tirto.id - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup perdagangan tahun 2020 di teritori negatif. Pada perdagangan Rabu 30 Desember atau hari terakhir perdagangan tahun 2020, IHSG ditutup melemah hingga 0,95% atau 57,101 poin ke level 5.979,073. Secara keseluruhan, IHSG mencatat penurunan hingga 5,09% secara year to date.
Perjalanan IHSG sepanjang tahun ini didominasi oleh sentimen pandemi COVID-19. Mengawali perdagangan tahun 2020, IHSG sudah berada dalam tren penurunan. Investor mulai mewaspadai dampak pandemi yang sudah muncul di Cina.
Penurunan IHSG secara tajam mulai terjadi pada Maret, setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Corona di Indonesia pada 2 Maret.
IHSG anjlok tajam pada 12 Maret hingga turun di bawah level 5.000, merespons sentimen negatif pengumuman dari Presiden AS Donald Trump yang mengeluarkan travel ban sementara dari Eropa untuk mengatasi penyebaran virus Corona. Indeks Dow Jones langsung ambles hingga lebih dari 1.000 poin. Bursa-bursa global langsung ambruk, IHSG terseret.
Sehari setelah kejatuhan pasar, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengubah ketentuan batas bawah auto rejection dari 10% menjadi 7%. Perubahan itu dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap pasar modal Indonesia.
Setelah itu IHSG masih terus turun, seiring terus meluasnya penyebaran Corona di Indonesia. Posisi terendah IHSG dicapai pada 24 Maret, ditutup pada level 3.937,632. “[Titik terendah] ini mudah-mudahan tidak pernah terulang lagi,” ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso dalam sambutan saat menutup perdagangan saham, kemarin (30/12/2020).
Setelah mencapai titik terendah, IHSG secara perlahan mulai berada dalam tren meningkat. IHSG kembali menembus level 5.000 pada 9 Juni yakni 5.035,055.
IHSG terus membaik memasuki semester II dan naik tajam mulai 5 November. Pada 14 Desember, IHSG kembali menembus level 6.000, tepatnya pada 6.012,516. Secara total, IHSG pada semester II naik hingga 19,87%. Sementara untuk tiga bulan terakhir 2020, IHSG tercatat naik 21,18%.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan pasar mulai memberikan respons positif terhadap beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menjaga perekonomian dari dampak pandemi COVID-19. “Tercermin dari IHSG yang menunjukkan perbaikan pada semester II, diikuti lonjakan likuiditas perdagangan yang mencapai Rp9,18 triliun dan frekuensi perdagangan yang mencapai tren tertinggi, bahkan tertinggi dibandingkan bursa ASEAN dalam tiga tahun terakhir,” jelas Inarno saat penutupan perdagangan saham 2020.
Aktivitas perdagangan BEI pada 2020 juga meningkat, tercermin dari kenaikan rata-rata frekuensi perdagangan yang tumbuh 32 persen menjadi 619 ribu kali per hari di bulan November.
Sayangnya masih terjadi aksi jual dari investor asing. Per 29 Desember, terjadi net sell saham senilai Rp47,88 triliun. Wimboh Santoso mengatakan tahun 2020 kinerja pasar modal Indonesia memang dilanda aksi jual oleh investor asing yang memengaruhi pergerakan emiten setahun terakhir. “Namun demikian, investor asing cenderung melakukan aksi jual sepanjang 2020,” ucap Wimboh.
Menurut data OJK, net sell yang terjadi sepanjang 2020 ini hampir menyamai periode 2018 lalu yang pernah menembus Rp50,75 triliun. Capaian pada 2020 ini pun membalikkan hampir 100 persen perolehan net buy senilai Rp49,2 triliun tahun 2019.
Jika dilihat lebih rinci, jumlah net sell terbesar terjadi pada September dengan nilai Rp15,59 triliun dan disusul April Rp8,82 triliun. Per 29 Desember, net sell sudah turun dan hanya mencapai Rp4,03 triliun.
Satu hal yang membedakan pada tahun 2020 ini adalah dominasi investor ritel. BEI mencatat jumlah investor pasar modal meningkat 56 persen dari 2,48 juta pada 2019 menjadi 3,87 juta pada 2020.
Kepemilikan saham investor retail juga meningkat. Pada Mei jumlahnya hanya 61,5 persen tetapi naik menjadi 75,83 persen per November.
“Terdapat peningkatan aktivitas transaksi dari investor ritel, yakni melonjak empat kali lipat dalam 11 bulan terakhir. Ini adalah tahunnya investor ritel di pasar modal indonesia. Semoga menjadi fondasi besar dalam pertumbuhan pasar modal ke depan,” jelas Inarno.
Dari sisi suplai, sepanjang 2020 terdapat 53 emiten baru yang mendapatkan pernyataan efektif dari BEI. Dari jumlah tersebut 51 perusahaan telah tercatat di bursa, merupakan yang tertinggi di ASEAN. Sementara total penghimpunan dana melalui penawaran umum di 2020 telah mencapai Rp118,7 triliun.
Bagaimana dengan bursa regional? Bursa-bursa tersebut menutup perdagangan 2020 dengan cukup beragam. Indeks komposit Shanghai ditutup naik 1,05%, Shenzen naik 1,656%, Hang Seng naik 2,18%, Kospi naik 1,88%, S&P/ASX 200 Australia turun 0,27%. Sementara Nikkei 225 ditutup turun 0,45%, yang merupakan koreksi setelah pada perdagangan sebelumnya melonjak hingga 2% ke level tertingginya sejak Agustus 1990.
“Awal kampanye imunisasi COVID-19 di beberapa negara dan juga tambahan dukungan fiskal AS mengurangi risiko penurunan pada perekonomian global dan ini menjadi pertanda baik bagi keseluruhan sentimen pasar finansial,” ujar analis dari Commonwealth Bank of Australia, seperti dikutip dari Reuters.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Rio Apinino