tirto.id - Skandal pemalsuan laporan pendapatan dan penyalahgunaan aset perusahaan Nissan yang menyeret ‘sang Messiah’ Carlos Ghosn ke balik bui di Jepang ibarat membuka kotak pandora. Aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi—khususnya antara Renault dengan Nissan—akhirnya terancam. Mitsubishi kini jadi harapan penopang Nissan.
Pekan lalu Ghosn menunjuk seorang pengacara baru bernama Junichiro Hironaka yang dikenal sukses memenangkan sejumlah kasus tingkat tinggi. Langkah ini diambil menyusul pengunduran diri dua pengacara Ghosn, Motonari Utsuru dan Masato Oshikubo. Motonari sendiri adalah kepala tim pengacara Ghosn.
Seperti dilaporkan Forbes, penunjukan Hironaka dilakukan Ghosn demi memenangkan kasus yang menjeratnya. Ghosn mengklaim jadi korban pengkhianatan sejumlah jajaran eksekutif di Nissan yang tak menyetujui rencananya terhadap Nissan.
Hubungan Nissan dan Renault memang meregang setelah itu. Wall Street Journal melaporkan tim pengacara Renault mengirimkan surat kepada Nissan pada 16 Januari lalu. Isi surat itu menyatakan kekhawatiran mereka terhadap Hari Nada sebagai tokoh sentral dalam komunikasi antara pejabat senior kedua perusahaan. Di Nissan, Nada menjabat senior vice president yang memegang posisi departemen legal dan Chief Executive Officer (CEO).
Pihak Renault gusar akan potensi konflik kepentingan pada diri Nada. Kekhawatiran Renault beralasan. Dalam kasus Ghosn, Wall Street Journal menemukan Nada memang secara sembunyi-sembunyi mengumpulkan bukti untuk menjerat Ghosn.
Tak hanya itu, Nada juga menjadi tumpuan operasi gabungan untuk menahan Ghosn ketika ia mendarat di bandara udara Tokyo. Surat dari tim pengacara Renault mengutip laporan Wall Street Journal:
“Keterlibatan Tuan Nada secara kontinu dalam masalah ini atas nama Nissan—di saat ia dianggap telah bertindak sebagai whistleblower—menimbulkan masalah yang sangat pelik terkait keadilan dan ketulusan [penyelidikan tersebut],” tulis pengacara Renault dalam surat itu.
Surat itu sendiri merupakan buntut proses investigasi Nissan terhadap kasus ini. Pada Desember 2018, tim pengacara Renault memang menerima surat tim pengacara Nissan. Nissan ingin mewawancara sejumlah eksekutif Renault dan meninjau ulang dokumen milik mereka dalam kasus ini. Renault kemudian mengirimkan dokumen setebal 82 halaman yang isinya mempertanyakan metodologi dan lingkup penyelidikan.
Lebih lanjut, para pejabat Nissan mengatakan bahwa Renault juga berusaha memperlambat penyelidikan Nissan ketika mereka mencoba memperluas lingkupnya hingga ke perusahaan induk aliansi Renault-Nissan: Renault-Nissan BV. Kedua pihak akhirnya sepakat untuk menyewa penyelidik independen.
Pihak Nissan menepis kekhawatiran Renault dan menjawab bahwa Nissan berkomitmen menaati segala standar legal dan etis dalam penyelidikan.
Saling Bergantung
Terlepas dari politik internal Nissan yang berujung pada terjungkalnya Ghosn, tidak dapat dipungkiri bahwa aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi adalah mahakarya Ghosn.
Ghosn berhasil memperbaiki kondisi keuangan Renault yang sempat diterpa krisis pada 1997-1999. Tak hanya itu, sentuhan tangan dingin Ghosn berlanjut ketika aliansi Renault-Nissan terbentuk pada 1999. Renault yang kemudian memiliki saham Nissan sebesar 43 persen kemudian menempatkan Ghosn pada pucuk pimpinan tertinggi perusahaan itu pada 2001.
Boleh dibilang Ghosn berhasil membangkitkan Nissan dari keterpurukan. Sebelumnya, perusahaan Jepang itu memang menyandang utang 2 triliun yen dan diprediksi bakalan bangkrut. Namun, sejak 2003 keuangan Nissan mulai stabil dan meraup laba.
Pada 2016, Mitsubishi-lah yang mendapat giliran diperpanjang nafasnya oleh Ghosn melalui Nissan. Tersandung skandal efisiensi bahan bakar, Mitsubishi Motors Corporation mengalami penurunan penjualan yang signifikan sehingga terancam bangkrut. Nissan kemudian membeli saham Mitsubishi sebesar 34 persen, kurang lebih senilai $2,2 milyar.
Sejak bergabung dalam aliansi tersebut, Mitsubishi sudah mulai berjalan menuju perbaikan kondisi keuangan perusahaan. Mereka, misalnya, menargetkan untuk meningkatkan penjualan di Cina sebesar tiga kali kali lipat.
Meski sempat meroket dan jauh meninggalkan Renault dari segi pertumbuhan penjualan, performa keuangan Nissan rupanya kurang memuaskan. Seperti dilaporkan oleh Wall Street Journal, pendapatan Nissan hanya tumbuh 3,9 persen sejak Ghosn berada di Nissan.
Sementara itu, margin operasi Nissan yang sempat meroket ketika Ghosn menjadi chief operating officer pada 1999, sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan lainnya, termasuk Mitsubishi Motors sendiri. Pada 2018, misalnya, penjualan Nissan di AS turun 6 persen meski pasar berkembang 0,3 persen.
Kendati demikian, aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi sendiri sangat penting untuk dipertahankan oleh ketiga perusahaan. Melalui aliansi ini, ketiganya dapat menghemat pengeluaran hingga 5,7 miliar euro (setara $6,5 miliar). Selain itu, aliansi ini juga membuka kesempatan pertukaran teknologi yang menguntungkan bagi ketiga perusahaan.
Dari aspek statistik penjualan, aliansi ini menempati posisi kedua dalam konteks penjualan global dan hanya berada di belakang Volkswagen AG. Meski penjualan Nissan menurun, secara total penjualan dari aliansi tersebut naik karena sumbangsih dari penjualan di Mitsubishi di Asia Tenggara dan Renault di Rusia dan Brazil.
Setelah kasus yang menimpa Ghosn, CEO Mitsubishi Motors Osamu Masuko menyatakan bahwa Mitsubishi akan tetap mempertahankan aliansinya dengan Nissan dan Renault, demikian yang dikabarkan Japan Times. Kerjasama yang dipertahankan oleh Mitsubishi dengan kedua kerabatnya itu termasuk dalam bidang pengadaan suku cadang hingga produksi dan pengembangan kendaraan.
Dengan penjualannya yang terus meningkat di Asia Tenggara, Mitsubishi kemudian dapat memberikan kontribusi besar bagi Nissan, terutama untuk mendongkrak penjualan. Nissan sendiri memang menargetkan Asia Tenggara sebagai salah satu pasar potensial untuk menggenjot penjualan, meski sejauh ini belum menampakkan hasil.
Kegagalan jenama Datsun yang oleh Nissan ditarget menyasar pasar menengah bawah di India dan Indonesia menjadi salah satu buktinya. Pangsa pasar Datsun di Indonesia berada di bawah persentase satu persen pada 2018 lalu.
All New Livina x Xpander
Salah satu langkah penyelamatan Nissan oleh Mitsubishi, terutama di Indonesia, terlihat dari diluncurkannya All New Livina pada Rabu (20/2) lalu.
Model terbaru Livina sangat berbeda dengan model lama, namun familiar dengan model Low-Multi Purpose Vehicle besutan Mitsubishi, yakni Xpander. Meski demikian, kedua mobil tidak benar-benar serupa. Ada sejumlah detail kecil yang berbeda, termasuk bentuk grill depan, bentuk lampu, hingga warna interior.
Kemiripan ini terjadi karena Nissan menggunakan platform Mitsubishi Xpander dalam proses produksinya. Demikian pula mesinnya. Mesin Livina memang diproduksi oleh pabrik Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKYI) di Bekasi. Seperti dilaporkan CNN Indonesia, meski kini masih menggunakan mesin dari Mitsubishi, kelak Nissan-lah yang akan memproduksi mesin Xpander dan Livina.
Tidak salah jika Nissan membidik Xpander sebagai model rujukan untuk Livina. Xpander memang berhasil mendongkrak penjualan total dari Mitsubishi pada 2018 lalu. Xpander rata-rata menyumbang 70 persen dari total penjualan Mitsubishi sebesar 147.805 unit. Sebagai catatan, total penjualan ini merupakan yang tertinggi sepanjang 48 tahun Mitsubishi berdiri di Indonesia.
Lantas, apakah barter teknologi dan kerjasama ini dapat menyelamatkan penjualan Nissan? Untuk kasus Indonesia masih terlalu dini untuk mengatakannya, apalagi dengan rentang harga yang tidak jauh dari Xpander. Varian terendah Livina dijual Rp198 juta, sementara Xpander Rp206,1 juta. Varian tertinggi Livina dijual lebih mahal satu juta rupiah dari Xpander dengan harga Rp 261,9 juta.
Namun, yang perlu dicatat, strategi yang sama telah berhasil diterapkan oleh Daihatsu dan Toyota dengan Avanza x Xenia dan Rush x Terrios, meski menggunakan skema harga yang sedikit berbeda.
Editor: Windu Jusuf