tirto.id - Pandemi COVID-19 telah berlangsung selama hampir 2 tahun di Indonesia sejak kasus positif pertama dilaporkan di Maret 2020. Jumlah kasus COVID-19 nasional kini mencapai 4,26 juta kasus dan telah menewaskan lebih dari 144 ribu jiwa per 29 Desember 2021, menurut data situs resmi pemerintah covid19.go.id.
Dalam setahun terakhir, ada empat huruf yang mewarnai pengumuman pemerintah terkait pandemi COVID-19: PPKM. PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk membatasi pergerakan dan aktivitas yang berpotensi menciptakan kerumunan agar penyebaran COVID-19 tidak meluas.
Pemerintah pada Juli 2021 menginjak “rem” mendadak dengan menerapkan PPKM Darurat untuk menekan lonjakan angka penyebaran COVID-19 di Tanah Air yang pada puncaknya mencapai 56.757 kasus positif harian pada 15 Juli. PPKM Darurat pada awalnya diberlakukan pada tanggal 3 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus di Jawa dan Bali.
“PPKM Darurat ini akan meliputi pembatasan-pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat daripada yang selama ini sudah berlaku,” ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengutip siaran pers.
Pemerintah mulai melonggarkan PPKM ini seiring perbaikan situasi pandemi di Indonesia. Teranyar, PPKM di luar Jawa-Bali akan dilanjutkan dari 24 Desember 2021 hingga 3 Januari 2022 selama periode Natal dan Tahun Baru 2022, meskipun pemerintah memutuskan untuk membatalkan PPKM level 3 di di seluruh wilayah Nusantara pada periode liburan ini.
Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan tren kasus COVID-19 di Indonesia yang melandai, serta beragam informasi terbaru tentang varian baru virus penyebab COVID-19, Omicron, yang terindikasi relatif tidak terlalu mengkhawatirkan, menurut pemerintah.
Lantas, benarkah tren kasus di Indonesia memang telah melandai saat ini? Bagaimana perkembangan kasus COVID-19 dan vaksinasi di Indonesia setahun ke belakang, dan apa saja masalahnya? Apa saja upaya-upaya pemerintah dalam menangani COVID-19 di Indonesia pada 2021? Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencegah lonjakan kasus COVID-19 pada 2022 di tengah semakin merajalelanya persebaran varian Omicron?
Kurva Menurun?
Data yang dilansir dari KawalCOVID19 menunjukkan bahwa angka kasus positif terkonfirmasi harian secara nasional pada Januari 2021 naik tipis dari bulan sebelumnya, namun menurun kembali pada bulan-bulan berikutnya. Pada waktu itu, pemerintah melaksanakan PPKM tahap pertama pada periode 11-25 Januari 2021 yang kemudian diperpanjang beberapa kali.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane mengatakan kepada Tirto, Senin (27/12/2021), bahwa sirkulasi varian virus SARS-CoV-2 jenis Delta di Indonesia sejak 7 Januari 2021 menjadi penyumbang utama kenaikan kasus COVID-19 pada awal 2021. Namun, program penguatan tracing waktu itu berhasil menekan lonjakan jumlah kasus, menurut Masdalina.
Tracing adalah proses pencarian dan pemantauan pihak-pihak yang mengalami kontak dengan orang yang terinfeksi COVID-19, guna memutus rantai penularan virus ini di masyarakat. Kementerian Kesehatan bersama Satgas Penanganan COVID-19 pertama kali meluncurkan program penguatan tracing pada 3 November 2020 dengan merekrut ribuan tenaga contact tracer dan data manager untuk 51 kabupaten/kota di 10 provinsi prioritas.Masdalina menceritakan bahwa pemerintah memberhentikan program tersebut pada Maret 2021 dan mengalihkan tracing tersebut kepada Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Akibatnya, Indonesia tidak mampu menahan lonjakan kasus pada bulan Juni-Juli 2021 ketika varian Delta masih bersirkulasi, menurut Masdalina.
Data KawalCOVID-19 yang sama menunjukkan bahwa angka COVID-19 meroket pada Juli 2021 dengan puncak jumlah kasus baru pada 15 Juli 2021, yang jumlahnya naik lebih dari 7 kali lipat dari kasus terkonfirmasi positif harian 1 Januari 2021 sebanyak 8.072 kasus. Jumlah kematian harian menunjukkan tren kenaikan tajam yang sama.
Pada waktu itu, Indonesia menerapkan PPKM Darurat untuk menanggapi lonjakan kasus. Indonesia pun meluncurkan kode QR untuk aplikasi PeduliLindungi untuk memperkuat upaya penurunan penyebaran COVID-19, menukil siaran pers Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Jumlah kasus harian menukik turun hingga menyentuh 92 kasus per 26 Desember 2021, terendah sejak 23 Maret 2020. Masdalina menjelaskan, program tracing yang dimulai kembali pada Agustus 2021, upaya vaksinasi, meningkatnya pemahaman terkait 3M (Mencuci tangan, Memakai masker, Menjaga jarak) dan perbaikan jumlah testing dalam 6 bulan terakhir berkontribusi pada penurunan hingga akhir tahun 2021.
Pemerintah pun perlahan-perlahan menurunkan level PPKM di berbagai daerah seiring perbaikan jumlah kasus COVID-19, meskipun ada beberapa upaya pengetatan guna mengantisipasi kenaikan kasus saat liburan Natal dan Tahun Baru.
Masdalina menilai PPKM yang terus berubah-ubah pada 2021 tidak efektif. Sebab, standar pengendalian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang meliputi tracing serta isolasi dan karantina masih sama hingga saat ini. Gejala dan masa inkubasi COVID-19 selama 2-14 hari pun masih sama, hanya tingkat reproduksi (R0) virusnya saja yang berbeda-beda.
Rekomendasi tindakan terkait kesehatan masyarakat dan sosial atau public health and social measures (PHSM) WHO dalam konteks pandemi COVID-19 mencakup perlindungan pribadi (3M di Indonesia), lingkungan (pembersihan, disinfeksi, ventilasi), pengawasan dan respons (pelacakan kontak, isolasi dan karantina), pembatasan jarak fisik, serta tindakan-tindakan terkait perjalanan internasional.
WHO merekomendasikan pula karantina untuk semua kontak dari individu yang telah terkonfirmasi atau memiliki kemungkinan terinfeksi COVID-19. Karantina ini bisa dilakukan di fasilitas khusus atau ruangan terpisah di rumah masing-masing, selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan individu yang terkonfirmasi positif atau kemungkinan terinfeksi COVID-19. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan risiko penularan lebih luas.
“Karena itu, intervensi utamanya, intervensi standarnya tetap sama. Jadi kalau ada kebijakan yang berubah-ubah, maka bisa dipastikan kebijakan itu tidak efektif,” tutur Masdalina.
Ia pun mengkritik pemerintah karena telah semena-mena menetapkan target tes COVID-19 di kisaran 400-500 ribu orang per hari. Saat ini, rata-rata jumlah tes sejak awal tahun hingga 26 Desember 2021 adalah 102 ribu orang per hari, sementara jumlah terbanyak baru mencapai 293 ribu orang pada 17 September 2021.
Masdalina menjelaskan, sebagian besar testing untuk keperluan diagnostik masih menggunakan tes antigen, sedangkan tes untuk pelaku perjalanan dalam negeri justru memakai tes polymerase chain reaction (PCR). Ia pun meragukan basis ketentuan testing yang meningkat sesuai dengan tingkat positivity rate mingguan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2021. Positivity rate sendiri adalah perbandingan antara jumlah kasus positif COVID-19 dengan jumlah tes yang dilakukan.
Di dalam instruksi tersebut juga tertulis bahwa tes COVID-19 perlu terus ditingkatkan dengan target positivity rate kurang dari 10 persen.Secara global, Covid Resilience Ranking yang dibuat Bloomberg menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 51 dari 53 negara yang diamati, yakni di atas Vietnam namun tertinggal dari Filipina, Thailand maupun India. Artinya, penanganan COVID-19 di Indonesia masih belum efektif dan masih mengalami pergolakan sosial dan ekonomi.
Ranking ini ditentukan dengan mengukur 12 indikator data yang mencakup penahanan penyebaran virus, kualitas perawatan kesehatan, cakupan vaksinasi, kematian secara keseluruhan, serta sejauh apa progres negara tersebut dalam memulai kembali terbukanya perjalanan.
Masih Jauh Dari Target?Pada 6 Desember 2020, Indonesia pertama kalinya menerima kedatangan vaksin Sinovac sejumlah 1,2 juta dosis. Presiden Joko Widodo menjadi penerima vaksin pertama pada 13 Januari 2021, yang menjadi titik awal dimulainya program vaksinasi COVID-19 di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan pada keterangan pers 1 November 2021 bahwa Indonesia telah menerima sebanyak 252 juta dosis vaksin COVID-19 dan 241 juta dosis di antaranya sudah didistribusikan ke seluruh daerah di tanah air. Baru-baru ini, ia juga menyatakan bahwa stok vaksin COVID-19 Indonesia mencapai 139 juta dosis pada akhir Desember 2021, dilansir dari Tempo.
"Jadi kita punya 139 juta per akhir Desember perkiraannya. Laju suntik kita sebulan 40 jutaan. Jadi itu stok cukup untuk 3,4 bulan. Ini tinggi," kata Budi (28/12/2021).
Pemerintah menargetkan agar 70 persen atau setara 208 juta dari total sasaran populasi menerima vaksin dosis pertama pada akhir Desember ini. Angka ini nampaknya telah tercapai dengan total penerima vaksin dosis pertama sebanyak 76,83 persen target populasi atau setara sekitar 160 juta dosis per 30 Desember 2021, merujuk pada data Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, terpisah, terkait target vaksinasi dosis kedua atau vaksinasi lengkap, Menteri Budi juga menyatakan bahwa pemerintah menargetkan penerima dosis kedua sebanyak 123 juta di akhir tahun 2021. Namun, hingga 30 Desember 2021, penerima vaksin dosis lengkap masih berada di angka 113 juta atau 54,26 persen target populasi.
Bahkan, selanjutnya, pemerintah menargetkan untuk menyelesaikan pemberian vaksin dosis pertama dan dosis kedua untuk 208 juta jiwa penduduk pada Maret 2022, sebagaimana disampaikan Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, dilansir dari Kompas.com.
Target ini bisa dikatakan menantang, mengingat data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan masih ada selisih yang cukup signifikan antara capaian dosis pertama dan kedua, yakni masing-masing 76,83 persen dan 54,26 persen pada 30 Desember 2021.
Perbedaan terbesar terlihat pada penerima vaksin dari kelompok masyarakat rentan dan umum. Per 27 Desember 2021 saja, ada sekitar 33 juta orang dari kelompok ini yang belum menerima vaksin dosis kedua. Sebagai catatan, sasaran penerima vaksin dari kelompok ini memang lebih banyak dibanding kelompok lain.
Beralih ke capaian vaksinasi lengkap menurut provinsi, masih dengan data yang sama per 27 Desember 2021, DKI Jakarta melampaui target sasaran hingga 112,97 persen. Namun, banyak provinsi di luar Pulau Jawa jauh yang tingkat vaksinasi lengkapnya masih di bawah 40 persen, seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Aceh. Ketua Ikatan Ahli Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan bahwa keluhan dari daerah seringkali berkutat pada kurangnya fasilitas, akses yang tidak memadai, dan belum datangnya vaksin ketika masyarakat bahkan sudah siap.“Facility-based perlu dioptimalkan bagi daerah yang tidak memungkinkan bisa dilakukan penjangkauan. Perlu juga upaya di luar kebiasaan, dengan cara misalnya di kelurahan saya itu pulang dari vaksin diberi paket sembako. Supaya orang semangat,” ungkap Ede (28/12/2021).
Penolakan terhadap vaksin pun masih kerap terjadi. Survei Tirto pada Agustus lalu menemukan bahwa 17,4 persen masyarakat menjawab tidak ingin divaksin. Kebanyakan dari mereka menganggap vaksin berdampak negatif terhadap kesehatan (28,4 persen).
Alasan yang juga dominan, yaitu 26,8 persen orang menjawab ada banyak cara lain untuk menyembuhkan COVID-19. Sayangnya, alasan yang disebutkan termasuk beberapa jenis misinformasi, seperti terapi uap atau membersihkan hidung dengan garam.
Kebijakan Ke Depan?
Pemerintah saat ini menerapkan kebijakan-kebijakan seperti menghapus cuti bersama pada akhir tahun dan memperpanjang PPKM mulai tanggal 24 Desember hingga 3 Januari 2022 untuk mengantisipasi persebaran varian Omicron dan potensi kenaikan kasus di akhir tahun.
Per 27 Desember 2021, Kementerian Kesehatan mencatat total kasus terkonfirmasi Omicron di Indonesia sebanyak 46 kasus sejak pertama kali dilaporkan pada 16 Desember 2021 lalu. Hampir seluruh kasus merupakan pelaku perjalanan luar negeri.
Menteri Budi menghimbau masyarakat untuk tidak bepergian ke luar negeri kalau bukan urusan penting dan mendesak. Hal ini juga mengingat bahwa Inggris bahkan mencetak rekor kasus positif COVID-19 harian sebanyak 183.037 kasus pada 29 Desember 2021 lalu, dimana 90 persennya merupakan kasus Omicron, melansir BBC.
Mengantisipasi hal ini, mengutip siaran pers, pemerintah juga sedang mengevaluasi pemberian vaksin booster dari Pfizer, Sinovac, dan AstraZeneca. Pemerintah berharap kajian akan selesai pada pertengahan Januari 2022 dan memberikan booster melalui Izin Penggunaan Darurat (EUA) setelah data kajian selesai.
Indonesia juga berencana untuk menggunakan Vaksin Merah Putih, Vaksin Nusantara, Vaksin BUMN, dan Vaksin Kerja Sama Produksi Dalam Negeri untuk vaksin booster ini.
“Pemerintah masih menyelesaikan revisi Perpres dan Permenkes untuk dasar pengaturan vaksin booster, termasuk mengenai harga, distribusi dan pelaksanaan vaksinasi booster tersebut,” ucap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Ke depannya, Satgas COVID-19 berharap kepada pemerintah daerah dengan cakupan vaksinasi rendah agar dapat meniru pelaksanaan vaksin berbasis banjar (kampung) di Bali atau vaksin berbasis Rukun Warga (RW) di DKI Jakarta, melansir laman Satgas COVID-19. Cara lain adalah membuat sentra vaksinasi yang mudah dijangkau atau melangsungkan vaksin “jemput bola”, yakni kunjungan langsung oleh vaksinator.
Masdalina Pane dari PAEI pun mendorong pemerintah untuk menjaga pintu masuk untuk mencegah penyebaran varian Omicron. Jika varian tersebut sudah menular di tingkat komunitas, pemerintah perlu meningkatkan pencegahan seperti mengalihkan penggunaan masker kain ke kain medis atau memerintahkan masyarakat untuk bertahan diri di rumah.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah harus memberi perintah yang mudah dimengerti dan dilaksanakan. Ia mencontohkan, ketentuan PPKM Level 3 yang mengharuskan masyarakat untuk makan selama 20 menit di tempat makan umum/restoran “bagus di atas kertas” namun sulit dilaksanakan.
“Jadi harapan kita tentu pemerintah jangan berlebihan di dalam pengendalian. Intervensi yang eksesif membuat masyarakat menjadi susah,” ungkapnya. Ia pun berharap program tracing akan berlanjut mengingat program tracing akan berakhir pada 31 Desember 2021.
Ede Surya Darmawan dari IAKMI juga menekankan survei berkala kepada masyarakat penerima vaksin. Hal itu dilakukan untuk mengecek level antibodi, termasuk sejauh mana seseorang membutuhkan booster menurut tingkat ketahanan antibodinya.
Ede turut menyinggung piramida bangsa sehat. Di level paling mendasar, keluarga sebaiknya mempraktekkan hidup sehat. Berlanjut ke level kedua, perawatan kesehatan utama seperti Puskesmas harus lebih banyak bekerja bersama masyarakat. Level ketiga adalah kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan, deteksi, dan pengobatan secara lengkap.
Di level keempat, pemerintah perlu menjalin relasi kuat dengan epidemiolog dan ahli kesehatan masyarakat untuk mengembangkan kebijakan berbasis data, katanya. Terakhir, pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak, seperti media, organisasi profesi, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketika Indonesia mencapai level paling atas ini, maka akan tercipta daya tahan sistem kesehatan yang baik, tegasnya.
Editor: Farida Susanty