tirto.id - Menteri BUMN Erick Thohir mengkritik kinerja PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), yang disebutnya minim menyetor dividen. Ia membandingkannya dengan kinerja anak usaha Telkom, Telkomsel yang menyumbang sebagian besar pendapatan Telkom.
Menurut Erick, lebih baik memiliki Telkomsel langsung ketimbang melewati Telkom. “Saya juga enak jadi Telkom. Telkomsel [kasih] dividen, revenue Telkomsel digabung ke Telkom hampir 70%. Mendingan enggak ada Telkom, langsung aja Telkomsel dimiliki oleh Kementerian BUMN, dividennya jelas,” kritik Erick Thohir, Rabu, 12 Februari 2020.
Telkomsel saat ini dimiliki oleh Telkom (65%) dan Singapore Telecom Mobile TTE/Singtel Mobile (35%). Singtel dimiliki oleh Temasek, BUMN investasi milik Pemerintah Singapura.
Sindiran Erick bukan tanpa fakta. Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis Telkom dan Telkomsel, diketahui bahwa Telkomsel memang memberikan kontribusi besar dalam pendapatan Telkom.
Berdasarkan laporan keuangan tahun 2018, Telkom berhasil mencatat pendapatan Rp 130,784 triliun. Dari jumlah itu, sebesar Rp 89,3 triliun atau sekitar 68% disumbang oleh Telkomsel. Sementara dari sisi laba, Telkom berhasil mencetak laba hingga Rp 18,202 triliun, lebih rendah dari laba Telkomsel yang sebesar Rp 25,5 triliun.
Sedangkan per kuartal III tahun 2019, Telkom meraih pendapatan sebesar Rp 102,63 triliun. Sebesar Rp 68,3 triliun disumbang dari Telkomsel. Dari sisi laba bersih, Telkom hanya berhasil mencatat laba sebesar Rp 16,46 triliun, sementara Telkomsel mencatat laba hingga Rp 19,2 triliun. Ini artinya, laba Telkomsel berkontribusi besar dalam menopang kinerja Telkom agar tidak merugi.
Kinerja saham Telkom sejak Oktober 2019 hingga medio Februari 2020 cenderung melemah. Harga saham Telkom pada tahun 2019 sempat mencapai puncaknya pada 20 Agustus di Rp 4.470. Setelahnya, harga saham Telkom cenderung turun, dan per Jumat 14 Februari 2020 berada di kisaran Rp 3.640.
Kesandung Kepemilikan Silang
Telkomsel memang merupakan tambang emas bagi pemiliknya. Barangkali itulah alasan yang membuat Singtel memilih mempertahankan Telkomsel, saat dihadapkan dengan ketentuan larangan monopoli di Indonesia.
Singtel secara resmi memang baru menguasai 35% saham Telkomsel pada tahun 2003. Mereka membeli saham Telkomsel secara bertahap. Kepemilikan Singtel atas Telkomsel baru dimulai pada tahun 2001, saat KPN Netherlands (KPN) dan PT Setdco Megacell Asia (Setdco) masing-masing memiliki 17,3% dan 5% saham Telkomsel, melegonya.
Pada Oktober 2003, Singtel melunasi pembayaran atas 12,7% saham Telkom di Telkomsel senilai 427 juta dolar AS. Dengan pembayaran tersebut, Singtel resmi menguasai 35% saham Telkomsel. Total dana yang dikeluarkan Singtel untuk penguasaan 35% saham Telkomsel diperkirakan sebesar 1 miliar dolar AS.
Namun, kepemilikan Singtel atas Telkomsel sempat memunculkan kegaduhan. Induk usaha Singtel, Temasek menguasai 41,94% saham PT Indosat Tbk setelah dinyatakan sebagai pemenang dalam divestasi 41,94% saham pemerintah RI di Indosat senilai Rp5,62 triliun pada tahun 2002. Pemerintah RI pada tahun 2002 melego saham Indosat sebagai bagian dari upaya privatisasi BUMN, untuk mendapatkan dana setoran APBN.
Temasek menguasai saham Indosat melalui Singapore Technologies Telemedia (STT). Temasek tercatat memiliki 100% saham STT. Itu artinya, Temasek secara tidak langsung menjadi pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.
Pada November 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan Temasek dan anak-anak perusahaannya yang terkait, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar larangan kepemilikan silang sesuai dengan Pasal 27 huruf a UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).
Atas pelanggaran tersebut, KPPU memerintahkan Temasek dkk untuk menghentikan kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat, dengan cara melepas seluruh kepemilikan sahamnya kepada salah satu perusahaan tersebut, paling lama dua tahun sejak putusan KPPU berkekuatan tetap.
Pada Juni 2008, Temasek memilih melepas Indosat. Temasek melepas 40,8% saham Indosat senilai 2,4 miliar dolar Singapura atau sekitar 1,8 miliar dolar AS kepada Qatar Telecom. (Setara dengan Rp 16,8 triliun pada kurs saat itu sebesar Rp 9.300 per dolar AS)
Keputusan Temasek untuk melepas Indosat dan mempertahankan Telkomsel memang berbuah manis pada akhirnya. Telkomsel terus menerus mencatat untung, bahkan berkontribusi besar pada kinerja induk perusahaan. Bandingkan dengan Indosat yang kini masih berjibaku dengan kerugian. Pada tahun 2018, Indosat mencatat rugi Rp 2,4 triliun, setelah pada tahun sebelumnya mencatat untung hingga Rp 1,1 triliun. Indosat berhasil memperkecil kerugiannya menjadi Rp 284,6 miliar per kuartal III tahun 2019. Terbaru, Indosat bahkan harus melakukan PHK terhadap ratusan pekerjanya dalam rangka efisiensi.
Singtel sendiri sampai kini masih teguh memegang kepemilikannya di Telkomsel. Singtel dengan tegas menolak upaya pemerintah untuk membeli saham Telkomsel miliknya.
Pada tahun 2011, Telkom mengumumkan rencananya untuk membeli kembali saham Telkomsel hingga 35%. Namun, rencana itu tampaknya tak pernah terwujud. Singtel sama sekali tidak melirik tawaran Telkom, dan hingga kini masih mengempit 35% saham Telkomsel.
Selalu Menambang Untung
Kengototan Singtel mempertahankan Telkomsel memang beralasan. Laporan keuangan Telkom menunjukkan bagaimana signifikannya Telkomsel mengganjal kinerja Telkom.
Prospek kinerja Telkomsel yang didirikan pada 26 Mei 1995, tepat hari ini 26 tahun lalu, ke depan memang masih menjanjikan. Hal itu berkebalikan dengan induknya. Beberapa lini usahanya mulai redup ditelan perkembangan teknologi. Salah satunya adalah bisnis telepon fixed line.
Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan bisnis Telkom berupa sambungan telepon fixed line sudah redup. Fenomena ini, kata Toto, diderita juga oleh perusahaan negara lain seperti Telsra (Australia) dan NTT (Jepang).
Sebaliknya ada perubahan pola gaya hidup ke bisnis seluler yang erat dengan internet, data, dan aplikasi. Bisnis yang inilah yang lebih moncer ke depan.
Itulah sebabnya kontribusi Telkomsel paling besar di antara anak usaha Telkom lainnya. Sebab bisnis masa depan seluler cukup menjanjikan.
“Jadi perlu inovasi baru bisnis model Telkom,” ucap Toto saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (13/2/2020).
Telkom juga dianggap belum bisa memaksimalkan infrastruktur yang dibangunnya. Seperti disampaikan Wakil Menteri BUMN saat itu, Budi Gunadi Sadikin, justru perusahaan teknologi lain seperti Spotify, Google yang memanfaatkan infrastruktur yang dibangun Telkom.
“Setiap bulan saya bayar ke mereka (Telkom) Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Tapi saya bayar per bulan ke perusahaan-perusahaan yang berdiri di atas infrastruktur mereka (Telkom) bisa sampai Rp 2-3 juta per bulan,” ucap Budi seperti dikutip dari Antara.
Dirut Telkom Ririek Adriansyah sendiri cukup optimistis dengan kinerja Telkom pada tahun 2020. Prospek yang cerah itu datang dari bisnis menara dan pusat data. Telkom berharap bisa mendapatkan tambahan pemasukan dari bisnis menara, setelah Indosat menyelesaikan lelang 2.100 menaranya.
Sumber mata pencaharian Telkom yang baru diharapkan bisa berasal dari pusat data yang sedang dibangun Telkom. Ririek, seperti dilansir dari Bisnis.com menyampaikan, Telkom sudah menyiapkan Rp 1 triliun dari dana internal untuk membangun pusat data baru. Pembangunan pusat data baru itu, menurut Ririek, sejalan dengan inisiasi perusahaan untuk membangun platform digital nasional yang merupakan gabungan data dari kementerian dan lembaga serta BUMN. Dalam hal ini, Telkom menggandeng perusahaan penyedia layanan komputasi awan, Cisco.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan pada 18 Februari 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf & Irfan Teguh Pribadi