tirto.id - Bank Dunia atau World Bank menyarankan pemerintah agar tetap menggunakan standar penghitungan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk merancang kebijakan pengentasan kemisikan nasional. Pasalnya, data yang digunakan oleh BPS dinilai lebih sesuai dengan untuk merancang program bantuan sosial (BPS), bantuan langsung tunai, dan lainnya.
"Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah yang paling tepat," tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Senin (16/6/2025).
Diketahui, standar perhitungan garis kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia memperlihatkan cukup berbeda.
Dalam laporannya bertajuk The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia, garis kemiskinan pada Juni 2025 ialah sebesar 8,30 dolar Amerika Serikat (AS) per hari atau setara Rp1,51 juta per bulan.
Ambang batas garis kemiskinan di atas dihitung menggunakan standar penghitungan kemiskinan untuk negara-negara berpendapatan menengah ke atas, dengan purchasing power parity (PPP) 2021.
Sementara, jika dihitung berdasar standar untuk negara menengah ke bawah dengan PPP 2021, garis kemiskinan Indonesia ditetapkan sebesar 4,20 dolar AS per hari atau sekitar Rp765 ribu per bulan.
"Garis kemiskinan ekstrem internasional yang baru, yang didefinisikan sebagai nilai tipikal garis kemiskinan nasional yang ditetapkan oleh negara-negara berpendapatan rendah, sekarang ditetapkan sebesar 3,00 dolar AS per hari (setara dengan sekitar 546.400 Rupiah per bulan setelah memperhitungkan biaya hidup Indonesia)," tulis Bank Dunia
Ambang batas garis kemiskinan Indonesia ini lebih tinggi dibandingkan dengan penghitungan yang menggunakan standar PPP 2017, di mana untuk kemiskinan ekstrem atau untuk negara berpendapatan rendah ditetapkan sebesar 1,90 dolar AS per hari; garis kemiskinan untuk negara menengah ke bawah 3,20 dolar AS per hari; dan garis kemiskinan 5,50 dolar AS per hari untuk negara berpendapatan menengah ke atas.
"Terutama karena perubahan-perubahan ini, dan pada tingkat yang lebih rendah perubahan global dalam biaya hidup, garis kemiskinan acuan global juga meningkat," tambah Bank Dunia.
Dengan perubahan ini pula, garis kemiskinan Indonesia yang ditetapkan Bank Dunia juga menjadi jauh lebih tinggi dari yang ditetapkan Badan Pusat Statistik (BPS), senilai Rp595,2 ribu yang dihitung dengan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs (CBN) - terdiri dari makanan dan non makanan pada September 2024.
Melalui penghitungan anyar ini sekitar dua dari tiga orang Indonesia tergolong miskin, meningkat signifikan dari 60,3 persen pada laporan Macro Poverty Outlook sebelumnya yang masih menggunakan standar PPP 2017, menjadi 68,91 persen atau sekitar 194,4 juta jiwa.
Di sisi lain, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Dedek Prayudi, menjelaskan penghitungan angka kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia dan BPS. Data kemiskinan yang dirilis BPS, menurutnya adalah data yang digunakan untuk menangkap profil kemiskinan di Tanah Air, karena itu komponen penghitungan yang digunakan jelas berbeda dengan standar Bank Dunia.
Dalam penghitungan data kemiskinan, BPS menggunakan dua komponen: makanan dan nonmakanan, dengan untuk komponen ini masyarakat miskin adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makan 2.100 kalori per hari. Sedangkan untuk komponen non makanan didasarkan pada akses terhadap pendidikan, akses terhadap kesehatan, juga tempat atau hunian yang layak.
"Nah, dua komponen ini kemudian dilebur, di-merge, di-combine, lalu di-konversi menjadi nominal menggunakan harga di Indonesia. Maka lahirlah kemudian garis kemiskinan di Indonesia yang dikeluarkan atau dirilis oleh BPS. Maka, kemudian mereka yang pengeluarnya di bawah garis kemiskinan dianggap miskin dan kita keluar dengan angka 8 persen," papar Dedek, dalam unggahan video di akun Instagram resmi PCO.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id







































