tirto.id - Pekerjaan saya sebagai peneliti lepas kerap membawa saya ke berbagai daerah di Nusantara, mempelajari berbagai budaya dan kebiasaan baru. Salah satu yang paling berkesan adalah kesempatan tinggal di Pulau Komodo, tepatnya di Desa Komodo, selama tiga bulan. Desa Komodo sendiri adalah area pesisir yang menjadi satu-satunya zona permukiman di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur.
Kedatangan misi konservasi Taman Nasional Komodo pada awal 1970-an telah menyatukan masyarakat lokal. Awalnya mereka tinggal secara terpencar dan hidup nomaden di Pulau Komodo, lantas berpindah ke lokasi yang saat ini menjadi Desa Komodo. Masyarakat Desa Komodo ini dapat disebut sebagai masyarakat hibrida, karena terdiri atas berbagai sukubangsa, tetapi memiliki satu bahasa percakapan: Bahasa Komodo. Mereka tinggal berbaur sehingga tidak mengelompok berdasarkan sukubangsa dan klan masing-masing.
Ketika pertama datang ke Desa Komodo, saya membayangkan makanan-makanan baru yang dapat saya cicipi selama tinggal di sana. Namun rupanya, mirip seperti di banyak daerah lain dengan aneka sukubangsa yang hidup bersama, jajanan yang tersedia cukup beragam sekaligus umum.
Pada hari-hari biasa, saya kerap menjumpai kudapan seperti yang saya temui di kampung halaman saya. Donat, gorengan, bakso ikan, hingga es kelapa dijajakan oleh warga desa di keseharian. Ini jenis jajanan praktis yang memiliki banyak penggemar. Sementara, selama bulan Ramadan, kudapan-kudapan manis ikut dijajakan di sore hari sebagai teman berbuka.
Pada suatu sore di awal Ramadan, ketika sedang mengantri bakso ikan, saya tertarik pada satu pemandangan berbeda.
Umi Ani menyalakan api seraya mempersiapkan piranti memasak tradisional di depan rumahnya, sesuatu yang tidak pernah saya lihat selama tinggal di desa ini. Tak berselang lama, beliau mengeluarkan baskom berisi adonan tepung. Ketika melihat wajan cetakan kue, saya menduga bahwa Umi Ani akan memasak sesuatu yang manis. Usai membeli bakso ikan, saya pun bergegas menyeberang ke rumah Umi Ani untuk menengok apa yang beliau jajakan.
“Tunggu sebentar ya, Nak. Apinya belum begitu jadi,” ujar Umi Ani ketika saya masuk ke halaman rumahnya.
Umi Ani menumpangkan wajan cetakan kue di atas tiga buah batu. Wajan yang tidak bersentuhan langsung dengan api membuat proses memasak kue menjadi cukup unik. Sementara, tiga tutup wajan yang terbuat dari logam tebal justru dibakar pada tungku api yang membara. Konsepnya mirip seperti pemanasan pada oven. Usai adonan tepung dituangkan ke setiap ceruk wajan, Umi Ani mengganti tutup wajan secara bergantian hingga adonan menggembang. Proses ini memberikan panas yang merata untuk mematangkan kue.
"Ini makanan apa, Umi?"
"Kue bolu," ujar Umi Ani.
Aroma yang menguar perlahan dari sela-sela tutup wajan sangat menggoda, terlebih ketika sudah seharian menahan lapar dan haus. Aroma yang harum dan membuatmu bisa seolah mencecap rasa manis di lidah. Saya membelinya sepuluh buah kue ini, harganya hanya seribu rupiah per potong.
Ketika bolu hangat telah diletakkan dalam wadah daun pisang, Umi Ani lantas menuangkan cairan berwarna cokelat dari sebuah jerigen kecil hingga merendam semua bolu. Saya bergegas pulang ke Umi Hasna, induk semang saya, untuk segera mengganti wadah agar tidak tumpah.
“Hei Larak, kau dapat di mana itu bolu oi? Saya sudah lama tida lihat ini kue,” ujar Umi Hasna melihat saya memasuki dapur rumahnya sambil membawa kue bolu yang asapnya masih sedikit mengepul.
Rupanya, menurut cerita Umi Hasna, kue bolu ini sudah beberapa lama tidak tampak dijajakan di Desa Komodo. Pembuat dan penjual satu-satunya ya Umi Ani, tapi sejak beberapa lama beliau memiliki usaha lain dan tidak bisa berjualan bolu oi. Ini bikin banyak warga merindukan kudapan legit itu.
Bolu oi sebenarnya adalah kudapan khas daerah Bima, Nusa Tenggara Barat. Kata oi dalam bahasa Bima memiliki arti “air”. Ini karena cairan cokelat yang digunakan untuk merendam bolu tadi, yang merupakan kuah gula aren. Rasanya manis, seperti sirup, meresap ke dalam bolu yang bertekstur kering. Seperti banyak makanan Bima, bolu oi masih satu rumpun dengan bolu peca dari Sulawesi, tepatnya Bugis.
Akan tetapi, pembuatan bolu peca dapat dilakukan dengan piranti masak modern yang lebih praktis, yakni menggunakan oven. Bahan baku yang diperlukan adalah telur, tepung beras, air, dan soda kue. Setelah bolu matang, bolu disiram dengan kuah gula aren hingga permukaannya melembek. Kesamaan jenis kudapan ini mengingatkan saya bahwa budaya dan tradisi dapat berdifusi karena masyarakat Nusantara kerap melakukan perjalanan atau perpindahan tempat tinggal secara massal.
Benang merah sekaligus ciri khas dua kudapan ini adalah kuah gula aren itu.
Tibalah waktunya berbuka, saya dan Umi Hasna menikmati bolu oi yang sudah lama menghilang ini. Bolu oi jadi lebih enak ketika sudah terendam penuh di kuah gula aren yang legit. Tekstur dan rasanya jadi sempurna. Dengan menyantap bolu oi berkuah gula aren ini, kami merasa sudah melakukan slogan yang selalu muncul di bulan Ramadan: berbukalah dengan yang manis.
Seiring suapan terakhir, penyesalan pelan-pelan meruak. Diiringi suara latar Umi Hasna, "...bolu oi sudah jarang ditemukan di sini..." yang menggema di dinding kepala.
Aduh, kenapa saya cuma beli 10 potong? []
Editor: Nuran Wibisono