tirto.id - Hari ini mulai pukul 18.00 WIB, gerhana bulan total bisa disaksikan. Ini adalah satu-satunya gerhana, baik matahari atau bulan, yang dapat diamati dari Indonesia sejak empat kali kemunculannya sepanjang tahun 2022.
Kiwari, menyaksikan fenomena langit seperti ini tidak perlu waswas. Berkembangnya ilmu astronomi modern membuat manusia dapat memahami alasan-alasan logis dari kemunculan gerhana. Kondisi ini jelas berbanding terbalik dengan ribuan tahun lalu.
Supranatural
Catatan mengenai gerhana selalu ada di berbagai peradaban kuno, mulai dari Aztec, Cina, sampai Yunani. Dokumentasi tertua berasal dari peradaban Cina tepatnya tahun 2134 SM, sebut Bryan Brewer dalam Eclipse: History, Science, Awe (2017: 19).
Kala itu penduduk Cina dihebohkan oleh matahari yang tiba-tiba menghilang. Mereka percaya matahari telah dimakan oleh naga jahat. Ketakutan pun melanda seluruh negeri.
Untuk mengusirnya mereka ramai-ramai menabuh gendang dan menembakkan panah ke langit. Tak lama kemudian, “sang naga pun menghilang dan matahari kembali bersinar.”
Sementara di Yunani, sastrawan Archilochus yang hidup sekitar tahun 680-645 SM pernah mendokumentasikan peristiwa serupa. Ia menulis puisi yang menggambarkan ketakutan saat matahari menghilang dan memprediksi bahwa di masa depan akan mengalami perbedaan kehidupan setelah peristiwa itu:
“Tidak ada yang bisa mengejutkan lagi. Sekarang Zeus, ayah dari Olympians, telah membuat malam di tengah hari. Menyembunyikan sinar matahari yang cerah, dan… ketakutan telah datang kepada umat manusia.
Jangan ada di antara kalian yang terkejut di masa depan jika binatang darat berganti tempat dengan lumba-lumba yang nanti lebih menyukai lautan dibanding daratan. Begitu juga lumba-lumba yang akan menyukai pergunungan.”
Masyarakat Yunani lantas lazim menyebut peristiwa ini dengan ekleipsis yang berarti “meninggalkan tempat biasa”, merujuk pada ketiadaan matahari di siang hari. Sebutan ini kemudian terserap ke bahasa Inggris menjadi eclipse yang artinya “gerhana”, baik matahari maupun bulan.
Matahari dan bulan, menurut argumen saat itu, adalah sumber kehidupan. Maka ketika keduanya seolah pergi, orang-orang dilanda ketakutan karena sumber kehidupannya hilang dan mungkin tak kembali.
Menurut Tyler Nordgen dalam Sun, Moon, Earth: The History of Solar Eclipses (2016), akibat tidak mampu mencari jawaban logis dari fenomena tersebut, maka lahirlah tindakan yang bersifat supranatural seperti melakukan pengusiran naga, membuat ritual pengusiran setan, dan sebagainya.
Meski demikian, bukan berarti manusia kala itu pasrah dan tidak mencari asal-usul kejadian yang kini disebut gerhana.
Mulai Mencari Jawaban
Para astronom Babilonia Baru (626-612 SM) yang mengamati waktu berdasarkan gerakan matahari dan bulan, serta mencatat detail tanggal pergerakannya, berhasil mengungkap fakta baru. Menurut mereka, peristiwa menghilangnya matahari dan bulan adalah fenomena langit biasa, rutinitas tahunan yang semestinya tidak lagi dipandang mistis.
Bahkan upaya mereka berhasil merumuskan siklus gerhana yang disebut saros. Ini jadi terobosan besar karena memprediksi gerhana membutuhkan pemahaman gerakan matahari dan bulan yang rumit serta membutuhkan banyak kesabaran.
Meski tidak selalu akurat, hal tersebut adalah usaha pertama manusia dalam memprediksi munculnya gerhana, yang dalam catatan saat itu datang setiap 18 tahun sekali.
Sayangnya, mereka belum bisa menjelaskan mengapa fenomena itu terjadi. Meski demikian, bertahun-tahun setelahnya temuan serupa berhasil diungkap oleh manusia di berbagai wilayah lain. Yang memperkuat argumen bahwa gerhana, lagi-lagi, adalah hal biasa.
Memasuki tahun masehi, mengutip In the Shadow of the Moon karya Anthony Aveni (2017), astronom Islam al-Biruni membuat terobosan baru ihwal pengetahuan gerhana. Lewat karyanya Al-Qanun Al-Masudi, al-Biruni menyampaikan hasil amatannya tentang kedudukan matahari, bumi, dan bulan, serta pengaruhnya terhadap kemunculan gerhana.
Intinya, ilmuwan yang hidup sekitar tahun 973-1048 M ini memaparkan bahwa gerhana adalah hasil dari posisi sejajar antara tiga benda langit tersebut. Jika terjadi gerhana matahari, berarti posisi matahari, bulan, bumi berurutan pada satu garis lurus. Begitu juga pada gerhana bulan: matahari, bumi, dan bulan, sejajar.
Selain itu, ia juga berhasil memprediksi kemunculan gerhana di masa depan dengan mengukur koordinat bintang-bintang ketika terjadi gerhana bulan tahun 1019. Al-Biruni juga mewanti-wanti bahaya dari kemunculan gerhana, khususnya gerhana matahari yang dapat merusak mata jika dilihat langsung oleh mata telanjang.
Sayang, usaha manusia menyingkap misteri gerhana mengalami kemunduran ketika Eropa memasuki Abad Pertengahan (sejak abad ke-5 hingga abad ke-15). Alasan logis diruntuhkan, masyarakat dipaksa memercayai kembali hal mistik dan supranatural terkait gerhana.
Semakin Berkembang
Ketika dominasi gereja perlahan pudar, pembahasan ilmiah mengenai fenomena gerhana kembali muncul. Salah satu ilmuwan yang membawa perkembangan penting mengenai hal ini adalah astronom Inggris, Edmond Halley.
Beranjak dari teori heliosentris Copernicus—matahari adalah pusat tata surya—dan teori gravitasi Newton, pada tahun 1715 Halley berhasil membuat peta lintasan gerhana, prediksi kedatangannya, serta durasi terjadinya gerhana yang berkisar empat menit.
Hasil temuannya juga mengungkap bahwa gerhana tidaklah muncul secara bersamaan, melainkan bergerak dari wilayah ke wilayah lain yang membuat waktu kedatangannya di tiap kota berbeda. Para ahli setelahnya sepakat temuan ini adalah perhitungan paling presisi mengenai kemunculan gerhana.
Selain itu, penemu komet Halley ini juga menjadi ilmuwan pertama yang berhasil mengubah ketakutan masyarakat secara masif terhadap gerhana. Ia menyebarkan poster dan informasi pada surat kabar di London mengenai lokasi kemunculan gerhana dan mengajak publik untuk menyaksikan fenomena itu, sekaligus meyakinkan bahwa itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
“Mereka akan mengetahui tidak ada sesuatu yang berlebih dari fenomena alam (gerhana),” kata Halley, seperti dikutip Henrik Schoeneberg di Wired.
Upaya Halley membuahkan hasil. Antusiasme masyarakat meningkat. Ini tidak hanya terjadi pada saat itu saja, tetapi berlangsung selama ratusan tahun setelahnya. Semua bermula dari rasa penasaran dan berujung pada terbukanya misteri gerhana satu per satu.
Upaya ini berujung pada satu kesimpulan: terjadinya gerhana akibat sinar matahari terhalang oleh suatu objek. Jika sinar matahari terhalang oleh bulan, maka terjadilah gerhana matahari. Jika sinar surya terhalang oleh bumi, maka bulan tidak akan mendapat cahaya yang disebut gerhana bulan.
Memang temuan itu masih banyak yang belum diketahui secara pasti, bahkan hingga sekarang. Namun, kata Duncan Steel dalam Eclipse: The Celestial Phenomenon that Changed the Course of History (2001), perjalanan panjang mengungkap gerhana telah menjadi bukti keberhasilan manusia dalam memaknai isi alam semesta.
Kini, membeli teropong adalah hal lazim dilakukan manusia saat gerhana, bukan lagi menabuh gendang atau ngumpet di bawah tempat tidur.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi