiri, di hari pencoblosan, sudah menyatakan siap jika memang harus kalah. “Ini, kan, berkompetisi sehat. Namanya kompetisi pasti ada yang kalah dan menang,” katanya, mengutip Antara.
Beda dengan Bantul dan Gunungkidul, di Sleman, pemenang adalah paslon yang mengeluarkan dana kampanye terbesar.
Ada tiga palon yang bersaing merebutkan kursi bupati dan wakil bupati. Paslon nomor 1 adalah Danang Wicaksana-Agus Choliq. Mereka melaporkan pengeluaran sebesar Rp458.Juta. Paslon nomor 2, Sri Muslimatun-Amin Purnama, melaporkan pengeluaran Rp1,6 miliar. Kemudian paslon nomor 3, Kustini Sri Purnomo-Danang Maharsa, mengeluarkan dana paling banyak, Rp1,72 miliar.
Kustini, istri Sri Purnomo, Bupati Sleman yang saat ini menjabat, menjadi pemenang dengan raihan 217.921 suara berdasarkan hasil rapat pleno KPU Sleman.
Faktornya Memang Banyak
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi mengatakan dana kampanye yang dilaporkan oleh paslon ke KPU belum tentu benar-benar sebesar yang dikeluarkan. Ada pengeluaran dana kampanye secara informal, misalnya pemberian barang atau dana komitmen untuk membantu masyarakat.
“Dana yang dilaporkan itu hanya yang selama masa kampanye dan untuk kegiatan kampanye, padahal banyak kegiatan sebelum itu dan bentuk pengonsolidasian massa. [Itu] tidak selalu dilaporkan,” kata Wawan saat dihubungi reporter Tirto, Jumat. “Yang tau persis dana yang dikeluarkan, ya, masing-masing paslon sendiri.”
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, yang publikasi terakhirnya di jurnal berjudul “Programmatic Politics and Voter Preferences: The 2017 Election in Kulon Progo, Yogyakarta”, mengatakan besaran dana kampanye memang tidak selamanya berbanding lurus dengan suara yang didapat. Faktor keterpilihan tak hanya soal banyaknya dana, tetapi juga soal jejering politik dan popularitas.
Kasus di Bantul misalnya. Wawan melihat pemenang, Halim-Joko, telah memiliki jejaring sosial yang lebih kuat dibandingkan Suharsono-Totok. Pengeluaran Halim-Joko bisa jadi lebih sedikit karena memang dia sudah dikenal. Sementara Suharsono-Totok yang jejaringnya lebih lemah harus bekerja lebih ekstra untuk memperkenalkan diri dan meyakinkan masyarakat.
Begitu pula di Gunungkidul. Kenapa Bambang-Benyamin pengeluarannya besar, itu karena menurutnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk membangun popularitas. Ia melihat paslon ini juga tidak memiliki modal sosial yang kuat.
“Memang biaya politik untuk kampanye itu penting, tapi itu tidak cukup. Uang atau biaya kampanye ini cara untuk menggerakkan sesuatu yang sudah ada atau cara membangun sesuatu yang belum ada. Jadi beban biaya berlipat bagi calon yang menggerakkan sesuatu atau membangun yang belum ada,” kata Wawan.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino