tirto.id - Ketua Umum Bintang Muda Indonesia (BMI) Farkhan Evendi menyayangkan banyaknya kasus terkait lahan pertanian. Bukannya berkurang, kasus sengketa lahan pertanian malah semakin bertambah di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut Farkhan, secara tidak langsung ini bisa menjadi kemunduran dalam bidang pertanian dan penanganan kesejahteraan rakyat petani. Banyaknya lahan produktif yang jadi objek sengketa antara petani dengan pemerintah maupun korporasi besar bisa jadi membuat kedaulatan pangan di Indonesia semakin sulit diwujudkan.
“Bulan lalu ada kasus sengketa tanah di Pancur Batu, Deli Serdang, Sumatera Utara antara Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) dan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) atas lahan seluas 854,26 hektare. Sengketa ini berkaitan dengan Hak Guna Usaha (GHU) yang kurang direspons dengan baik oleh pihak PTPN II sehingga memunculkan konflik dan berdampak kepada para petani," kata Farkhan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (24/09/2020).
Selain itu, Farkhan juga menyebut konflik tanah lain seperti kasus petani di Batang dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah setempat terkait sengketa penetapan tanah menjadi kawasan hutan produksi dan memasukkan lahan petani di surat keputusannya. Dilanjutkan kasus Petani Majalengka dengan Perhutani.
Farkhan menilai, hal itu perlu perhatian dan penanganan khusus terkait sengketa lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Menurutnya, ini bisa menjadi cerminan buruk penataan agraria di Indonesia selama puluhan tahun.
“Karena perlu diingat bahwasanya hasil komoditas pertaniaan menjadi hajat seluruh rakyat Indonesia. Berbicara pertanian tidak bisa dilepaskan dengan lahan pertanian dan petaninya, maka pemerintah harus lebih serius menangani masalah ini," ujar Farkhan.
Melihat kondisi agraria di Indonesia, kata Farkhan, terkesan pemerintah hanya ingin memonopoli bisnis untuk kepentingan negara, tetapi melupakan petani yang seharusnya mereka juga harus diperhatikan dan lindungi.
Menurut dia, terlebih setelah ada rancangan Omnibus Law yang didalamnya juga menyinggung tentang pertanahan menjadikan nasib petani terhadap hak atas tanahnya semakin terancam.
"Petani memang butuh kejelasan status hukum tanah yang dimilikinya, namun bukan berarti diikuti tindakan negara yang justru bisa seenaknya mengklaim tanah petani yang belum tersertifikasi dan menjadikannya aset Bank Tanah. Aturan semacam itu yang tertuang dalam Omnobus Law justru semakin mengancam kehidupan para petani," tutup Farkhan.
Editor: Maya Saputri