tirto.id - Elemen buruh akan berunjuk rasa di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, besok, Rabu (17/7/2024). Mereka akan menyampaikan tuntutan soal pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
"Jumlah massa aksi diperkirakan mencapai ribuan orang," sebut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dalam keterangan yang diterima, Selasa (16/7/2024).
Said menyebutkan, titik kumpul aksi akan berlangsung di kawasan Patung Kuda Jaya Wijaya. Menurutnya, unjuk rasa itu akan berlangsung mulai 09.00 WIB.
Kata Said, ada tiga isu yang akan diangkat elemen buruh saat unjuk rasa besok. Pertama, soal pencabutan UU Cipta Kerja. Lalu, penghapusan sistem outsourcing dan penolakan sistem pemutusan hubungan kerja.
Ketiga, pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Said menyatakan, setidaknyaa ada sembilan alasan mengapa buruh mengajukan judicial review ke MK. Pertama, UU Cipta Kerja dinilai mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah, mengancam kesejahteraan buruh dengan kenaikan upah yang kecil dan tidak mencukupi.
"[Lalu], outsourcing tanpa batasan Jenis pekerjaan, tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing, sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh. Ini sama saja menempatkan negara sebagai agen outsourcing," tuturnya.
Kemudian, soal kontrak yang berulang-ulang dalam UU Cipta Kerja disebut memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja.
Said turut menyoroti soal pesangon yang murah. Menurut dia, pesangon yang diberikan hanya setengah dari aturan sebelumnya. Hal ini akan merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.
Poin selanjutnya, yakni soal PHK yang dipermudah membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam posisi rentan.
"Pengaturan jam kerja yang fleksibel, tidak menentu, menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi," sebut Said.
"[Kemudian] soal pengaturan cuti, tidak adanya kepastian upah selama cuti, khususnya bagi buruh perempuan, menambah kerentanan dan diskriminasi di tempat kerja," sambungnya.
Dalam kesempatan itu, Said juga menyinggung soal tenaga kerja asing. Katanya, peningkatan jumlah tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal.
"[Poin terakhir], hilangnya sanksi pidana. Penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak buruh memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar tanpa konsekuensi hukum berat," ucap Said.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Anggun P Situmorang