tirto.id - Tirani partai tunggal, bencana kelaparan, pembunuhan massal. Inilah gambaran umum tentang komunisme sejak 1989-1991, setelah Tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet bubar.
Setidaknya itulah yang diyakini kolumnis Washington PostIlya Somin. Paparan Somin, seorang peneliti tamu di Cato Institute—sebuah think tank pro-pasar bebas asal AS—memang mengandung kebenaran, tetapi banyak detail (termasuk statistik) yang dikutipnya berasal dari sebuah riset yang bermasalah secara metodologis, The Black Book of Communism (Stephane Courtois dkk, 1997).
Black Book, yang mengklaim bahwa komunisme telah membunuh 100 juta orang di seluruh dunia,takhanya gagal menyajikan gambaran utuh situasi masyarakat di negeri-negeri Blok Timur, tapi juga didiskreditkan oleh banyak ahli sejarah komunisme dan sovietolog, bahkan sejak November 1997, ketika cetakan pertamanya terbit di Perancis. Dalam “Communisme: Le Retour a l’histoire” yang terbit di Le Monde (November 1997), dua anggota tim penulis Black Book, Jean-Luc Margolin dan Nicolas Werth blak-blakan mengaku bahwa kepala tim penulis Black Book, Stephane Courtois, sungguh-sungguh terobsesi untuk sampai pada angka "100 juta korban jiwa" sehingga tidak lagi membedakan mana korban perang, korban kelaparan, dan korban bencana alam.
Satu hal yang luput dari Black Book dan banyak pembicaraan lain tentang praktik komunisme abad ke-20 adalah fakta bahwa perempuan di negeri-negeri komunis memiliki kemerdekaan yang sangat besar untuk mengejar karier dan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Entah itu di Eropa Timur, Kuba, atau di Burkina Faso era Thomas Sankara (1983-87), negara berusaha meringankan beban kerja-kerja domestik perempuan. Ketika mayoritas negeri di seluruh dunia kesulitan untuk mengganjal ketimpangan upah dan capaian karier antara perempuan dan laki-laki, negara-negara Blok Timur justru memimpin dalam hal kesetaraan gender di ranah profesional.
Maret tiga tahun silam,Financial Times melaporkan bahwa 8 dari 10 negara dengan persentase terbesar perempuan yang bekerja di bidang teknologi adalah negara-negara bekas Eropa Timur. Kesuksesan negara-negara di orbit Uni Soviet ini untuk mendorong perempuan bekerja di bidang matematika, sains, dan teknik masih terlihat dampaknya bahkan tiga dekade setelah runtuhnya Tembok Berlin.
Hal ini juga pernah dikonfirmasi oleh laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) 2015 yang mengungkapkan bahwa 6 dari 10 negara dengan persentase jumlah dokter perempuan terbanyak ada di negara-negara bekas Blok Timur. Sebanyak 74% dokter di Estonia, misalnya, adalah perempuan. Persentase ini melampaui porsi dokter perempuan di Amerika Serikat yang hanya 35% pada tahun itu.
Contoh lain lagi: United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menemukan bahwa negara-negara Eropa Timur memiliki persentase jumlah perempuan yang bekerja di bidang riset dan pengembangan lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat.
Kristen R. Ghodsee, ahli etnografi dan profesor pada program studi Rusia dan Eropa Timur di University of Pennsylvania, mengungkapkan dalam studinya di jurnal Catalyst“What Has Socialism Ever Done For Women?” (2018) bahwa fenomena ini disebabkan oleh komitmen negara-negara bekas Blok Timur terhadap pendidikan dan karier perempuan.
Selepas Perang Dunia II, negara-negara Blok Barat cenderung berfokus mengembalikan susunan keluarga batih (nuclear family) yang secara saklek menempatkan suami sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Amerika Serikat, misalnya, menganggap kebijakan negara-negara sosialis yang mendukung perempuan bekerja di luar rumah sebagai kebijakan yang akan merusak tatanan keluarga. Di Jerman Barat, perempuan bahkan harus meminta izin dari suami untuk bekerja di luar rumah hingga 1977.
Negara-negara sosialis mengambil langkah berbeda: melibatkan perempuan dalam rekonstruksi ekonomi pasca-perang. Tenaga kerja laki-laki saja jelas tidak cukup. Rusia kehilangan hampir 2% penduduk selama Perang Dunia I dan Uni Soviet kehilangan 14% populasi dalam Perang Dunia II (PDF). Negara-negara Eropa Timur lain pun kehilangan ratusan ribu warga negaranya selama Perang Dunia II (PDF).
Akar Ideologis
Di sisi lain, dukungan agar perempuan bisa leluasa berkarier di luar rumah juga berakar dari kepercayaan bahwa emansipasi perempuan dapat tercapai jika perempuan tak lagi bergantung secara ekonomi kepada laki-laki. Pemahaman ini, catat Ghodsee, bertumpu pada tiga teks utama Woman and Socialism (August Bebel, 1879), The Origin of the Family, Private Property, and the State (Friedrich Engels, 1884), dan The Woman Question (Lily Braun, 1901).
Ketiganya mengerucut pada sejumlah kesimpulan. Pertama, institusi pernikahan monogami muncul dari kebutuhan laki-laki untuk melestarikan hak milik pribadi, caranya dengan menikahi perempuan demi mendapatkan keturunan. Kedua, perempuan baru akan merdeka seutuhnya bisa sama-sama menikmati hasil pekerjaan mereka sebagaimana laki-laki. Ketiga, negara harus mendukung para ibu dengan menyediakan fasilitas yang dapat membantu mereka menyeimbangkan karier dan pekerjaan domestik.
The Woman Question khususnya menyoroti kebutuhan khas para ibu. Karena aktivitas mereka berkontribusi terhadap masyarakat secara keseluruhan, demikian Braun, negara harus memberikan kompensasi atas kerja-kerja perempuan dalam membesarkan anak. Idealnya, hal ini akan memungkinkan perempuan untuk menjadi ibu sekaligus pekerja.
Sebagai implementasinya, Alexandra Kollontai, aktivis Bolshevik dan feminis Rusia yang kemudian menjabat sebagai Menteri Sosial pada 1917, mendukung rencana emansipasi perempuan dengan membangun fasilitas-fasilitas komunal seperti kafeteria, laundry, tempat menjahit pakaian, dan tempat penitipan anak. Harapannya, setelah terbebas dari beban rumah tangga, perempuan dapat menduduki posisi setara dengan laki-laki dan dapat menempuh pendidikan, karier, dan hubungan personal sesuai keinginan mereka.
Ada pula kebijakan radikal untuk merevisi undang-undang keluarga dengan tujuan memastikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mengizinkan perempuan untuk menuntut cerai, menyetarakan perlakuan terhadap anak kandung dan anak angkat, dan menjamin hak-hak reproduktif perempuan. Pada 1917, misalnya Uni Soviet mengeluarkan dua dekrit untuk menggantikan pernikahan gereja dengan pernikahan sipil dan mempermudah proses perceraian. Pada 1920, Uni Soviet menjadi negara Eropa pertama yang melegalisasi aborsi selama trimester pertama.
Inisiatif Kollontai menginspirasi kesepatakan Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang hingga kini telah diratifikasi oleh 189 negara. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat baru menandatangani perjanjian ini pada 1980, satu tahun setelah perjanjian ini diadopsi oleh PBB. Namun, hingga saat ini, Amerika Serikat termasuk dalam segelintir negara (bersama Iran, Palau, Somalia, Sudan, dan Tonga) yang belum meratifikasinya.
Ghodsee dalam esainya “Why Women Had Better Sex Under Socialism” di New York Times memaparkan hasil wawancaranya pada 2011 dengan seorang perempuan asal Bulgaria, Ana Durcheva, yang hidup bersama komunisme selama 43 tahun.
“Tentu, ada beberapa hal yang buruk saat itu, tetapi hidupku penuh romansa. Setelah bercerai, aku punya pekerjaan dan upah, dan tidak membutuhkan laki-laki untuk menanggung hidupku. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau,” kata Durcheva yang menjadi ibu tunggal bertahun-tahunsetelah bercerai.
Durcheva membandingkan situasinya dahulu dengan kondisi anak perempuannya yang lahir pada 1970-an. Ia menyebut sang anak hanya “kerja dan kerja”. “Ketika pulang ke rumah di malam hari, ia terlalu lelah untuk bersama suaminya. Tapi tak masalah, karena suaminya juga capek. Mereka duduk di depan televisi seperti zombie. Waktu aku seusia dia, aku lebih banyak bersenang-senang.”
Kebijakan-kebijakan ini memang tidak sepenuhnya konsisten dan ada kalanya ditunda akibat perang. Para 1930-an, Sekretaris Umum Partai Komunis Uni Soviet Joseph Stalin mendapati angka kelahiran turun drastis sehingga rencana industrialisasi terancam. Padahal, industrialisasi khususnya di sektor logam dan persenjataan saat itu mutlak diperlukan di tengah fasisme yang tengah mengamuk di seantero Eropa dan mengancam Rusia.
Walhasil, Stalin kembali melarang aborsi dan mempersulit proses perceraian. Di sisi lain, Stalin dengan Rencana Lima Tahun Pertama-nya masih membutuhkan partisipasi perempuan di dunia kerja, tetapi tidak menunjukkan komitmennya untuk meringan beban domestik perempuan lewat fasilitas-fasilitas umum seperti yang digagas Kollontai. Akibatnya, perempuan di Uni Soviet kembali merasakan beban berlapis: bekerja dan mengurus anak seperti yang digambarkan di novel pendek Week Like Any Other (1969).
Meskipun demikian, kebijakan Kollantai diteruskan di negara-negara Eropa Timur selepas Perang Dunia II. Pada 1952, perempuan Hungaria berhak mempertahankan nama lahirnya ketika menikah—bandingkan dengan tetangganya, Austria, yang baru menjamin hak yang sama pada 1995. Sejak 1950-an, pemerintah Jerman Timur mendorong laki-laki untuk mengambil peran lebih aktif di rumah. Begitu pula dengan Komite Perempuan di Bulgaria yang berupaya untuk mendidik laki-laki sejak kecil untuk mau melakukan kerja-kerja domestik.
Meski implementasi di tiap negara bisa berbeda-beda, kebanyakan negara Eropa Timur juga kembali memperbanyak layanan penitipan anak, tempat laundry, dan kafetaria. Tempat penitipan bayi (crèche) untuk usia 1-3 tahunjuga tersedia. Banyak perempuan tetap memilih untuk tinggal di rumah dan merawat sendiri anak mereka. Negara-negara ini memastikan perempuan mendapatkan cuti hamil tanpa harus kehilangan pekerjaan. Kehamilan dan melahirkan juga dihitung sebagai “labor service” dan pendapatan darinya diakumulasikan ke pensiun perempuan.
Buah dari kebijakan ini dapat terlihat dari timpangnya persentase pekerja perempuan antara di negara-negara Eropa Timur dan Barat. Pada 1950, persentase perempuan yang masuk dunia kerja mencapai 51,8% di Uni Soviet dan 40,9% di Eropa Timur. Sementara itu, di Amerika Utara, persentasenya hanya 28,3% dan di Eropa Barat 29,6%. Pada 1975, 49,7% pekerja di Uni Soviet dan 43,7% di Eropa Timur adalah perempuan. Sementara itu, di Amerika Utara, porsi pekerja perempuan masih di angka 37,4% dan di Eropa Barat 32,7%.
Perempuan pun memutuskan untuk bekerja tidak hanya untuk berkontribusi terhadap keuangan rumah tangga, tetapi juga karena menginginkan kesempatan untuk keluar rumah dan bertemu orang lain setiap harinya.
Hal serupa juga ditemukan oleh survei Politics, Work, and Daily Life in the USSR: A Survey of Former Soviet Citizens (James R. Millar, dkk, 2010) yang menyatakan 63% warga eks-Uni Soviet merasa puas dengan pekerjaan mereka dahulu. “Hal yang paling menarik adalah tingginya tingkat kepuasan perempuan terhadap pekerjaan mereka yang sangat tinggi, ketika tingkat kepuasan laki-laki saja sudah tinggi. Diskriminasi upah dan segregasi pekerjaan memang masih ada, sebagaimana di negeri-negeri industri lainnya, tapi tidak berdampak kepada tingkat kepuasan perempuan terhadap pekerjaan mereka,” tulis Millar.
Sejumlah akademisi dan feminis telah mengkritik pemenuhan kebutuhan domestik yang ditetapkan negara-negara Blok Timur ini sebagai “emansipasi dari atas”. Penulis Slavenka Drakulic dalam “How We Survived Post-Communism (and Didn’t Laugh)” (2015), misalnya, mengingatkan bahwa kebijakan di Blok Timur lebih banyak dipatuhi di ruang publik dan di ranah kelembagaan, tetapi mengabaikan situasi perempuan di ranah privat. Kasus kekerasan domestik, tambah Drakulic, seringkali tak dilaporkan. “Laki-laki pun tetap merasa tidak memiliki tanggung jawab di rumah”.
Hasil kajian dan penelitian Ghodsee tentang capaian feminis di bawah pemerintahan komunis juga menerima banyak kritik dari feminis Barat. Filsuf Nanette Funk, misalnya, menyatakan Ghodsee telah mengabaikan kisah penindasan rezim-rezim otoriter Eropa Timur. Funk menyebut Ghodsee “feminis revisionis” yang berambisi “mengais-ngais keagenan perempuan dari era anti-kapitalis” dan akhirnya membuat “distorsi” dan “klaim berlebihan” tentang kemungkinan aktivisme feminis di negara komunis.
Ghodsee merespons kritik ini dengan menyatakan bahwa feminisme hari ini harus mampu melampaui keinginan “aktualisasi diri”. Dengan kata lain, kebutuhan materiil sehari-hari perempuan juga perlu diperjuangkan. Jika feminisme bertujuan meningkatkan kualitas hidup perempuan dengan menghilangkan diskriminasi dan memperluas kesetaraan, catat Ghodsee, “mestinya ada ruang untuk mempertimbangkan kebijakan ‘ramah perempuan’ sebagaimana yang telah dilaksanakan negara-negara sosialis”.
Editor: Windu Jusuf