Menuju konten utama

Buat Kilang di AS Dinilai Murah, tapi Minim Efek Jangka Panjang

Investasi kilang minyak di AS dinilai tidak sejalan dengan mendukung ketahanan energi nasional.

Buat Kilang di AS Dinilai Murah, tapi Minim Efek Jangka Panjang
Sebuah truk melintas di dekat area kilang minyak di Pertamina Rifinery Unit III Plaju di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (10/9/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom.

tirto.id - Rencana investasi kilang minyak di Amerika Serikat (AS) oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menimbulkan pro dan kontra.

Di satu sisi, pembangunan di AS dinilai lebih murah secara teknis dan logistik, namun di sisi lain, dampak ekonomi bagi Indonesia, seperti penyerapan tenaga kerja dan penguatan sektor pendukung, justru minim.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, mengakui bahwa membangun kilang di AS lebih ekonomis.

"Secara keekonomian akan lebih 'murah' membangun di AS karena teknologi dan logistik lebih tersedia," ujar Bisman kepada Tirto, Sabtu (2/8/2025).

Namun, ia menekankan bahwa keuntungan jangka panjang atau multiplier effect seperti penciptaan lapangan kerja dan stimulasi industri lokal, hanya bisa diraih jika kilang dibangun di Indonesia.

Sementara jika dibangun di AS, manfaat jangka panjang itu menurutnya akan hilang. Hal ini karena aktivitas konstruksi dan operasional tidak melibatkan rantai pasok Indonesia.

“Dari aspek manfaat akan jauh lebih baik jika investasi kilang di Indonesia karena akan mendapatkan manfaat langsung, dan mendapatkan multiplier effect serta dari aspek ketahanan energi akan lebih baik di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, menyoroti dilema ini. Menurutnya, investasi kilang minyak di AS tidak sejalan dengan mendukung ketahanan energi nasional.

"Rencana Danantara masuk akal dari sudut pandang korporasi global, tapi tidak langsung mendukung ketahanan energi nasional," katanya.

Ali menilai rencana investasi Danantara di AS ini dapat dimengerti jika tujuannya adalah ingin masuk lebih jauh di sektor rantai pasok energi global dan mendekati sumber utama minyak dunia, khususnya di AS.

“Namun, jika sudut pandangnya adalah nasionalisme untuk mewujudkan ketahanan energi Indonesia, hal itu nampaknya terlalu jauh dan tidak akan berdampak langsung,” ucapnya.

Menurutnya, dampak optimal bisa dirasakan Indonesia jika Danantara dapat mengalihkan keuntungan finansial yang diterima atas pembangunan kilang ini kelak untuk membangun infrastruktur dan menguatkan ketahanan energi domestik di Indonesia.

“Atau bisa menguntungkan jika ada komitmen bahwa itu adalah bagian dari proses peningkatan transfer teknologi dari AS ke Indonesia,” tuturnya.

Sebelumnya, Chief Executive Officer (CEO) Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Rosan Roeslani, mengungkapkan pihaknya masih mengkaji rencana investasi pembangunan 17 kilang modular (small modular refineries/SMR) dengan Amerika Serikat (AS).

Dia menjelaskan, rencana lokasi proyek pembangunan 17 kilang modular ini masih dibahas bersama Kementerian ESDM dan juga PT Pertamina sebagai eksekutornya.

“Jadi ini juga masih berlangsung dan kita tentunya ikut dalam proses itu untuk memastikan supaya juga berjalan dengan kriteria yang ada, misalnya contohnya di Danantara,” ucapnya.

Oleh karena itu, sambungnya, hingga saat ini masih terbuka opsi lokasi pembangunan kilang minyak ini, apakah di AS seperti yang santer diberitakan atau di Indonesia.

“Bisa, bisa di Indonesia. Bisa juga potensi kita lihat di luar (AS),” tegasnya.

Adapun, pembangunan kilang minyak ini merupakan hasil kesepakatan dengan AS dalam rangka penurunan tarif resiprokal Indonesia ke 19 persen. Indonesia-AS menandatangani kontrak EPC senilai 8 miliar dolar AS atau senilai Rp131,3 triliun dengan perusahaan asal AS, KBR Inc.

Baca juga artikel terkait ENERGI atau tulisan lainnya dari Nanda Aria

tirto.id - Insider
Reporter: Nanda Aria
Penulis: Nanda Aria
Editor: Bayu Septianto