tirto.id - Seorang genius universal dan punya visi intelektual yang melampaui masanya pernah lahir di Asia Tengah pada seribuan tahun silam. Di antara daftar panjang ilmuwan muslim abad pertengahan, namanya terlalu penting untuk diabaikan. Ia adalah Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni (973-1048 M).
Karya-karya pemikir polimatik ini datang belakangan di dunia Barat jauh setelah karangan sejawatnya pada abad ke-11, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Haytham, lebih dulu populer. Tapi kualitas analisisnya dalam beragam bidang pengetahuan, yang bertebaran lewat 180-an buku, membuat banyak sarjana modern, muslim atau nonmuslim, menjulukinya "Ustadz fil Ulum" alias "guru segala ilmu."
Jurnal The Unesco Courier edisi 1974, A Universal Genius in Central Asia a Thousand Years Ago: Al-Biruni, memujinya sebagai “The Extraordinary Genius of Universal Scholar” yang melampaui batas-batas zamannya.
“Sebagai astronom, matematikawan, fisikawan, ahli geografi, sejarawan, linguis, etnologis, ahli farmasi, penyair, novelis dan filsuf, Al-Biruni punya kontribusi unik bagi sains ... Sumbangannya setara, atau malah melampaui, Ibnu Sina,” demikian pengantar edisi jurnal tersebut.
Kecerdasan Al-Biruni pernah diulas dalam dokumenter BBC Four, “Science and Islam: The Empire of Reason”, pada 2010. Di siaran ini, fisikawan Inggris kelahiran Irak, Jim al-Khalili, menjelaskan cara unik Al-Biruni memakai matematika dan astronomi untuk mengukur keliling bumi.
Al-Biruni mengukur keliling bumi dengan cara sederhana dan hasilnya cuma meleset kurang 1 persen dari perhitungan modern. Ia menyimpulkan, keliling bumi ialah 25.000 mil, dan perhitungan modern mencatat 24.901 mil. Para astronom bawahan Khalifah Al-Ma`mun, satu setengah abad sebelumnya, masih mengekor ilmuwan Yunani dan menghitung keliling bumi 24.000 mil, kurang akurat 4 persen.
Hanya perlu sejumlah langkah saat menghitung keliling bumi. Mulanya, Al-Biruni mencari bukit di tepi laut. Lalu, dengan astrolab, ia mengukur sudut ketinggian bukit dari dua titik permukaan air laut yang berbeda. Setelahnya, ia menuju puncak bukit. Dengan astrolab, ia mengukur sudut ketinggian garis pandang di bawah horizon yang tampak dari puncak bukit.
Ia menyadari bahwa titik puncak bukit dan ufuk bisa dibayangkan terhubung dengan titik tengah bumi sehingga membentuk segitiga siku raksasa. Maka berlakulah hukum sinus. Al-Biruni lalu menghitung hasil pengukuran itu lewat persamaan gabungan trigonometri dan aljabar untuk menemukan rumus penentuan jari-jari dan keliling bumi.
Temuan otentik al-Biruni ini tercatat di karya babonnya tentang astronomi, al-Qanun al-Mas'udi (The Mas'udic Canon). Buku persembahan bagi Sultan Mas'ud Al-Ghazna itu menegaskan kualitasnya sebagai pioner observasi berbasis metode ilmiah.
“Mas'udic Canon adalah ensiklopedia yang nyaris lengkap tentang kajian astronomi, kosmologi, kronologi, geografi, dan matematika,” tulis Mohammed Salim-Atchekzai, pakar budaya Asia Tengah dari Universitas Sorbonne, dalam The Unesco Courier.
Orientalis Prancis Jacques Boilot, pada terbitan yang sama, mencatat bahwa Kitab al-Qanun sebenarnya memuat sedikit di antara analisis Al-Biruni yang keseleo sebab percaya geosentrisme. Tapi, ia masih berusaha mengkritik tesis astronom helenistik, si Ptolemaeus itu. Mengikuti hasil risetnya dan pendapat Aristarkhos serta astronom India, Brahmagupta dan Aryabhata, menurut Al-Biruni, sejumlah fakta astronomi mengindikasikan heliosentrisme, yakni bumi mengitari matahari, bisa jadi benar. Hanya karena tak punya alat sejenis teleskop, Al-Biruni urung membenarkannya.
Al-Biruni sudah cemerlang sedari belia. Pada usia 27 tahun ia merampungkan buku besar Al-Athar al-Baqqiya 'an al-Qorun al-Khaliyya (Kronologi Bangsa-Bangsa Kuno). Buku ini mencatat masa awal peradaban manusia, periode banjir besar, hingga era Nebukadnezar, Aleksander Agung, dan setelahnya. Kitab Al-Athar memaparkan rincian sejarah politik, pengetahuan, kiprah para penguasa, budaya, dan sistem hukum pada masa itu disertai ilustrasi peristiwa.
Kitab ini memuat pula detail riwayat penemuan kalender berdasarkan rotasi bulan maupun matahari, pada bangsa Yunani, Yahudi, Persia, Mesir, dan Arab. Beragam bidang pengetahuan dibahas dalam buku ini, termasuk angka desimal dan geometri bunga.
“Ilmuwan Uni Soviet selalu merujuk ke Al-Athar bila meneliti sejarah Asia Tengah. Hanya buku ini (di masa modern) yang memuat informasi penanggalan Soghdian (kalender kuno Persia), sehingga mereka bisa memahami dokumen pra-abad ke-8, saat Khwarizm (Asia Tengah) belum dimasuki Islam,” kata Bobojan Gafurov, pakar sejarah Asia dari Uni Soviet, dalam jurnal Unesco tersebut.
Kemahiran lain Al-Biruni ialah pemetaan bumi. Sebagian sarjana modern sepakat menjulukinya “Bapak Geodesi”, gelar yang juga dimiliki Eratosthenes, ilmuwan Yunani abad 2 SM. Al-Biruni pernah memaparkan koordinat akurat garis bujur dan lintang 600 kota penting di masanya, lengkap dengan ukuran jarak antar lokasi dan arahnya menuju kiblat. Informasi ini termuat dalam karyanya, Kitab Taḥdid Nihayat Al-Amakin Li-Taṣḥiḥ Masafat Al-Masakin (Ketetapan Koordinat Lokasi untuk Mengoreksi Jarak Antar Kota).
Kitab Tahdid memuat peta dunia buatan Al-Biruni yang melukis daratan bumi dikelilingi perairan luas, dan kini disebut lautan Pasifik, Atlantik, serta Hindia. Ia memberikan ulasan mendalam mengenai bukti-bukti geografis dan biologis soal adanya sejumlah laut luas di barat dan timur yang saling terhubung.
Pakar geografi dari Universitas Aligarh India, Ziauddin Alavi, menulis bahwa Kitab Tahdid berisi analisis ilmu kebumian mirip konsepsi modern. Misalnya, buku ini mengulas siklus geografi yang meyakini sebagian daratan, seperti di India, dulunya berupa lautan, sementara bagian laut tertentu semula adalah daratan. Di kitab ini Al-Biruni menjelaskan teori asal-usul pembentukan permukaan bumi, sejarah perubahan iklim, dan perbedaan kondisi belahan bumi utara dan selatan.
Mineralogi terjangkau pula oleh Al-Biruni melalui Kitab Al-Jamahir Fi Ma'rifat Al-Jawahir (Kitab Lengkap Memahami Batu Permata). Buku ini menjelaskan metode pengukuran berat, volume, gaya berat, dan warna untuk menentukan keaslian banyak jenis batu dan logam mulia, seperti emas, perak, perunggu, batu ruby, batu zamrud, batu lapis jazuli, tembaga, besi, dan lainnya.
Menjelang wafat, ia menekuni farmasi dan menulis Kitab al-Saydanah fi Al-Tibb (Kitab Farmasi dan Materia Medica). Buku ini membuatnya dipuji sebagai "Bapak Farmasi Islam." Fokus buku ini ialah kajian pada sebab penyakit (etiologi) dan penyembuhannya dengan obat dari tumbuhan atau hewan.
Namun, isi bukunya kaya dengan deskripsi ribuan jenis tanaman asal Arab, daratan Asia, Romawi, dan Yunani. Dalam soal penamaan tanaman, Al-Biruni menerapkan ide binominal nomeklatur, seperti temuan Linnaeus pada abad ke-16, dan tak lupa menjelaskan lokasi asalnya. Alhasil, Kitab al-Saydanah tak cuma soal farmasi, melainkan juga sejarah botani dan leksikografi.
Tak heran, para sarjana kontemporer mengagumi Al-Biruni dan menganggap kualitasnya setara Leonardo da Vinci, si genius universal terbaik di Barat.
“Berdasar cakupan (ilmu) dan orisinalitas, Al-Biruni sepadan dengan Leonardo da Vinci,” tulis Paul S. Agutter dan Denys N. Wheatley dalam Thinking about Life: The History and Philosophy of Biology and Other Sciences (hlm. 43).
Toleransi dan Humanisme Al-Biruni
Al-Biruni diduga yatim piatu sejak kecil. Abu Nasr Mansur Ibn Ali Ibn Iraq, seorang matematikawan dan anggota keluarga penguasa di Khat (sekarang Khiva, Uzbekhistan), memungutnya. Ia besar saat Kekhilafahan Abbasiyah merosot dan kawasan Khawarizm (Asia Tengah) kerap bergolak. Masa kacau ini membuat Al-Biruni sering berpindah dari satu kota ke kota lain. Ia bahkan sempat jatuh miskin.
Banyak peneliti biografi Al-Biruni meyakini masa kekacauan ini mengilhaminya menekuni studi sejarah dan budaya bangsa-bangsa di luar peradaban Islam. Ulasannya dalam kajian humaniora mengisyaratkan Al-Biruni ingin mencari formula untuk sistem sosial yang mapan dan perdamaian. Riset budaya dan sosialnya punya fondasi objektivitas yang khas modern.
Bagian awal Kitab Al-Athar memuat penjelasan Al-Biruni bahwa ide penyusunan buku ini muncul dari diskusinya dengan seorang penguasa terpelajar. Keduanya sepakat, bahwa dengan kajian yang mendekati kenyataan tentang budaya dan institusi sosial generasi kuno, plus dibarengi studi perbandingan sejarah bangsa-bangsa, kita bisa memetik pelajaran berguna bagi pembangunan sistem sosial baru yang lebih baik.
“Akan tetapi, pikiran kita harus bersih dulu dari semua yang membutakan manusia pada kebenaran, seperti bersikap partisan, mementingkan rivalitas, tergila-gila pada satu tujuan (fanatisme ideologis), berhasrat untuk menghegemoni dan lainnya,” tulis Al-Biruni dalam Kitab Al-Athar (Chronology of Ancient Nations, terjemahan Edward Sachau, 1879, hlm. 3).
Sikap simpatik Al-Biruni pada komunitas di luar Islam makin menguat ketika usianya matang. Pada usia 40-an, ia diboyong Sultan Mahmud Al-Ghazna ke Afganistan dan kemudian “terpaksa” mengikuti ekspedisi politik Dinasti Ghaznavid ke India Utara selama 13-an tahun.
Di India, secara mandiri, ia meneliti dan menulis Kitab Fi Tahqiq Ma Li Al-Hind Min Maqola Maqbula Fi Al-`Aql Aw Mardhula (Alberuni's India). Al-Biruni juga menerjemahkan buku-buku sanskerta ke bahasa Arab. Sebaliknya, ia juga menerjemahkan buku bahasa Arab dan Yunani ke sanskerta. Al-Biruni beda pendapat dengan Sultan Mahmud Al-Ghazna. Ia menganggap masyarakat India bukan kafir penyembah berhala, melainkan pengikut “bentuk lain” monoteisme.
Di tanah pemuja dewa-dewa Hindu, Al-Biruni mempraktikkan toleransi total sekaligus aktif mendorong dialog kebudayaan. Saat menulis Kitab Al-Hind, ia sengaja melenyapkan deskripsi yang bisa membuat pembaca muslim “mengolok-olok” kepercayaan orang India. Al-Biruni mengingatkan pembacanya bahwa perbedaan bahasa dan konteks mudah memunculkan salah paham terkait teologi.
“Dia tak lelah meminimalisir informasi soal perbedaan (antara Islam dan Hindu) agar memudahkan perjumpaan pembaca muslim dengan mereka yang liyan (India),” tulis Soumaya Mestiri, filsuf dari Universitas Tunisia, dalam terbitan Unesco itu. Soumaya menilai Al-Biruni memiliki sikap humanisme skeptis saat menulis India.
Kitab Al-Hind, yang membuat Al-Biruni masyhur sebagai “Bapak Antropologi” dan "sang pemula" dalam studi perbandingan agama serta Indologi, bisa jadi adalah warisan terpentingnya. Buku ini adalah praksis Al-Biruni mendorong dialog peradaban demi kehidupan bersama di tengah perbedaan dengan fondasi “saling memahami”.
Dalam kalimat pembuka Kitab Al-Hind, Al-Biruni menegaskan, “Buku ini tak membahas polemik. Saya menjelaskan India sebagaimana adanya. Saya malah akan menunjukkan keterkaitan India dengan Yunani... Juga keterkaitannya dengan gagasan sebagian sufi dan sejumlah pengikut Kristen, terutama pada konsep perpindahan jiwa, dan panteisme, teori kesatuan tuhan dengan ciptaannya.” (Alberuni`s India, terjemahan Edward Sachau, 1910, hlm. 7-8).
Al-Biruni mengkaji konsep ketuhanan orang India dengan membedakan gagasan mereka di ranah filsafat dan ritus. Ia menulis kaum terpelajar di India menjelaskan Tuhan seperti sebuah “titik tunggal”, artinya tak memiliki satu pun sifat manusiawi. Ide ini sulit dicerna orang awam di India sehingga mereka mengikuti prinsip itu tapi dengan gambaran lebih ekspresif. Misalnya, Tuhan memiliki 12 lengan panjang dan tapak tangan sangat lebar. Atau, keyakinan bahwa Tuhan maha tahu terpancar dalam gambaran awam bahwa sang pencipta memiliki ribuan mata.
Itulah sebabnya, menurut Al-Biruni, ritual pemujaan patung dewa bisa dimengerti sebagai sarana orang awam di India untuk menghayati gambaran abstrak soal Tuhan yang sulit mereka pahami. Pola mirip, sekalipun praktiknya berbeda, menurutnya terjadi dalam Kristen, Yahudi, Yunani, bahkan Islam. (Al-Beruni's India, hlm. 111).
Ia menjelaskan, pada level filosofi, orang India meyakini Tuhan maha esa, abadi, tak punya awal dan akhir, maha berkehendak, maha kuasa, pusat segala kebijaksanaan, maha menghidupi, maha mengatur dan memelihara, sekaligus tak menyerupai dan diserupai. Salah satu rujukan kesimpulannya adalah Kitab Sutra Yoga Patanjali. Kitab ini sempat diterjemahkan Al-Biruni ke dalam bahasa Arab.
"Kitab Patanjali menulis, seorang murid bertanya: Siapa yang patut disembah dan dipercaya bisa memberikan keberkatan? Sang guru menjawab: Dia lah yang abadi dan berbeda, yang tak butuh apa pun dari manusia, yang berkuasa membalas (kebaikan) dan memberi kebahagiaan, yang diharapkan, serta memberikan kesusahan, yang ditakuti manusia. Dia tak terjangkau oleh pikiran manusia, yang maha tinggi dan sama sekali tak menyerupai apa pun. Dia kekal dan abadi," tulis Al-Biruni. (Alberuni`s India, hlm. 27).
Sebagian muslim masa sekarang mungkin mudah menuduh Al-Biruni sebagai pluralis dan liberal. Tapi, jangan salah, hampir tak ada catatan hujatan dari teolog Islam abad pertengahan kepada Al-Biruni sebagaimana menimpa banyak filsuf muslim lain. Ia muslim Sunni yang meyakini bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dari semula tak ada menjadi ada dan menolak premis filsafat peripatetik.
"Al-Biruni meyakini dunia jadi manifestasi kekuasaan Tuhan dan tak terbantahkan oleh argumen manusia mana pun. Tuhan (bagi dia) adalah sang pencipta yang menguasai segala hal dan mengetahui seluruh misteri," tulis Seyyed Hossen Nasr dalam An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (State University of New York Press, 1993, hlm. 116).
Karyanya, Kitab Al-As'ilah wa Al-Ajwibah memuat korespondensi Al-Biruni dan Ibnu Sina yang secara khusus mengulas kritiknya ke premis-premis dasar filsafat peripatetik. Salah satunya, ia menolak premis keabadian alam semesta, yang artinya tidak mengada karena diciptakan Tuhan, sebab melanggar prinsip “kebaruan” alam. Pendapat itu didukung hasil risetnya yang menyimpulkan pembentukan permukaan bumi melewati serangkaian siklus geologi dan paleontologi.
Al-Biruni membangun teori kosmologi versinya sendiri, tak mengikuti tiga aliran besar filsafat Islam, peripatetik, illuminasi, dan kalam. Sebagian kesimpulannya sama dengan teolog muslim abad pertengahan mengenai penciptaan Tuhan dan cenderung anti-aristotelian. Sekalipun demikian, ia bukan seorang dogmatis yang memungut pengetahuan dari satu sumber saja. Ambil contoh, hipotesanya mengenai siklus zaman yang menyerupai teori evolusi disinyalir hasil kombinasi risetnya soal alam, kisah para nabi dalam Alquran, dan cerita dalam kitab-kitab kuno di India.
“Bagi Al-Biruni, dunia memiliki siklus alamiah, tapi tak pernah kembali ke titik awal ... Siklus itu dipahami Al-Biruni sebagai perubahan kualitatif yang saling berkaitan dari satu masa sebelumnya dengan periode selanjutnya," tulis Seyyed Hossen Nasr dalam jurnal The Unesco Courier.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 23 Juni 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh Pribadi