tirto.id - Kritik Menteri BUMN Erick Thohir terhadap PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) di Menara Mandiri, pada Rabu (12/1/2020) lalu, sebenarnya bukan lah hal aneh. Sebab, cengkeraman gurita bisnis Telkom memang tak lagi sekuat dulu.
Padahal, ia diuntungkan karena punya jaringan kuat yang menjangkau hampir seluruh wilayah di Indonesia. Area yang belum terjangkau toh dikuasai juga dengan empat satelit yang dimilikinya.
Telkom, menurut Erick, juga kurang cekatan mengubah arah bisnisnya. Ia mencontohkan, misalnya, Telkom tertinggal ketika banyak perusahaan mulai mengembangkan bisnis big data dan komputasi awan.
Alhasil saat gelaran Asian Games 2018, Erick yang waktu itu jadi ketua pelaksana terpaksa menggunakan layanan cloud dari Alibaba yaitu Alicloud. Erick bilang andaikata Telkom waktu itu sudah punya, ia pasti akan memilih layanan plat merah.
“Saya juga enggak mau (pakai Alicloud). Kenapa itu tidak dilakukan Telkom,” ucap Erick.
Wajar pula jika kemudian Bos Mahaka Group itu mengatakan dividen Telkom tak seberapa dibanding entitas anak usahanya PT Telekomunikasi Selular alias Telkomsel.
"Enak jadi Telkom. Telkomsel [kasih] dividen, revenue Telkomsel digabung ke Telkom hampir 70 persen. Mendingan enggak ada Telkom. Langsung aja Telkomsel dimiliki oleh Kementerian BUMN, dividennya jelas,” ucap Erick
Sindiran Erick tergambar dalam laporan keuangan Telkom per September 2019. Dibandingkan entitas anak usaha lain, Telkomsel memang punya peran besar membuat kinerja keuangan PT Telkom kinclong. Telkom menguasai 46,5 triliun ekuitas Telkomsel dengan kepemilikan saham 65 persen.
Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Toto Pranoto menjelaskan minimnya kinerja Telkom ini disebabkan karena bisnis Telkom berupa sambungan telepon fixed line sudah redup. Fenomena ini kata Toto diderita juga oleh perusahaan negara lain seperti Telsra (Australia) dan NTT (Jepang).
Sebaliknya ada perubahan pola gaya hidup ke bisnis seluler yang erat dengan internet, data, dan aplikasi. Untuk layanan SMS dan telepon provider telekomunikasi pun katanya juga sudah relatif meredup.
Alhasil memang tidak mengherankan kalau kontribusi Telkom tampak paling besar di antara anak usaha lainnya. Sebab bisnis masa depan seluler cukup menjanjikan.
“Jadi perlu inovasi baru bisnis model Telkom,” ucap Toto saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (13/2/2020).
Faktor lainnya, Telkom juga dinilai terbebani dengan kewajiban membangun infrastruktur jaringan. Biayanya menurut Toto bukan main dan cukup mahal. Pada kasus ini, Toto menilai Telkom jangan mau infrastruktur yang ia bangun hanya dimanfaatkan orang.
Salah satu opsinya Telkom bisa mencoba bisnis Over The Top yang mengurusi konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Toto menambahkan urusan ini bisa jadi fokus anak usaha Telkom ke depan.
Momentum ini menurutnya perlu dimanfaatkan untuk membenahi anak usaha yang berkinerja buruk. Belum lagi setahunya ada anak usaha Telkom seperti GSD yang mengurusi properti dan notabene tidak sesuai core bisnis BUMN yang akhir-akhir ini membuat kesal Erick Thohir.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menambahkan rendahnya kinerja Telkom sudah terjadi setidaknya satu decade lalu. Selain persoalan bisnis fixed line meredup, ia menilai ada persoalan di manajemen yang menggerogoti perusahaan plat merah itu.
Ia mencontohkanjajaran komisaris dan direksi juga tidak banyak memiliki visi, strategi dan leadership Telkom untuk menjawab mau dibawa ke mana perusahaan ini. Lalu ia juga mendapati banyak pola pikir karyawan dan direksi belum bertransformasi ke digital.
“Lihat saja jajaran komisaris diisi oleh orang partai, tim sukses, atau pejabat, sehingga tidak fokus. Mereka juga cukup senang pendapatan dihitung secara konsolidasi dengan Telkomsel,” ucap Heru saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (13/2/2020).
Ia membenarkan kalau tren dunia sudah mengarah ke digital dan OTT memang memiliki potensi menjanjikan. Namun, setahunya hal itu tidak mudah. “Tapi memang keterbatasan dana pengembangan itu yang jadi masalah karena keuntungan harua disetor ke negara,” ucapnya.
Di sisi lain ia juga menyatakan di Indonesia tidak banyak perusahaan yang berkiprah di OTT. Indonesia memang memiliki 5 start up bervaluasi 1 miliar dolar AS atau Unicorn, tetapi belum ada yang menseriusi cloud computing sampai media sosial. “Ke depan persaingan makin tajam termasuk dengan Telkom,” ucapnya.
Ia menyarankan lebih baik Telkom membuat Holding BUMN Multimedia. Ia bilang banyak BUMN lain memiliki dan menjual jaringan banyak seperti BRI dengan BRIsat, PGN lewat Pegaskom, termasuk Telkomsel. Dengan kata lain, Telkom dinilai punya potensi melakukan konsolidasi terhadap jaringan itu dan bisa mendulang pendapatan dengan menyewakannya.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana