tirto.id - Badan Eksekutif Mahasiswa dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada berbeda sikap soal kasus perkosaan yang menimpa seorang mahasiswa. BEM mendukung korban, sementara Dekan tampak bersikap sebaliknya.
Perkosaan ini dilakukan seorang mahasiswa berinisial HS, mahasiswa Fakultas Teknik UGM angkatan 2014.
Dalam pernyataan sikap yang dirilis Ketua BEM UGM Obed Kresna, BEM UGM "mendukung penuh segala proses perjuangan advokasi diri yang dilakukan semua penyintas." Mereka juga "mengecam segala tindak pelecehan dan kekerasan dalam bentuk apa pun di lingkungan kampus."
Tiga poin sikap lagi juga tak kalah tegas. Pertama, BEM UGM "mendesak UGM untuk menyusun regulasi terkait penanganan kasus kekerasan seksual yang jelas dengan menggunakan perspektif keadilan gender; kedua, "mendorong UGM untuk menyusun modul panduan wajib mengenai cakupan dan limitasi kekerasan seksual, konsensus, dan cara-cara pelaporan kasus-kasus serupa sebagai tindakan preventif di masa mendatang; dan terakhir, "mendesak UGM untuk membentuk unit khusus pencegahan, pengaduan, dan penindakan kekerasan."
Dalam rilis tersebut BEM UGM juga mengkritik sikap kampus. Salah satu yang dikritik adalah birokrasi yang masih "bias gender."
"Masih kentalnya perspektif bias gender tidak hanya mempengaruhi bagaimana kampus menindaklanjuti kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Regulasi dan rumusan kebijakan yang seksis dan problematis juga menjadi konsekuensi dari minimnya paradigma keadilan gender dalam birokrasi kampus kita," tulis mereka.
Salah satu contoh bias gender adalah peraturan pada Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kampus, misalnya, mengatur perempuan haram keluar malam, tidak berkunjung ke pondok mahasiswa sendirian, dan tidak mengenakan pakaian yang "tak sesuai dengan norma."
"Ini mengarah ke victim blaming," tulis BEM UGM.
Sementara itu, Nizam, Dekan Fakultas Teknik UGM, malah menyayangkan Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM menerbitkan reportase soal kasus perkosaan ini.
"Saya sangat menyayangkan dari media internal [BPPM Balairung UGM] mem-blow up [kasus pemerkosaan], dan seolah-olah ada pembiaran, padahal sama sekali tidak," kata Nizam, mengutip Detik.
Sementara kepada reporter Tirto Rabu (7/11) kemarin, Nizam mengatakan sanksi kepada pelaku perkosaan adalah penundaan kelulusan. Pelaku juga diminta mengulangi KKN, salah satu syarat wajib kelulusan.
Tak ada drop out, tak ada pula pengusutan kasus lewat jalur pidana. Otoritas kampus menganggap pelaku hanya melakukan pelanggaran ringan dan tidak bisa di-DO sebagaimana yang diinginkan korban.
"Bina mereka [agar] masa depan lebih baik semua. Hukuman [sesuai] nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai pendidikan," ujar Nizam.
Dalam laporan berjudul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan yang terbit Senin (5/11) lalu, BPPM Baialrung menurunkan cerita Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik angkatan 2014, yang diperkosa teman satu unit KKN-nya pada Juni 2017. Pelaku adalah HS, dari Fakultas Teknik.
HS mencium, memeluk, dan bahkan menggerayangi kemaluan Agni.
Dalam laporan itu, BPPM Balairung juga menjelaskan salah satu pejabat Departemen Pengabdian kepada Masyarakat UGM mengatakan Agni turut bersalah dan menolak menyebutnya sebagai korban. Ia juga menyayangkan sikap Agni yang melibatkan pihak luar, alih-alih menyelesaikan secara "baik-baik dan kekeluargaan."
"Jangan menyebut dia korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh [ikan asin dalam bahasa Jawa] pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan," kata pejabat itu.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino & Mufti Sholih