tirto.id - Mantan Direktur Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia (BEI) Nicky Hogan mengkritik siapa pun yang berani merekomendasikan saham tertentu kepada masyarakat padahal tidak punya kapasitas untuk itu, termasuk para artis. Menurutnya rekomendasi hanya bisa keluar dari analis atau pengamat pasar modal yang terdaftar dan diawasi oleh otoritas pasar modal.
"Saran itu datang dari para analis. Analis itu orang yang punya izin; orang yang punya kode etik," tutur Nicky, Rabu (6/1/2021).
Investor pemula yang didominasi milenial patut curiga bila ada pesohor yang mempromosikan saham tertentu. Bukan tidak mungkin sosok tersebut ingin 'cuci gudang' alias menjual saham yang dimiliki dan ingin mencari pembeli dengan cara mempromosikannya. Bila para investor pemula memutuskan membeli saham atas anjuran itu, bukan tidak mungkin mereka merugi.
"[Artis] enggak usah endorse-endorse-an [saham]. Enggak pada kapasitasnya dia. Kasihan follower-nya dia. Gara-gara tenar, [investor] main beli saja, padahal yang dibeli belum tentu bagus,” tambahnya.
Nicky khususnya mengomentari Raffi Ahmad dan Ari Lasso yang mengunggah konten promosi saham emiten MCAS milik PT M Cash Integrasi Tbk, perusahaan yang bergerak di bidang distribusi produk digital dan periklanan. Di Instagram, Ari memamerkan grafik kinerja saham yang naik drastis dan mengingatkan pentingnya memilih saham yang tepat. Sementara Raffi membagikan informasi bahwa ia telah memperoleh keuntungan hingga 20 persen berkat kenaikan saham MCAS.
Sebelum Raffi dan Ari yang masih kategori 'pemula' dalam hal influencer saham, ada beberapa tokoh dan influencer yang kerap kali memberikan 'rekomendasi' saham meski tidak memiliki kapabilitas atau lisensi resmi dari BEI. Sebut saja Kaesang Pangarep atau ustaz Yusuf Mansur.
Nicky meminta otoritas dan regulator pasar modal untuk lebih aktif memberikan edukasi dan pengawasan terhadap praktik keliru yang belakangan kerap dilakukan para selebritas. Hal ini penting mengingat jumlah investor yang terus berkembang pesat termasuk di masa pandemi.
Saat ini investor retail yang menanamkan dananya pada saham, obligasi ritel, dan reksa dana mencapai 3,87 juta single investor identification (SID), yang tertinggi di antara bursa lain di kawasan ASEAN. Hingga 29 Desember 2020, jumlah investor ritel naik 56 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. Sekitar 54 persen investor merupakan anak muda yang berusia di bawah 30 tahun.
Nicky bilang dengan investor retail pemula yang didominasi milenial dan gen z, pasar modal Indonesia seharusnya bisa lebih cepat berkembang. Syaratnya keberadaan para investor ini dijaga, "dengan diarahkan ke investasi yang benar." Jangan sampai gara-gara informasi tak akurat yang diberikan para artis, investor kapok dan meninggalkan pasar modal. "Hari ini kita lagi suasana happy, jangan sampai itu runtuh karena mereka salah diarahkan. Akhirnya kita kembali ke nol lagi," sambung dia.
Di sisi lain, dia pun memperingatkan para artis dan sosok yang dikenal luas publik agar tak sembrono memanfaatkan pamor dan ketenaran untuk memengaruhi masyarakat membeli saham tertentu. "Kita harus tahu, ada aturan di pasar modal, kalau kita memengaruhi masyarakat untuk membeli atau menjual saham, harus ada dasar ada izin keahlian khusus. Enggak ada kemampuan bisa pidana," kata dia.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menyebut regulator harus melakukan upaya ekstra untuk memberikan edukasi kepada investor ritel yang kebanyakan masih pemula. "2020 kita memang happy dengan investor retail menambah, tapi kalau bisa tugas regulator ini membuat jadi happy ending," katanya kepada reporter Tirto, Rabu (6/1/2021). "Jangan sampai euforia retail yang cukup masif ini menyisakan trauma cash negative ketika mereka baru masuk di pasar modal."
Kepada para investor, Alfred mengingatkan agar lebih cermat untuk memilih saham mana yang harus dibeli. Hal paling penting yang perlu diperhatikan adalah melihat kinerja perusahaan. "PR terbesarnya adalah bagaimana masyarakat bisa sedikit pintar, cermat, bijak. Ruang kontrolnya di masyarakat," katanya.
Sementara untuk para influencer yang di-endorse oleh para emiten, menurutnya yang perlu mereka perhatikan adalah paham soal batasan-batasan. "Yang namanya investasi saham dilarang menjanjikan kepastian. Kalau korporasinya enggak ngeluarin statement begitu dan hanya tebakan si artis, bisa jadi kebohongan publik. Tapi, kan, artis itu [Raffi, Ari] bentuknya ajakan, jadi enggak masuk [membohongi publik]."
Hal serupa dikatakan pengamat pasar modal Teguh Hidayat. Para selebritas menurutnya harus mengetahui bagaimana kinerja perusahaan yang sebenarnya serta apa dampak yang akan terjadi jika apa yang direkomendasikan tak sesuai dengan kenyataan. Sebab, ujung-ujungnya, kredibilitas si artis akan turun.
"Kalau artis ngomong, orang akan mendengarkan, mau ngomong gimana pun pasti di dengar. Kalau ternyata sahamnya turun, risikonya di Raffi Ahmad. Di situlah akan banyak orang yang merasa ditipu," kata dia.
Direktur Perdagangan Saham BEI Laksono Widodo menyatakan apa yang dilakukan Raffi dan Ari adalah "fenomena baru." Oleh karena itu dia bilang otoritas bursa akan menyikapinya dengan lunak. "Approach yang akan dipakai adalah persuasi dan edukasi kepada para influencer,” ucap Laksono kepada reporter Tirto lewat pesan singkat, Selasa (5/1/2021).
Sementara MCAS, dalam tanggapan ke otoritas bursa, Selasa, mengatakan tak terkait dengan dua artis itu. "Keputusan investasi dari Bapak Raffi Ahmad dan Bapak Ari Lasso merupakan keputusan personal dan Perseroan tidak memiliki hubungan bisnis dengan kedua public figure tersebut,” ucap Direktur & Corporate Secretary PT M Cash Integrasi Rachel Stephanie M. Siagian dalam keterbukaan informasi BEI.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti