Menuju konten utama

21 Tahun UU Pers: Kerentanan Jurnalis Berlipat Ganda

Kekerasan terhadap jurnalis terus muncul setelah UU Pers berusia 21 tahun. Selain itu, ancaman baru terhadap mereka muncul dalam RKHP.

21 Tahun UU Pers: Kerentanan Jurnalis Berlipat Ganda
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berunjuk rasa di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (28/9/2019). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/wsj.

tirto.id - Jurnalis adalah pekerjaan yang rentan. Data-data yang dikumpulkan berbagai lembaga menjadi buktinya.

Sepanjang April 2019-Mei 2020, ada 31 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh anggota Polri, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dua momen kekerasan terjadi ketika jurnalis meliput demonstrasi besar di bulan Mei dan September tahun lalu. Ditarik lebih jauh, medio 2006-September 2020, AJI mencatat ada 785 jurnalis jadi korban kekerasan.

Kekerasan fisik nangkring di nomor satu kategori jenis kekerasan (239 perkara); disusul pengusiran/pelarangan liputan (91); dan ancaman teror (77). Dalam ranah pelaku, 65 orang merupakan anggota polisi, 60 massa, dan 36 orang tidak dikenal.

Sementara dalam Catatan 20 Tahun Reformasi: Kebebasan Berkumpul, Berekspresi, Berpendapat, dan Hak Informasi Masih dalam Ancaman, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebut sejak 2003 sampai 2017, terdapat 732 kasus kekerasan kepada jurnalis secara fisik maupun nonfisik.

Kekerasan termasuk intimidasi, pelarangan liputan, perusakan atau perampasan alat, penghapusan materi liputan, kekerasan verbal, pelecehan seksual, penganiayaan, kriminalisasi narasumber, pelaporan media atau jurnalis ke polisi, gugatan perdata terhadap media atau karya jurnalistik, hingga pembunuhan.

Sementara pelaku kekerasan terhadap jurnalis masih ‘dimenangkan’ oleh, lagi-lagi, kepolisian.

Atas dasar itu semua Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito Madrim mengusulkan nota kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers ‘ditingkatkan’ menjadi peraturan Kapolri.

“Karena kami menilai biasanya jika ada peraturan Kapolri, personel lebih takut ketimbang kesepakatan dengan Dewan Pers yang tidak ada sanksinya,” ujar Sasmito dalam dalam diskusi daring ‘21 Tahun Undang-undang Pers: Potret Pers Indonesia Pasca Reformasi’, Rabu (23/9/2020). “Jika pelaku adalah polisi maka [harus] ada peraturan Kapolri supaya dipatuhi anggota.”

UU Pers diundangkan di Jakata pada tanggal 23 September 1999 oleh Menteri Sekretaris Negara saat itu, Muladi.

Nota kesepahaman Dewan Pers-Polri terdaftar dengan Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Menurut Sasmito, nota ini efektif untuk menyelesaikan sengketa pers. Tapi yang diperlukan lebih dari itu.

Peraturan Kapolri ini dapat mengacu ke Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di sana disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dipidana paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah. “Setiap orang” dalam pasal itu termasuk polisi.

Ketua Komisi Hukum & Perundang-Undangan Dewan Pers Agung Dharmajaya mengatakan nota kesepahaman ini mengatur jika ada sengketa karya jurnalistik yang diberitakan di media berbadan hukum, maka penanganannya harus diserahkan ke Dewan Pers.

“Kepolisian memahami itu, kemudian meminta saran dan pendapat ketika kasus (sengketa pers) dilaporkan oleh masyarakat,” katanya dalam diskusi yang sama. Agung merasa nota kesepahaman ini masih efektif, “tapi perlu intensitas berkelanjutan untuk terus sosialisasi hal itu.”

Terkait isu kekerasan terhadap jurnalis dan usul agar ada peraturan Kapolri baru, menurutnya itu tak perlu karena UU Pers saat ini sudah cukup. Jika pun direvisi, tak ada yang menjamin itu lebih baik.

Usul lain, kedua belah pihak dapat membikin perjanjian kerja sama serupa yang terkait kekerasan terhadap jurnalis. Tak kalah penting bagi jurnalis yakni mematuhi kode etik jurnalistik agar nihil pelanggaran.

Sementara Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono menyatakan peraturan Kapolri dan peraturan kepolisian termasuk turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Atas dasar itu menurutnya permintaan peraturan Kapolri tergantung dari revisi UU Polri dan UU Pers.

“Bila politik hukum ada usulan UU Pers dimasukkan ke UU Polri, maka dapat terbit peraturan [Kapolri/kepolisian],” jelas Awi.

RKUHP yang Berbahaya

Selain soal kekerasan, satu hal lain yang membuat posisi jurnalis kian rentan adalah adanya rencana regulasi yang bertentangan dengan kebebasan pers dan potensial mengkriminalisasi pers. Itu adalah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dibahas DPR.

Pasal-pasal RKUHP yang berpotensi menjerat jurnalis adalah Pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305, 354, 440, 444 dan 451.

Satu contoh pasal 440 terkait pencemaran nama baik. Peneliti dari LBH Pers Mona Ervita mengatakan alih-alih dipidana, pasal ini semestinya diubah jadi perdata. Toh kecenderungan di dunia internasional pun demikian.

“Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan menakutkan, itu tak sejalan dengan semangat demokrasi dan Pasal 6 UU Pers,” kata Mona.

Pasal ini membahayakan pers karena mereka bisa saja disanksi oleh orang-orang yang diberitakan dan merasa terganggu. Padahal pers sendiri berperan mengawasi, mengkritik, dan menyarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

“Sikap DPR dan pemerintah ini dianggap tidak menghormati ‘pers sebagai pilar keempat demokrasi’,” simpul Mona.

Baca juga artikel terkait UU PERS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino