Menuju konten utama

Skandal Carlos Ghosn dan Deretan Kasus Patgulipat Korporasi Jepang

Kasus Carlos Ghosn tak hanya aib bagi Renault-Nissan-Mitsubishi, tapi juga menambah daftar panjang skandal keuangan perusahaan Jepang.

Skandal Carlos Ghosn dan Deretan Kasus Patgulipat Korporasi Jepang
Nissan Motor Co. CEO Carlos Ghosn. AP Photo/Itsuo Inouye

tirto.id - Kegemilangan karier profesional Carlos Ghosn menakhodai kapal bisnis sebagai Chairman Nissan Motor Co. selama dua windu tercoreng skandal perusahaan berujung kasus hukum. Pria keturunan Lebanon ini diduga mencurangi laporan pendapatannya, bersama petinggi Nissan Motor Greg Kelly.

Tim internal Nissan mendapati temuan, Ghosn tidak melaporkan pendapatannya senilai 5 miliar yen (setara Rp638 miliar) yang didapatkan selama tahun fiskal 2010-2014. Dalam laporan Japan Times tindakan itu dilakukan untuk menghindari protes dari petinggi Nissan soal bayaran Ghosn yang kelewat tinggi.

Japan Times menulis, Kelly merekayasa dokumen laporan pendapatan Ghosn setelah pemerintah Jepang mengharuskan perusahaan melaporkan nama petinggi yang mendapatkan penghasilan lebih dari 100 juta yen per bulan. Namun, Ghosn hanya melaporkan 1 miliar yen per tahun. Artinya tidak ada kewajiban melaporkan jumlah pendapatan kepada pemerintah. Selain itu, pria 54 tahun itu dituding menyalahgunakan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi. Di antaranya kepemilikan rumah di Amsterdam, Belanda yang diketahui dibeli dengan uang perusahaan dan tiga negara lain.

Mengutip CNN, kasus tersebut membawa Ghosn kepada tuntutan penjara maksimal 10 tahun, serta denda paling besar 10 juta yen. Konsekuensi berat yang juga harus diterima Ghosn atas aksi curangnya, yaitu didepak dari pucuk pimpinan Nissan. Renault dan Mitsubishi pun dikabarkan segera mendepak Ghosn dari singgasana kekuasaan.

Sebelum kasusnya tercium, Ghosn merupakan sosok penting di balik kedigdayaan aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi. Pada 1996, Ghosn bergabung dengan Renault dan berhasil membuat perusahaan mobil Perancis itu selamat dari kebangkrutan.

Lima tahun berselang, pria yang lahir di Brazil itu dipercaya menjadi CEO Nissan setelah Renault mengambil alih lebih dari 40 persen saham. Ghosn piawai meracik strategi bisnis, terutama memangkas ongkos produksi—sehingga ia dijuluki “the cost cutter”. Nissan yang di akhir tahun 1990’an nyaris gulung tikar dengan beban utang dua triliun yen juga berhasil dibangkitkan oleh Ghosn dalam waktu singkat.

Kondisi finansial Nissan semakin solid hingga akhirnya membeli 35 persen saham Mitsubishi Motors Corporation pada 2016. Jadilah aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi yang tahun 2017 lalu berhasil menjual 10,6 juta unit kendaraan, terbanyak kedua di dunia setelah Volkswagen.

Skandal Keuangan Korporasi Jepang

Kecurangan finansial bukan hal yang baru terjadi di perusahaan Jepang. Perusahaan kamera dan alat rekam medis, Olympus, pernah tersandung skandal keuangan yang bikin gempar pada 2011.

Sosok mantan chairman Olympus Tsuyoshi Kikukawa jadi tersangka utamanya. Kikukawa dan klannya dituduh berkonspirasi mengeruk uang perusahaan. Mereka bergerombol membiarkan kebocoran aliran dana selama bertahun-tahun yang nominalnya mencapai 1,7 miliar dolar AS. Praktik muslihat itu terbongkar setelah CEO baru Olympus, Michael Woodford melakukan inspeksi terhadap keuangan perusahaan. Dari situ Woodford menemukan ada aliran dana yang tidak jelas tujuannya.

Woodford menceritakan kepada Channel News Asia, tindakannya membongkar skandal itu mendapatkan kecaman dari para eksekutif perusahaan. Dalam sebuah pertemuan darurat, orang asing pertama yang mengepalai kapal bisnis Olympus itu, diusir oleh para dewan eksekutif agar tidak mengumbar soal kecurangan Kikukawa, dan dipecat saat itu juga.

Pasca diusir dari rapat dewan dan dipecat, Woodford kembali ke apartemennya untuk berkemas. Di tengah situasi tidak mengenakkan, Woodford masih berupaya untuk mengusut skandal Olympus.

Sebelum pergi meninggalkan Jepang, Woodford menemui koresponden surat kabar Financial Times, Jonathan Soble di sebuah kafe. Ia membeberkan berbagai informasi, termasuk temuan-temuannya soal laporan keuangan yang janggal kepada Soble.

“Dia menemui saya dengan membawa map berisi (dokumen) bukti untuk menyokong (pengungkapan) kasusnya, lalu dia pergi ke bandara,” cerita Soble.

Informasi dari Woodford langsung menjadi berita besar setelah Financial Times menerbitkannya. Media-media internasional juga ikut menyoroti skandal tersebut.

Menanggapi pemberitaan masif di media massa, Olympus menunjuk tim panel independen untuk mengungkap kasus kecurangan itu. Sehingga kemudian terbukti Kukikawa dan kroninya bersalah atas penggelapan dana perusahaan. Kukikawa dihukum tiga tahun penjara, begitu juga lima eksekutif lain dijebloskan ke bui. Di samping itu, mereka harus mengganti kerugian perusahaan sebesar 520 juta dolar AS yang ditanggung bersama.

Infografik Skandal perusahaan Jepang

Masalah kecurangan finansial juga terjadi dalam korporasi produsen elektronik Toshiba. Pada 2015 lalu, Toshiba diguncang isu penggelembungan laporan keuntungan perusahaan sebesar 1,3 miliar dolar AS semenjak tahun fiskal 2008 hingga 2014.

Intrik tersebut dilakukan buat mengakali target perusahaan yang meleset. Tim investigasi memaparkan, untuk mencapai target yang sangat tinggi, setiap divisi membuat laporan keuangan yang manipulatif atas perintah petinggi korporat.

“Di Toshiba, ada semacam budaya perusahaan yang mana tidak boleh membantah atasan. Karena itu, ketika petinggi memberikan tantangan, kepala divisi, line manager, dan bawahannya membuat laporan keuangan yang tidak sesuai untuk memenuhi target yang diberikan atasan,” tulis laporan tim investigasi dikutip The Guardian.

Imbas perkara itu, kepercayaan investor menurun. Harga saham Toshiba turun 26 persen dalam kurun waktu tiga bulan sejak masalah itu tercium publik. Presiden sekaligus CEO Toshiba Hisao Tanaka, dan Vice Chairman Norio Sasaki lengser dari jabatannya karena dituduh sebagai dalang skandal penggelembungan keuntungan.

Pemerintah Jepang tidak kompromi dengan perusahaan yang kedapatan berlaku curang. Selain menjatuhkan hukuman penjara dan denda kepada para eksekutif korporasi, pengadilan turut menjatuhkan sanksi denda sebesar 700 juta yen kepada perusahaan Olympus atas perkara pemalsuan laporan keuangan.

Sementara itu, pada kasus Toshiba, otoritas pengawas keuangan Jepang memberikan hukuman kepada perusahaan berupa denda 60 juta dolar AS. Tidak sampai di situ, perusahaan auditor keuangan yang menangani Toshiba, Ernst & Young Shin Nihon tidak luput dari sanksi.

Lembaga pengawas keuangan di Jepang, Financial Service Agency menghukum Erns & Youngshin Nihon berupa larangan menerima kontrak kerja baru selama tiga bulan sejak akhir 2015 dan didenda 2,1 miliar yen. Hukuman itu, disebutkan Forbes, adalah konsekuensi dari kegagalan auditor memastikan kebenaran laporan keuangan perusahaan Toshiba.

Kecurangan atau skandal keuangan bukan hanya terjadi Jepang saja, tapi di banyak negara, termasuk Indonesia yang melibatkan internal korporasi. Kasus Toshiba hingga Ghosn bisa jadi pelajaran bahwa selalu ada celah patgulipat.

Baca juga artikel terkait NISSAN atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Otomotif
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra