tirto.id - Pemilihan Umum Presiden Turki 2018 telah usia diselenggarakan pada Minggu (24/6) kemarin. Recep Tayyip Erdogan keluar sebagai pemenang. Posisinya sebagai orang paling nomor satu di negara tersebut makin langgeng dan kuat.
Dari perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Turki, Erdogan berhasil menang satu putaran. Ia mengantongi 52,6 persen suara dari total 99 persen suara warga Turki yang berpartisipasi.
Jika dalam tingkat pilpres Erdogan berhasil menang mutlak, hasil serupa tidak didapatkan oleh Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), kendaraan politik Erdogan di tingkat parlemen. AKP meraup 42,4 persen suara, angka yang jelas tidak cukup untuk membuat AKP memborong kursi mayoritas di parlemen dan menjadi partai penguasa tanpa mitra koalisi.
Untuk berkuasa tunggal, AKP harus meraup setidaknya 301 dari total 600 kursi parlemen. Nyatanya, dengan hanya bermodal hasil 42,4 persen suara, AKP praktis hanya sanggup menggondol 293 kursi. Partai Gerakan Nasionalis (MHP) selaku pemenang kedua di tingkat parlemen mau tak mau harus digandeng kembali oleh AKP. MHP meraup 11,1 persen suara yang jika dikonversikan ke perolehan kursi parlemen berjumlah 50.
Baik AKP maupun MHP memang punya jejak koalisi. Pada pemilu tahun ini saja, keduanya sudah bersama membentuk poros Aliansi Rakyat sejak Februari lalu dan mengusung Erdogan.
Selain merosotnya suara AKP sebagai partai penguasa besar Turki di tingkat parlemen, hal menarik lainnya dalam Pilpres Turki 2018 kali ini adalah kemunculan Muharrem Ince yang sudah menarik perhatian publik sejak masa kampanye. Ince berasal dari Partai Rakyat Republik (CHP) berhasil tamat di urutan kedua di bawah Erdogan dengan perolehan suara 30,64 persen.
Selama pemilu, Ince vokal menggalang dukungan dari kalangan oposisi Erdogan. Ia kerap memperingatkan bahwa Turki memasuki era berbahaya di bawah rezim Erdogan yang menerapkan pemerintahan tunggal dan mutlak, berkaca pada Referendum Konstitusi 2017 yang diselenggarakan Erdogan untuk membuat dirinya makin superior di Turki.
Kelompok-kelompok pegiat HAM internasional mengkritik bahwa Erdogan telah mengontrol siaran TV dan memberikan sedikit porsi kepada para partai oposisi untuk berkampanye di layar kaca.
Ince sudah mengakui kekalahannya dari Erdogan. "Saya menerima hasil pemilu," kata Ince dalam konferensi pers di markas partainya beberapa jam setelah KPU Turki mengumumkan hasil pemilu. Ince juga menyebut bahwa telah terjadi kecurangan meski kecil.
“Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laporan surat suara resmi dari pejabat kami dengan jumlah yang diumumkan KPU Turki. Perbedaan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hasil. Jadi, saya mengakui hasil pemilu ini,” ujar Ince dilansir dari Hurriyet Daily News.
Lebih lanjut, İnce meminta Erdogan untuk menjadi "presiden semua orang," alih-alih bertindak sebagai kepala AKP saja.
Bagi CHP, partai berhaluan kiri-tengah dan bersandar pada garis sosial demokratik, perolehan suara lebih dari 30 persen ini merupakan yang terbesar sejak 40 tahun terakhir.
Tantangan Ince
Dalam Pilpres Turki 2018 kali ini, petahana Erdogan ditantang oleh lima calon presiden lainnya. Tiga dari enam capres berasal dari partai berhaluan kiri. Selain Ince, adaDogu Perincek dari Partai Patriotik dan Selahattin Demirtas dari Partai Rakyat Demokratik (HDP).
Diantara ketiganya itu, Ince yang sukses meraup suara tertinggi. Perolehan suara lebih dari 30 persen sama artinya dengan dukungan 15 juta warga Turki yang mencoblos Ince.
Hasil tersebut membakar semangat Ince. Ia sendiri bertekad siap menggandakan suara pemilih menjadi 30 juta di pemilu mendatang. Adapun target terdekat dari partainya adalah dengan memenangkan Pilkada Turki yang bakal berlangsung pada Maret 2019 nanti.
Lalu, seperti apa sebenarnya sepak terjang Ince?
Binnaz Toprak, Doktor Ilmu Politik lulusan City University of New York dalam tulisannya yang dimuat The Ahval menyebut, Ince selama masa kampanye sukses menggerakkan dan memobilisasi massa dengan cara-cara yang berbeda dari kandidat oposisi lainnya.
Pernah menjadi guru fisika dan gemar menulis puisi, humor adalah cara Ince membuat segalanya yang tegang di bawah rezim Erdogan menjadi bisa rileks dan ditertawakan. Dalam beberapa tahun terakhir terutama pasca-kudeta 2016 yang gagal, Turki diliputi suasana tegang. Para pemimpin oposisi ditangkapi, kebebasan pers direnggut dan sebagian besar media dibeli pemerintah.
Setelah dirinya diajukan oleh partai sebagai calon Presiden pada awal Mei lalu, Ince tidak ragu mengunjungi setiap lawannya dalam pilpres, tidak terkecuali Erdogan. Ince juga tidak segan menyambangi Selahattin Demirtas, tokoh kiri kharismatik yang dikenal pro-Kurdi dan dijebloskan ke penjara oleh Erdogan. Ia berjanji akan mengembangkan dan memperhatikan wilayah komunitas Kurdi di Turki.
Ince yang sudah duduk di kursi parlemen sejak 2002, kerap melakukan beberapa kegiatan kebudayaan selama kampanye. Ia membaca puisi, menarikan tarian rakyat, sampai naik traktor di sebuah ladang. Pencitraan Ince ini adalah pesan kuat bahwa ia akan membawa kebebasan kembali ke tanah Turki dari cengkeraman ketakutan dan pemberangusan rezim Erdogan.
Sabtu (23/6) lalu, atau sehari sebelum Pilpres Turki 2018 terselenggara, setidaknya ada satu juta orang muncul di distrik Maltepe, Istanbul guna mendengar orasi dan sumpah Ince yang isinya seputar janji untuk memperbaiki salah urus ekonomi dan membereskan keadaan Turki di bawah rezim Erdogan yang otoriter.
"Jika Erdogan menang, ponsel Anda akan terus disadap ... Ketakutan akan terus merajalela.. Jika Ince menang, pengadilan akan independen" tutur Ince berorasi dilansir dari The Irish Sun.
Dalam kampanyenya, Ince juga sempat menyindir Erdogan yang menolak debat langsung yang disiarkan televisi.
"Kami hanya akan bicara tentang ekonomi," teriaknya sambil mondar-mandir di atas bus kampanye di Uskudar, sebuah lingkungan yang dihuni pemilih konservatif dan ditinggali Erdogan sebagaimana dikutip Politico.
Sebenarnya AKP dan Erdogan sudah memperhitungkan kekuatan CHP. Mereka memprediksi CHP bakal mengajukan pemimpin partainya sendiri, Kemal Kılıçdaroğlu. Namun prediksi ini meleset dan mengejutkan banyak pihak ketika Kılıçdaroğlu justru memilih Ince, seorang anggota parlemen CHP yang dikenal vokal dan tak segan mengkritik partainya sendiri.
Hasilnya, Ince lebih terlihat santai selama kampanye pemilu dan menjangkau banyak pihak oposisi Erdogan yang berserak, termasuk yang berada di luar basis partai CHP.
Ince punya latar belakang yang kurang lebih sama sederhananya dengan Erdogan. Seperti dituturkan Halil Karaveli dalam Foreign Affairs, Ia lahir di sebuah desa kecil, berasal dari keluarga yang saleh dan taat mendirikan salat lima waktu dan sebagainya. Ia tak mempermasalahkan jilbab dan orangtua yang mengirim anak-anaknya ke sekolah Islam. Ince juga menghindari kata sekularisme dalam kampanyenya. Inilah yang memungkinkan Ince luwes menjangkau kalangan pemilih agamis meski haluan politiknya sekuler.
"Dia bukan elit, dia anak desa, dia tahu cara naik traktor. Ibunya memakai jilbab. Jadi, dia tidak bisa dilabeli sebagai seorang sekuler elit garis keras. Itu membuat sulit bagi Erdogan untuk menyerangnya." kata Aslı Aydıntaşbaş dari European Council for Foreign Relations (ECFR) mengungkapkan perbedaan mendasar yang dimiliki Ince.
Selama ini kebanyakan partai kiri Turki menempatkan para konservatif kanan Turki dengan reaksioner dan partai kanan justru memanfaatkan itu untuk melawan balik. Hal ini jelas berubah total ketika Ince, dengan segala latar belakangnya, diberi panggung. Sebagai seorang kiri, sekuler dan sosial demokratik, ia bisa bermain lincah di tengah-tengah orang konservatif religius alih-alih reaksioner. Ia sendiri menggambarkan dirinya sebagai "bocah revolusioner dari keluarga konservatif,"
Erdogan dan AKP Gemetar
Awal Mei lalu, empat partai oposisi Turki (CHP, IYI, SP, DP) mengumumkan pembentukan koalisi guna menantang AKP dan Erdogan dalam Pilpres. Mereka membentuk poros Aliansi Nasional sebagai tandingan dari Aliansi Rakyat yang berisi AKP dan MHP.
Melunaknya Erdogan dan AKP terlihat dari beberapa program kebijakannya yang dipengaruhi oleh sikap Ince dan barisan oposisi lainnya.Misalnya ketika Ince dan kandidat oposisi lainnya memutuskan untuk tidak muncul di saluran televisi TRT milik negara, Erdogan mengikutinya.
Ketika Ince dan oposisi lainnya menyatakan akan mengakhiri status darurat sipil sejak 2016 jika terpilih, Erdogan yang semula bersikukuh mempertahankan status tersebut tiba-tiba ikut berjanji bakal mengakhirinya.
Sementara Erdogan merespon anjloknya kondisi perekonomian Turki dengan menyalahkan Barat dan kelompok-kelompok yang ia tuduh sebagai teroris, Ince justru memberikan optimisme. Ia menyebutkan bahwa Erdogan sedang menciptakan ketakutan massal. Sebaliknya, Ince mengajak masyarakat menyongsong Turki memasuki era baru dengan demokrasi, supremasi hukum, ekonomi yang stabil dan tentunya kebebasan yang lebih besar.
Bagi CHP, raihan suara besar di Pilpres kali ini mengingatkan akan kemenangan tunggal partai sosial demokratik yang terakhir diraih pada tahun 1977 silam. Bagaimanapun, harapan Erdogan dan AKP untuk menang mudah di Pilpres Turki kali ini tersandung oleh kemunculan Ince dan kemunculan kandidat-kandidat oposisi lainnya dari partai kiri setelah lama absen.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf