tirto.id - Charlotte Salawati Daud adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang sejak 1955 duduk di parlemen, wakil dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Demikian ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan (2011:53)
Pada masa revolusi, seperti dicatat dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi (1953:541), Salawati Daud adalah pemimpin redaksi surat kabar dwi mingguan bernama Wanita yang beralamat di Jalan Maluku I nomor 20, Makassar. Kala itu, Makassar adalah daerah pendudukan dan pernah jadi ibukota Negara Indonesia Timur (NIT) yang disponsori Belanda.
Menurut Barbara Sillars Harvey dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:131), Salawati Daud bersama Henk Rondonuwu dan Nyonya Tololiu mengajukan petisi yang menentang kampanye pasifikasi Kapten Westerling yang terjadi antara Desember 1946 hingga Februari 1947.
Salawati Daud yang berasal di Sangir, Sulawesi Utara, membuktikan bahwa kaum Republik masih ada di Sulawesi Selatan dan bisa melakukan perlawanan terhadap Belanda.
“[Dia] berjasa sebagai salah seorang organisatoris peristiwa Masamba, yang direncanakan untuk memperlihatkan kepalsuan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), seakan-akan tidak adanya perlawanan terhadap kekuasaan mereka di Sulawesi Selatan,” tulis Barbara Sillars Harvey.
Setelah Konferensi Meja Bundar, Salawati Daud menjadi Walikota Makassar. Dia bukan hanya walikota perempuan pertama di Makassar, tapi juga di Indonesia. Salawati Daud bukan tipe Republiken yang hanya membenci musuh-musuhnya, tapi juga merangkulnya saat mereka kesulitan. Seperti yang terjadi saat bekas serdadu KNIL bimbang atas nasib mereka menjelang angkat kakinya Belanda dari Indonesia.
Menurut Agoes Anwar dalam
Soumokil dan Hantjurnja RMS (1964:35-36), pada 3 Februari 1950 Salawati Daud bertemu dengan bekas pasukan baret merah Belanda, Sersan Thomas Nussy. Dia merasa senang dengan adanya bekas KNIL yang mau masuk ke TNI. Esoknya, bintara KNIL lain, Sopacua, juga bertemu dengannya. Namun, sejumlah serdadu KNIL lainnya membuat keributan di Makassar pada awal April dan awal Agustus 1950. Setelah tentara Belanda angkat kaki, Salawati Daud aktif menyelesaikan permasalahan bekas gerilyawan di Sulawesi Selatan. Para mantan kombatan itu kecewa karena tak diterima masuk TNI. Sementara bekas KNIL banyak yang masuk TNI, malah mendapat kenaikan pangkat.Ketika terbentuk Komite Djasa—oleh partai-partai politik dan organisasi massa di Makassar—Salawati Daud menjadi ketuanya. Pada 22 Agustus 1950 dia memimpin misi ke pemerintah pusat untuk membahas masalah bekas gerilyawan itu. Salawati Daud adalah salah seorang yang bertemu bekas gerilyawan macam Kahar Muzakkar untuk berdiplomasi.
Barbara Sillars Harvey menyebut Salawati Daud mendatangi markas pasukan Kahar Muzakkar yang sangat jauh jaraknya dari kota Makassar, yakni di Barakka, Enrekang, dekat Tana Toraja.
Pada tahun 1951, pemerintah pusat memberi kesempatan kepada bekas gerilyawan yang ingin jadi tentara atau kembali ke masyarakat. Usaha ini tidak mudah, karena banyak bekas gerilyawan di Sulawesi Selatan yang terus melawan pemerintah, yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
Akhir 1951, Gubernur Sudiro minta bantuan Salawati Daud untuk menemui Kahar Muzakkar. Namun, pemimpin DI/TII itu menunda-nunda. Bahkan ketika Sudiro sudah di Palopo, tanpa pengawalan militer yang ketat, Kahar tak datang. Usaha mendamaikan Kahar dengan pemerintah pun gagal lagi.
Salawati Daud dianggap sebagai pembawa pengaruh paham Kiri di Makassar. Sebelum 1955, dia adalah anggota Partai Kedaulatan Rakjat (PKR) di Makassar, bukan PKI. Setelah gempa politik 1965, sebagaimana yang merundung anggota dan simpatisan PKI lainnya, Salawati Daud juga menjalani tahun-tahun suram. Dia yang kala itu sudah berusia lebih dari separuh abad, dijebloskan di kamp ditahan dengan penjagaan ketat.
Keterkaitannya dengan PKI seolah menggugurkan jasa-jasanya terhadap Republik. Charlotte Salawati Daud, seperti orang-orang PKI lainnya, dihinakan dan dilupakan orang. Kini namanya hanya tersisa di Masamba, Sulawesi Selatan, menjadi nama salah satu ruas jalan.
Editor: Irfan Teguh