tirto.id - Dokter Anton Sony Wibowo menanggapi soal isu viral di media sosial terkait kuku penyintas Covid-19 yang mengonsumsi Favipiravir bisa menyala apabila disinar Ultraviolet (UV). Dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM ini meminta masyarakat agar tidak langsung percaya dengan kabar tersebut.
Menurut dia, informasi terkait flouresensi pada kuku maupun rambut manusia karena mengonsumsi favipiravir jangan langsung dipercaya. Ia pun mengimbau masyarakat supaya mencari tahu dan memastikan informasi ke sumber yang resmi dan kredibel.
Secara klinis di rumah sakit, kata Anton, belum pernah menemukan fenomena flouresensi atau terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap sinar atau radiasi elektromagnet lain pada kuku atau rambut manusia akibat mengonsumsi obat faivipiravir.
Sebab, berdasarkan hasil literatur, ia menemukan ada laporan satu kali oleh Ozunal dan Guder (2021), di salah satu jurnal dalam bentuk laporan kasus (case report).
Kendati begitu, Anton mengatakan secara ilmiah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kasus tersebut dengan metode yang lebih baik. Selain itu, juga melakukan meta analisis untuk mengetahui level of evidence dari laporan kasus tersebut.
“Belum tentu semua informasi tersebut bisa diaplikasikan pada semua penderita Covid-19 karena perlu penelitian lebih lanjut dan tidak mengeneralisasi. Masyarakat sebaiknya tetap fokus pada terapi dan diagnosis resmi dari Kementerian Kesehatan,” kata Anton melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (9/3).
Lebih lanjut dosen FKKMK UGM ini menjelaskan favipiravir merupakan salah satu antivirus yang digunakan pada pengobatan Covid-19. Obat ini merupakan salah satu obat dengan mekanisme kerja sebagai ribonucleotide analog dan menghambat RNA polimerase pada virus sehingga akan menghambat replikasi virus.
“Jadi konsumsi favipiravir akan menghambat perkembangbiakan virus Covid-19 dalam tubuh pasien sedangkan adanya flouresensi pada tubuh manusia karena penggunaan favipiravir masih perlu penelitian lebih mendalam lagi,” terangnya.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya