tirto.id - Minggu, 31 Maret 2019, Turki mengadakan pemilu lokal Turki untuk memilih 50.236 kepala daerah yang terdiri dari 32.046 pemimpin kota madya dan 18.190 pemimpin desa. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang diketuai langsung oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan memenangkan 51 persen suara nasional.
Tapi kemenangan AKP tak membuat Erdogan dan petinggi partai senang. AKP kalah dalam pemilihan walikota di tiga kota besar: Ankara, Istanbul, dan Izmir. Penduduk di kota-kota yang beberapa tahun terakhir ini menjadi lumbung suara AKP itu kini memenangkan kandidat-kandidat Partai Rakyat Republik (CHP), partai oposisi sekuler dan kiri-tengah.
Erdogan dan para petinggi AKP ternyata tak legowo menerima kekalahan AKP terutama di Istanbul dan Ankara.
Di ibukota Turki Ankara, Mansur Yavaş dari CHP unggul dengan 1.662.183 suara. Ia mengalahkan Mehmet Özhaseki dari AKP yang meraup 1.537.694 suara. Sekretaris Jenderal AKP Fatih Sahin menuduh ada kecurangan dan kertas suara yang tidak sah di sebagian besar TPS. Ia menyatakan akan menggugat hasil pemilu secara hukum.
Tuduhan pemilu curang paling keras digaungkan di Istanbul. Ada lebih dari 10,5 juta warga Istanbul yang punya hak untuk memilih walikota. Ekrem İmamoğlu dari CHP keluar sebagai walikota terpilih. Dengan selisih 13.729 suara, ia berhasil mengalahkan Binali Yıldırım, mantan perdana menteri Turki yang diusung AKP .
Beberapa hari setelah pemilu, Erdogan mengumumkan telah terjadi kecurangan dalam pemilu Istanbul. Erdogan ngotot menklaim telah terjadi "ketidakberesan secara masif". AKP menuduh para pejabat Badan Pemilihan Turki (YSK) telah menguntungkan pihak oposisi dan menuntut hasil pemilu 31 Maret dibatalkan.
Surat kabar pro-pemerintah seperti Daily Sabahmenuding pemilu Istanbul “kudeta lewat kotak suara” dan mengklaim adanya keterlibatan kekuatan asing.
Ujung-ujungnya AKP minta agar pemilu Istanbul diulang. "Rakyat saya berkata kepada saya: 'Tuan Presiden, seharusnya diadakan pemilu ulang'," ujar Erdogan percaya diri, dilansir dari AFP pada Sabtu (4/5). "Mari, kita penuhi apa yang menjadi keinginan rakyat," lanjutnya.
Desakan AKP dan Erdogan agar pemilu diulang tak cuma gertak sambal. Pada Senin (6/5) YSK tunduk dan mengumumkan pemilu ulang di Istanbul akan diadakan pada 23 Juni 2019.
YSK menerima tuduhan AKP bahwa sejumlah pejabat dan staf pemungutan suara yang bertugas selama pemilihan bukan dari kalangan pegawai negeri sehingga dianggap melanggar hukum.
Erdogan menyambut baik keputusan pemilu ulang. "Kami percaya ada korupsi terorganisir, penyimpangan, dan kekacauan total dalam pemilihan di Istanbul," kata Erdogan di hadapan anggota AKP dalam pidato yang disiarkan di TV, Selasa (7/5), dikutip dari Agencia EFE.
Meski kemenangan CHP dibatalkan, pihaknya tetap akan mengikuti pemilihan ulang meski tetap mengecam keras tindakan AKP yang dianggap tak siap mengikuti pemilihan demokratis dan menciderai prinsip kebebasan untuk memilih.
Ribuan warga Istanbul yang tak senang dengan keputusan AKP untuk mengulang pemilu memprotes dengan cara memukul-mukulkan panci dan wajan dari balkon rumah. Sedangkan para pengemudi kendaraan di jalan membunyikan klakson.
Eropa turut mengecam. Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menyebut keputusan pemilu ulang tidak transparan dan tak dapat dipahami. Anggota parlemen Belgia Guy Verhofstadt bahkan menyebut Turki sedang bergerak menuju kediktatoran.
Istanbul Simbol Politik Islamis
Pemilu Turki 2019 bukan pemilu presiden, melainkan kepala daerah. Tapi, kenapa Erdogan terlihat panik saat kandidat partainya kalah di sejumlah kota besar di Turki?
Ada sederet alasan mengapa Istanbul menjadi pusat ketegangan pemilu 2019
Selain berstatus kota terbesar di Turki, Istanbul adalah jantung politik, budaya, dan perekonomian Turki. Menjadi walikota Istanbul berarti mengawasi anggaran sekitar 24 miliar lira (3,9 miliar dollar AS) atau sepertiga dari pengeluaran ekonomi nasional Turki. Selama 25 tahun terakhir, pemilihan walikota Istanbul selalu dimenangkan oleh kandidat dari partai-partai Islamis, termasuk AKP.
Erdogan juga lahir dan besar di Istanbul. Karir politiknya dimulai dari kota ini. Pada 1994, ia terpilih sebagai walikota Istanbul. Diusung partai Islamis Refah, Ergogan menjabat walikota hingga 1998.
Karir Erdogan terus melejit seiring dengan naiknya popularitas AKP. Ia memimpin AKP selama 13 tahun (2001-2014), menjadi perdana menteri (2003-2014), presiden Turki sejak 2014. Ia kembali merangkap memimpin AKP sejak 2017.
Istanbul adalah dapur pacu bagi partai anak kandung Ikhwanul Muslimin ini. Merujuk keterangan Bariş Yarkadaş, mantan anggota parlemen AKP yang kini bergabung ke CHP, sumber utama pendapatan dan pembiayaan gerakan politik AKP berasal dari Istanbul. Sejumlah besar anggaran negara yang dialokasikan untuk Istanbul disalurkan ke badan amal dan yayasan yang terkait dengan AKP untuk biaya operasional partai.
Laporan jurnalis senior Turki Sibel Hurta untuk Al-Monitor menyebut beberapa yayasan yang dimaksud, di antaranya Ensar Foundation dan Yayasan Layanan Pendidikan dan Pemuda Turki. Lewat yayasan-yayasan itulah AKP melakukan pengkaderan di akar rumput, memberikan bantuan pokok, beasiswa, mendirikan sekolah dan asrama, serta memperkenalkan garis perjuangan politik Ikhwanul Muslimin. Mereka membentuk dan mempersiapkan apa yang disebut Erdogan sebagai masyarakat "generasi saleh".
Singkatnya, berbagai yayasan yang terafiliasi dengan AKP itulah yang selama ini memainkan peran sentral dalam menjaga dan melipatgandakan basis massa Islamis AKP selama hampir 17 tahun berkuasa.
Dalam setahun terakhir, dana negara yang digelontorkan ke berbagai yayasan terkait AKP adalah sekitar 340 juta lira Turki atau setara dengan 57,2 juta dolar AS. Selain tidak etis dan menyalahgunakan kekuasaan, kebijakan itu kontroversial karena hampir semua penerima manfaat bantuan itu adalah pendukung AKP.
Jika kursi walikota Istanbul jatuh ke İmamoğlu, merujuk pada hasil pemilu 31 Maret, pemimpin CHP Kemal Kilicdaroglu optimis walikota Istanbul yang baru bisa menghentikan praktik aliran dana ke yayasan AKP. Dalam pidato kemenangannya, İmamoğlu bahkan menyebut rezim AKP yang hanya melayani individu dan kelompoknya sendiri "sudah berakhir".
Museum Hagia Sophia yang menjadi ikon kota kelahiran Erdogan juga tak luput menjadi arena pertarungan politik Islamis. Bangunan yang mulanya adalah gereja utama Kekaisaran Byzantium itu dialihfungsikan menjadi masjid pada era Kekhalifahan Utsmani dan ditetapkan sebagai museum oleh Mustafa Kemal Ataturk per 1935.
Namun, kalangan Islamis, konservatif, dan sebagian nasionalis Turki menghendaki agar Hagia Sophia dikembalikan fungsinya sebagai masjid. Beberapa hari menjelang pemilu, Erdogan mengeluarkan pernyataan bahwa status Hagia Sophia sebagai museum bisa berubah. Masalahnya, Erdogan beberapa kali kedapatan menolak usulan pengubahan status Hagia Sophia menjadi masjid dan menyarankan penggunaan Masjid Biru di dekat Hagia Sophia. Namun, perubahan sikap ini dapat dibaca sebagai cara Erdogan dan AKP untuk mendulang suara.
Saking pentingnya Istanbul bagi Erdogan, pria yang pernah menyuruh pegawai istana negara untuk berbusana ala prajurit kesultanan Utsmaniyah ini kelimpungan akibat kalah di kota tersebut.
"Kehilangan Ankara atau Istanbul akan menjadi pukulan psikologis yang besar bagi Erdogan." ujar Kimberly Guiler, peneliti dari Middle East Initiative. "Itu akan merusak kredibilitasnya."
Pemilu Ulang, Siap Kalah?
Keputusan pragmatis AKP dan Erdogan untuk bertarung ulang di Istanbul sebenarnya cukup berisiko.
Dalam opininya untuk Guardian, Sinan Ülgen, kepala lembaga think tank EDAM yang berbasis di Istanbul, menyatakan bahwa basis suara penentu kemenangan kedua partai adalah warga Kurdi. Pihak CHP sebenarnya diuntungkan oleh kecenderungan orang Kurdi untuk mendukung kelompok oposisi. Terlebih lagi, mereka mendapat limpahan suara dari Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang pro-Kurdi.
AKP yang selama ini menempatkan Kurdi sebagai musuh negara karena dianggap tak sejalan dengan nasionalisme Turki, mau tak mau harus bermanis-manis di hadapan warga Kurdi. Namun, langkah ini juga dilematis. Sikap AKP yang melunak pada Kurdi dinilai bakal mengecewakan para pendukun, termasuk koalisi mereka, Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang bercorak ultranasionalis.
Dari segi ekonomi, Turki sedang dilanda krisis ekonomi. Sejak awal hingga pertengahan 2018 lalu, nilai tukar lira terhadap dolar AS anjlok hingga 40 persen yang berdampak pada inflasi, kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok, dan perlambatan ekonomi. Presentase pengangguran naik hingga 11 persen dari Juli hingga September 2018 dan tingkat pengangguran kaum muda Turki usia 15 sampai 24 tahun mencapai 20,8 persen. Pada Desember 2018, ada 4,3 juta orang pengangguran yang butuh pekerjaan.
Tiga hari menjelang pemilu, lira kembali anjlok lima persen. Erdogan meresponsnya dengan menyalahkan Barat, menuduhnya sebagai dalang di balik turbulensi ekonomi Turki beberapa tahun terakhir. Alih-alih memprioritaskan perbaikan ekonomi Turki, Erdogan dinilai lebih mementingkan ambisi politik kelompoknya dan makin menunjukkan diri sebagai pemimpin otoriter.
Editor: Windu Jusuf