tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa dua anak usaha PT Pertamina (Persero), yakni PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan PT Pertamina EP, membayarkan dividen menggunakan pinjaman komersial atau utang.
Kondisi ini mengakibatkan beban produksi Pertamina semakin tinggi karena dua anak usaha tersebut harus menanggung beban bunga masing-masing minimal 96,64 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp1,56 triliun (kurs Rp16.200 per dolar AS) dan 41,47 juta dolar AS atau setara Rp671,81 miliar.
“Serta potensi beban bunga di masa yang akan datang atas commercial loan untuk pembayaran dividen yang tidak sesuai ketentuan,” tulis BPK dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2024, dikutip Rabu (28/5/2025).
Sementara itu, menurut BPK pembayaran dividen menggunakan utang oleh PHE dan PEP dapat terjadi karena kewajiban yang harus dijalankan kepada para pemegang saham melampaui kapasitas profitabilitas perusahaan. Meski begitu, BPK tak menjelaskan lebih lanjut kapan pembayaran dividen menggunakan utang ini dilakukan oleh dua anak usaha Pertamina.
Namun, di sepanjang 2024 PHE membukukan pendapatan senilai 12,79 miliar dolar atau sekitar Rp210,3 triliun. Sedangkan, Pertamina EP mencatat pertumbuhan pendapatan sebesar 16 persen di sepanjang 2024 menjadi 348 juta dolar AS.
“Atas permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada: (1) Direksi PT Pertamina agar mempertanggungjawabkan kepada Dewan Komisaris atas kebijakan penarikan dividen yang tidak sesuai pedoman; dan (2) Direksi PT PHE dan Direksi PT PEP agar mempertanggungjawabkan kepada Dewan Komisaris PT PHE dan PT PEP atas penggunaan commercial loan untuk membayar dividen,” kata BPK.
Selain temuan terhadap PHE dan PEP, BPK juga menemukan adanya penurunan nilai aset Pertamina sebesar Rp2,61 triliun karena tidak produktif. Padahal, pada 2023 Pertamina mendapatkan aset dari Penyertaan Modal Pemerintah Pusat (PMPP) berupa aset barang milik negara (BMN) sebesar Rp3,37 triliun.
Penurunan nilai aset ini lantas mengakibatkan timbulnya beban keuangan pada Laporan Keuangan (LK) Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“BPK merekomendasikan agar Menteri BUMN mengevaluasi dampak belum terutilisasinya PMPP dalam bentuk aset yang tidak produktif pada LK BUMN dan apabila ada dampak merugikan bagi BUMN secara material agar mengkomunikasikannya kepada Menteri Keuangan,” tulis BPK.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id






































