Menuju konten utama

Biografi KH Abdul Wahid Hasyim dan Perannya dalam Kemerdekaan

Peran KH Abdul Wahid Hasyim sangat besar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Simak ulasan biografi Abdul Wahid Hasyim di bawah ini.

Biografi KH Abdul Wahid Hasyim dan Perannya dalam Kemerdekaan
KH Wahid Hasyim. wikipedia/Anam, Choirul (1985)

tirto.id - KH Abdul Wahid Hasyim termasuk salah satu tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Anak dari salah satu tokoh pendiri NU tersebut pernah terlibat dalam perumusan dasar negara pra-kemerdekaan.

Peran KH Abdul Wahid Hasyim dalam sejarah bangsa Indonesia cukup besar, terutama di bidang agama dan politik. Berkat jasa-jasanya, Abdul Wahid Hasyim dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional RI oleh pemerintah.

Biografi KH. Abdul Wahid Hasyim selengkapnya bisa disimak dalam ulasan di bawah ini.

Biografi Abdul Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim lahir di Desa Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada Jumat Legi, 5 Rabiulawal 1333 (1 Juni 1914 M). Wahid Hasyim lahir dari pasangan cendekiawan agama Islam, KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah.

Ayahnya, KH Hasyim Asy’ari, merupakan ulama kenamaan Indonesia, inisiator pesantren Tebuireng, sekaligus tokoh pendiri NU (Nahdlatul Ulama) bersama Wahab Hasbullah. Sementara itu, ibunya adalah putri dari Kyai Ilyas, pengasuh pesantren Sewulan Madiun.

Kelak Wahid Hasyim menikah dengan perempuan bernama Solichah binti Bisri Syansuri. Pasangan ini dikaruniai anak bernama Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Mengutip dari jurnal Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman Ulumuddin Vol. 9 No. 1 (2019) yang ditulis Umi Musaropah, sebelum dinamai Abdul Wahid Hasyim, sesuai nama datuknya, beliau memiliki nama Muhammad Asy’ari yang diambil dari nama kakeknya.

Secara lengkap, perkawinan orang tua Wahid Hasyim dikarunia sepuluh anak; empat perempuan dan enam laki-laki. Wahid Hasyim merupakan anak kelima sekaligus lelaki pertama di antara saudara-saudaranya.

Lahir sebagai anak kiai tersohor membuat Abdul Wahid Hasyim tumbuh dengan baik. Di lingkungan dengan kultur Islam yang kuat, dia bisa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, baik agama maupun umum.

Tercatat dalam biografi Abdul Wahid Hasyim, pada usia 13, setelah lulus dari Madrasah Tebuireng, dia mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu. Awalnya dia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Setelah itu, dia pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, milik dari KH Abdul Karim, teman sekaligus murid ayahnya.

Pada usia remaja ini, Abdul Wahid Hasyim sempat menjadi santri kelana: pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Saat menginjak usia 15, tepatnya pada 1929, dia kembali ke Pesantren Tebuireng. Di sana, dia tidak hanya berfokus mendalami ilmu agama dari kitab-kitab Islam klasik, melainkan juga mulai belajar bahasa Inggris dan Belanda langsung dari ayahnya.

Biografi KH Abdul Wahid Hasyim juga dituliskan oleh Bakir dalam Jurnal Studi Keislaman Vol. 3 (2016). Dijelaskan di situ bahwa sejak muda, Abdul Wahid Hasyim sudah terlibat dalam pergolakan pemikiran dari kelompok masyarakat dan golongan yang lebih luas. Hal itu dilihatnya dari bacaan Wahid Hasyim, salah satunya saat berlangganan majalah seperti Penyebar Semangat, Daulat Rakyat, Kullu Syaiin wal Dunya, al-Itsnain, Pandji Pustaka, Ummul Qura, dan sebagainya, terutama yang diterbitkan di Timur Tengah.

Pada usia 18, sekitar tahun 1932-1933, Wahid Hasyim pergi menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama. Sekembalinya dari tanah suci, dia mulai menyalurkan ilmunya di pesantren sang ayah. Atas persetujuan KH Hasyim Asy'ari juga dia mendirikan Madrasah Nizhamiyah (1934), yang memiliki persentase pengajaran pengetahuan umum sebanyak 70 persen.

Setelah menjadi pengajar, kiprah Wahid Hasyim semakin meluas. Pada 1938, dirinya mulai aktif di organisasi NU. Dia merintis perjuangannya di NU mulai dari posisi paling bawah yakni sebagai sekretaris NU ranting Cukir. Tidak lama kemudian, dia dipercaya menjadi ketua NU Cabang Jombang.

Dari situ, Abdul Wahid Hasyim menunjukkan kecenderungan dalam bidang politik untuk memperjuangkan agama Islam. Tak tanggung-tanggung, dia berkomitmen tinggi dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Apa Peran Penting KH Abdul Wahid Hasyim dalam Hal Perumusan Dasar Negara?

Peran KH Abdul Wahid Hasyim kebanyakan di bidang politik dan agama. Salah satunya ditunjukkan melalui kiprahnya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu, BPUPKI dibentuk; Abdul Wahid Hasyim ditunjuk sebagai salah satu anggotanya.

Pembentukan BPUPKI salah satunya bertujuan merumuskan dasar negara Indonesia. Dalam pembahasan ini, ada pertentangan kuat antara kelompok yang menginginkan negara Indonesia berdasarkan Islam dan kelompok yang menginginkan negara sekuler, tanpa intervensi agama.

Perdebatan seputar dasar negara ini terus berlanjut dalam sidang-sidang BPUPKI. Untuk menghindari potensi pertikaian dan kegagalan sidang BPUPKI, Soekarno mengambil tindakan dengan mengusulkan sebuah kompromi saat melanjutkan sidang pada 22 Juni 1945. Sebanyak 38 anggota BPUPKI berkumpul untuk mengatasi perbedaan pandangan yang tajam tersebut.

Hasilnya, diputuskan untuk membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan. Peran KH Abdul Wahid Hasyim termasuk sebagai salah satu anggota perwakilan dari kelompok Islam, di samping Haji Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Abdul Kahar Muzakir. Sementara itu, lima anggota lainnya merupakan perwakilan dari kelompok nasionalis, yakni Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin.

Panitia Sembilan akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter dengan mencantumkan sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun, setelah proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, Bung Hatta menerima kunjungan dari perwira angkatan laut Jepang untuk menyampaikan keberatan penduduk Indonesia Timur yang tidak beragama Islam terhadap sila tersebut.

Dalam situasi tersebut, Abdul Wahid Hasyim bersama tiga orang lainnya yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman singodimejo, dan Mr. Teuku Mohammad Hassan, ditemui oleh Bung Hatta untuk membahas sila pertama Piagam Jakarta. KH. Abdul Wahid Hasyim secara bijak mengusulkan agar penggalan dalam sila pertama tersebut dicoret.

Dengan pertimbangan cermat akhirnya disepakati bahwa sila “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesepakatan atas perundingan terkait dasar negara tersebut diteken agar tidak ada perpecahan antar-umat beragama.

Masih berdasarkan Jurnal Studi Keislaman Vol. 3 (2016), Abdul Wahid Hasyim mendukung perubahan tersebut karena frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dinilai sudah sesuai dengan tauhid Islam. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa peran KH Abdul Wahid Hasyim sangat penting, yakni berusaha memediasi antara keinginan kelompok Islam untuk menjalankan syariat agamanya dan prinsip demokrasi yang menjadi dasar Pancasila.

Selama proses perumusan dasar negara Indonesia, Wahid Hasyim memperjuangkan rekonsiliasi politik yang bertujuan mendamaikan perbedaan agama di Indonesia. Dia juga menaruh perhatian khusus terhadap upaya menciptakan harmoni atas perbedaan tersebut demi kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Apa Saja Perjuangan KH Wahid Hasyim?

KH Wahid Hasyim, yang berasal dari keluarga pesantren, belajar secara otodidak mengenai wawasan kebangsaan. peran KH Abdul Wahid Hasyim kebanyakan berkaitan dengan bidang perjuangan kebangsaan, terutama agama dan politik.

Perjalanannya yang panjang, mulai dari belajar di pesantren hingga menjabat sebagai menteri agama, membuat Abdul Wahid Hasyim memiliki kesadaran bahwa sangat banyak masalah yang perlu diatasi di masyarakat. Dirinya tahu bahwa fokus pada pengajaran agama di lingkungannya tidaklah cukup.

Oleh karena itu, dia sering terlibat dalam upaya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Salah satu nama organisasi KH. Abdul Wahid Hasyim adalah BPUPKI, sebagai anggota. Ia juga terlibat dalam forum diskusi di Panitia Sembilan.

Pada masa itu, perjuangan Abdul Wahid Hasyim menemui berbagai tantangan, tidak hanya dari kalangan non-Muslim, melainkan juga dari golongan muslim. Isu utama yang diperjuangkan oleh Wahid Hasyim salah satunya berkaitan dengan risiko perpecahan antar-umat Islam lantaran perbedaan mazhab.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah menciptakan demokratisasi dalam berbagai interpretasi mazhab. Di sisi lain, dia juga menegaskan bahwa kesatuan umat Muslim harus berakar pada Islam sebagai agama yang sama.

Dalam masalah ini, Wahid Hasyim juga menekankan perlunya menghindari fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dirinya mendorong penanaman toleransi terhadap perbedaan pandangan, yang kemudian menghasilkan perubahan bunyi sila pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa".

Perjuangan Wahid Hasyim juga berlanjut saat dirinya menjabat Menteri Agama. Ia memberikan subsidi lebih banyak kepada siswa non-Muslim dibandingkan siswa Muslim. Hal tersebut menunjukkan komitmennya untuk meredakan ketegangan antar-agama.

Beberapa hal yang dijelaskan di atas hanyalah sebagian kecil dari usaha Wahid Hasyim dalam memperjuangkan Islam dan kepentingan masyarakat. Buah perjuangan yang dilakukan lewat pesantren dan politik masih dapat dirasakan hingga kini.

Namun, perjuangannya terpaksa harus berakhir sejak insiden Cimindi (daerah Cimahi-Bandung) pada 19 April 1953. KH. Abdul Wahid Hasyim meninggal pada hari itu, pukul 10.30 WIB, di usia 39. Sejak saat itu juga, KH Abdul Wahid Hasyim didaulat sebagai Pahlawan Nasional RI.

Wafatnya KH Abdul Wahid Hasyim membawa banyak hikmah bagi bangsa Indonesia. Sebab, ia tidak hanya berperan dalam upaya kemerdekaan, melainkan juga persatuan dan kesatuan antar-agama.

Baca juga artikel terkait HARI SANTRI atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin