tirto.id - Hanya sehari setelah Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, gelombang protes datang dari berbagai elemen termasuk dari sejumlah kepala daerah. Tercatat ada enam gubernur, sepuluh walikota/bupati yang secara terbuka, baik tertulis melalui surat resmi maupun secara lisan, menyampaikan aspirasi penolakan. Beberapa seperti gubernur Kalimantan Timur bahkan secara tegas menyatakan penolakannya terhadap UU kontroversial ini.
Penolakan ini bisa dipahami karena beberapa hal. Pertama, sebagaimana yang juga menjadi salah satu pokok penolakan beberapa elemen masyarakat, proses sejak pengusulan hingga pengesahan sangat terbatas dan tidak melibatkan partisipasi publik secara luas, serta terburu-buru dan mengalahkan prioritas UU lainnya. Termasuk yang tidak dilibatkan oleh presiden dan DPR adalah otoritas daerah. Walikota Bogor, Bima Arya, misalnya, yang juga adalah Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Seluruh Kota Indonesia (APEKSI) menyatakan bahwa legislasi sama sekali tidak melibatkan APEKSI meskipun banyak aturan di UU tersebut melibatkan peran dan kewenangan Pemerintah Kota.
Kedua, penolakan para kepala daerah ini sangat bisa kita pahami karena UU Cipta Kerja secara signifikan mengubah peran dan fungsi pemerintahan daerah, terutama dari sisi kewenangan. Meskipun tidak mudah melacak ketentuan tentang kewenangan daerah dalam UU baru ini karena simpang siur naskah akhir UU, tapi jika kita melihat pada naskah yang diketok palu tertanggal 5 Oktober 2020 (berjumlah 905 halaman), sejumlah hal krusial patut menjadi perhatian pemerintah daerah. Beberapa pasal seperti pasal 17 memangkas kewenangan pemda dalam hal tata ruang. Dalam pasal 8 (2) disebutkan sejumlah kewenangan pemerintah pusat yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan penetapan ruang wilayah nasional. Sedangkan wewenang pemerintah daerah, sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria (yang ditetapkan oleh pemerintah pusat) adalah pengaturan, pelaksanaan, dan kerjasama antar provinsi.
Tentu pembatasan ini akan sangat berpengaruh pada kewenangan pemerintah daerah, karena hanya pemerintah pusat yang menentukan apa dan di mana lokasi pembangunan nasional tanpa harus ada persetujuan pemerintah daerah. Pembatasan ini mengubah aturan sebelumnya di UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur kewenangan pemda dalam tata ruang. Versi terakhir UU Cipta Kerja (yang berjumlah 812 halaman) tidak banyak mengubah aturan ini.
Di samping soal tata ruang, UU Ciptaker juga membatasi peran pemda dalam hal pemberian izin lingkungan untuk pengusaha (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/AMDAL). Pasal 22 UU Ciptaker mengubah secara substantif UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk menghapuskan kewenangan pemda dalam menilai dan menetapkan amdal perusahaan.
Salah satu konsekuensi penting dari pembatasan peran dan wewenang pemda ini adalah penurunan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD). Sebagaimana disoroti oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), pengambilalihan kewenangan perizinan kepada pemerintah pusat menyebabkan pemda tidak bisa mendapatkan retribusi dari pelayanan dan perizinan berusaha. Padahal retribusi ini adalah salah satu sumber PAD terbesar bagi pemda. Di samping itu, besar kemungkinan pemda juga enggan menjalankan fungsi pengawasan jika perizinan diberikan tanpa melalui kewenangan pemda. Hal yang sama juga bagi perizinan lainnya seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang juga menjadi salah satu penyumbang PAD terbesar.
Tentu saja konsekuensi yang paling penting adalah aturan-aturan di dalam UU Cipta Kerja ini fakta bahwa ia mengangkangi semangat otonomi daerah yang dimandatkan dalam konstitusi dengan sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat dan pemda sebagai pelaksana. UU ini juga mengubah secara mendasar pemahaman terhadap urusan pemerintahan konkuren (urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah. UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU ini.
Intensi terbesar tentu saja adalah memastikan investasi masuk tanpa hambatan, meski dalam kenyataan di banyak tempat, intensi ini memunculkan bentuk-bentuk penggusuran dan pemaksaan disertai kekerasan terhadap masyarakat. Bentuk sentralisasi kekuasaan seperti ini, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR (TAP MPR) X tahun 1998, “menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab”.
Tentu perlu diapresiasi adanya keinginan untuk menyederhanakan berbagai kemacetan perizinan dan birokrasi yang menghambat usaha di berbagai daerah. Beberapa studi pernah dilakukan oleh sejumlah elemen tentang hal ini. Misalnya saja yang pernah dilakukan KPPOD (2016), yang menekankan pada perlunya reformasi birokrasi dan transparansi serta penghapusan korupsi. Studi-studi ini menempatkan masalah utama pada regulasi nasional yang memayungi perizinan di daerah yang tidak sinkron antar institusi. Solusi sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat yang ditawarkan UU Ciptaker tidak merespons masalah tersebut, malah berpotensi semakin memperumit terutama karena UU ini harus diturunkan dalam banyak Peraturan Pemerintah (PP).
Jalan Pilkada
Nasi sudah menjadi bubur. Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah disahkan, meskipun cacat prosedur karena bukan draf akhir yang diketok palu. Penolakan masih terus terjadi dan semakin meluas. Presiden Joko Widodo sudah menulis surat kepada seluruh pemimpin daerah agar ikut mensosialisasikan UU ini. Namun belum ada pemerintah daerah yang menyatakan dukungan terhadap UU Cipta Kerja, kecuali pemimpin daerah dari partai pemenang Pemilu 2019. Pemerintah nampaknya akan memastikan UU ini mendapat dukungan dari semua kepala daerah karena daerah menjadi ujung tombak investasi-investasi besar dari luar negeri.
Ada dua opsi yang mungkin dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Pertama, membatalkan UU baru tersebut dan mencoba mengakomodasi aspirasi atau masukan dari pemda. Mengingat keinginan yang sangat besar yang sudah diutarakan presiden sejak November tahun lalu, bahkan sebelum pandemi melanda, opsi ini tak ubahnya menjilat ludah sendiri sehingga tidak mungkin dipilih.
Opsi lainnya: memastikan dukungan dari pemda menguat. Tapi, ada peluang besar jika pilkada nanti bisa memenangkan banyak calon pemimpin dari partai-partai pemenang pemilu, termasuk pemenangan kandidat-kandidat yang masih keluarga atau kerabat dekat baik eksekutif maupun legislatif yang berkuasa hari ini. Ini berarti, pilkada menjadi penting untuk memastikan agenda UU ini terpenuhi. Risiko akan adanya klaster COVID-19 baru sepertinya bukan pertimbangan utama bagi pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada. Bukan tidak mungkin, agenda pilkada ini menjadi bagian untuk memuluskan implementasi Omnibus Law UU Cipta Kerja mengingat pembahasannya yang terburu-buru dan tetap berkerasnya Pemerintah menyelenggarakan Pilkada.
Dilihat dari sisi yang lain, bagi kontestan pilkada, menang atau kalah tidak berarti banyak karena peran dan wewenang kepala daerah tidak lagi signifikan pasca UU Cipta Kerja ini. Ada 270 posisi kepala daerah di 9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang akan berkompetisi dalam pilkada nanti. Para pemenang pun harus cukup puas berhadapan dengan kesulitan serta keterbatasan yang muncul dari UU Cipta Kerja ini.
Bagi masyarakat secara umum, risiko yang akan dihadapi bukan saja soal COVID-19, tetapi juga risiko melegitimasi sebuah sistem yang akan membuka jalan kembalinya sentralisme. Dana pemilu tentu saja menjadi pemborosan besar, mengingat saat ini Indonesia belum keluar dari situasi pandemi dengan angka penderita yang masih tinggi. Kerusakan jangka panjang tentu bukan saja untuk kesehatan warga, tetapi juga bagi kesehatan sistem demokrasi kita.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.