tirto.id - Popularitasnya memang fluktuatif. Terkadang menurun, tak jarang pula stagnan. Namun, gaya modifikasi cafe racer masih menjadi salah satu yang paling populer di Indonesia.
Diwartakan Katadata, pegiat modifikasi sepeda motor di Indonesia menyebut ada tiga gaya atau konsep yang masih menjadi idola tahun ini. Selain cafe racer, ada pula scrambler dan bobber. Ketiganya merupakan gaya modifikasi old school alias klasik.
Setang bongkok, tangki panjang, dan ekor lancip. Begitulah ciri khas motor modifikasi bergaya cafe racer yang paling mudah dikenali. Kebanyakan motor bergaya cafe racer juga tidak menyediakan tempat untuk penumpang. Pasalnya, motor cafe racer memang dimodifikasi untuk mengejar kecepatan. Maka komponen-komponen yang dirasa "tidak perlu" pun dipreteli.
Bilamana gaya modifikasi cafe racer mulai masuk ke Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun, seturut majalah daring Yomamen, popularitasnya mulai menanjak pada awal dekade 2010-an. Sejak saat itu, gaya ini tak pernah kehilangan peminat.
Trennya memang mengalami pasang naik dan turun. Namun, seperti yang dikatakan Wahyu Diwa, builder Diwa Creative Studio asal Depok, Jawa Barat, kepada Kompas, "Yang menurun itu sebetulnya yang ikut-ikutan, sedangkan yang die hard tetap main cafe racer."
Bermula di Britania Raya
Kendati belum terlampau lama populer di Indonesia, gaya cafe racer sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Langgam modifikasi ini mulai muncul di Britania Raya pada akhir dekade 1950-an. Popularitasnya tak bisa dipisahkan dari pesatnya pertumbuhan ekonomi Britania Raya pasca-Perang Dunia II.
Pada masa itu, Britania Raya tengah melakukan pembangunan ulang. Pemerintah membuat kebijakan pembukaan lapangan kerja selebar-lebarnya dan menghapus kebijakan penjatahan komoditas. Hasilnya, ekonomi kerajaan mengalami masa keemasan.
Banyak anak muda Britania Raya yang ketika itu akhirnya bisa memiliki uang. Kebanyakan dari mereka adalah bujangan-bujangan yang masih doyan sekali nongkrong dan bersenang-senang bersama teman sebaya. Di saat orang-orang yang lebih tua mulai ramai membeli mobil, mereka punya pilihan sendiri: sepeda motor.
Pundi-pundi uang milik Norton, Royal Enfield, BSA, dan Triumph pun menggemuk seketika. Para bujangan Britania Raya keranjingan sepeda motor dan mereka mengekspresikan hasrat jiwa mudanya melalui motor. Hasrat itu adalah kebut-kebutan.
Jangan pikir balap liar tak pernah ada di negara dunia pertama macam Britania Raya. Pada pengujung dekade 1950-an itu, banyak pemilik sepeda motor yang menghabiskan waktu luang mereka dengan mengikuti balapan liar. Biasanya, balapan ini mereka lakukan dari kafe ke kafe.
Saat itu, Ace Cafe di Wembley, London Utara, jadi tempat nongkrong paling populer di kalangan anak motor.
Selain beradu kecepatan, bentuk balapan lain yang populer adalah berbasis time trial. Pertama, para pemilik motor memutar lagu berdurasi sekitar dua menit di jukebox kafe. Setelah itu, mereka ajan menggeber motornya melewati jembatan, bundaran, sebelum akhirnya finis di kafe tongkrongan. Yang dianggap sebagai pemenang adalah mereka yang bisa finis sebelum lagu selesai.
Ajang balap liar itu kemudian memunculkan golongan elite yang disebut The Ton Up Boys. Hanya orang-orang yang bisa menembus kecepatan 100 mil/jam (160 km/jam) yang berhak untuk mendaku sebagai salah satu anggota The Ton Up Boys.
Di Britania Raya, angka 100 secara kolokial disebut sebagai “satu ton". Dari itulah, sebutan The Ton Up Boys berakar.
Kafe jelas menjadi elemen terpenting dari kultur anak motor Britania Raya di masa itu. Maka gaya modifikasi yang mereka gunakan untuk mengoptimalkan kecepatan motornya kemudian disebut cafe racer. Mereka yang pertama kali menggunakan gaya modifikasi ini sungguh-sungguh merupakan pembalap (yang nongkrong di) kafe.
Seperti halnya tongkrongan anak muda di mana pun, anak-anak motor Britania Raya ini juga menghasilkan sebuah subkultur bernama Rockers. Mereka berdandan layaknya Marlon Brando di film The Wild One—dengan jaket kulit, sepatu bot riding, dan rambut pompadour. Musik-musik yang mereka dengarkan adalah rock 'n roll, di mana Eddie Cochran, Gene Vincent, Bo Diddley, Billy Fury, dan Johnny Kid jadi idola utama.
Anak-anak muda Rockers memiliki rival bernama Mods yang sama-sama hobi mengendarai sepeda motor. Bedanya, sepeda motor yang dikendarai para Mods adalah skuter dan musik yang mereka dengarkan lebih mengarah ke jazz, ska, serta soul. Gaya berpakaian para Mods pun, mulanya, lebih rapi dengan setelan jas sebelum berganti dengan paduan celana jin, kaus polo, jaket besar, dan working boots.
Kreativitas sebagai Bahan Bakar
Benturan rivalitas antara para Rockers dan Modskerap kali pecah menjadi perkelahian. Tak sedikit pula yang harus mendekam di tahanan karena melakukan aksi kekerasan. Meski begitu, bukan berarti semua tindak-tanduk mereka layak dikutuk.
Kreativitas adalah dasar dari segala kultur para Rockers. Bahkan, saking kreatifnya, mereka sampai bisa menciptakan sepeda motor hasil kombinasi. Triton, misalnya, merupakan kombinasi antara Triumph dan Norton. Anak-anak itu sukses mencangkokkan mesin motor Triumph Bonneville ke rangka motor Norton Featherbed.
Bisa dibilang, Triton adalah "varian" motor paling populer di kalangan anak-anak Rockers. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa Triton adalah motor cafe racer pertama yang pernah ada. Akan tetapi, klaim itu belum bisa benar-benar dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.
Selain Triton, di masa yang hampir bersamaan, lahir pula varian-varian seperti Tribsa (Triton & BSA) serta NorVin (Norton dan Vincent).
Ketika subkultur Rockers menjadi sangat besar di Britania Raya, pengikutnya pun bukan lagi anak-anak muda biasa. Para pesohor, seperti Elizabeth Taylor, Putri Margaret, dan Sir Cliff Richard, pun merupakan bagian dari subkultur ini. Mereka semua merupakan anggota dari Club 59.
Club 59 didirikan oleh seorang pendeta bernama Bill Shergold. Semula, dia iseng-iseng main ke Ace Cafe dan mengundang sejumlah Rockers untuk bertandang ke kafe miliknya.
Awalnya, para Rockers memandang Shergold sebelah mata. Beberapa dari mereka pun memutuskan untuk datang ke tempat milik Shergold dengan maksud untuk mengolok-olok sang pendeta. Namun, betapa terkejutnya mereka ketika melihat kafe Shergold yang memiliki parkiran sangat luas, jukebox, meja ping pong, meja biliar, dan bar.
Akhirnya, kafe yang ternyata didirikan oleh gereja itu pun berubah menjadi tongkrongan baru yang melahirkan Club 59. Hingga kini, Club 59 masih eksis dan beranggotakan lebih dari 30 ribu orang dari seluruh dunia.
Sama halnya dengan Club 59, gaya modifikasi cafe racer pun turut mendunia. Sejak dekade 1970-an, demam cafe racer telah menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Utara dan Asia Timur. Dari Amerika Serikat, pabrikan Harley-Davidson akhirnya ikut bermain di gaya cafe racer dengan merilis Harley-Davidson XLCR pada 1977. Dari Jepang, ada Honda GB500 TT yang juga bergaya cafe racer.
Seturut Rider Magazine, ada alasan khusus mengapa Honda menamai motor cafe racer-nya dengan nama "GB500 TT". Jika dirinci, GB merupakan singkatan dari "Great Britain", bilangan 500 merujuk pada kapasitas mesin (500 cc), sementara TT merujuk pada ajang balap motor Isle of Man Tour Trophy.
Ketika disebarkan pertama kali ke Eropa Daratan, seturut majalahPopular Mechanics(September 1973), gaya cafe racer disebut sebagai "motor yang digunakan oleh para pebalap di ajang Isle of Man TT". Informasi tersebut lantas sampai pula ke Jepang dan menjadi inspirasi bagi nama produk motor keluaran Honda tersebut.
Hingga kini pun, masih banyak pabrikan yang merilis motor dengan gaya cafe racer. Di Indonesia, misalnya, ada Kawasaki W175 yang salah satu variannya terinspirasi dari cafe racer.
Meski begitu, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa cafe racer bukanlah sekadar model atau jenis motor. Cafe racer pada prinsipnya adalah gaya yang lahir dari semangat zaman dan kreativitas. Selama semangat itu masih terus dihidupkan dan ditularkan, gaya ini takkan pernah lekang.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi