tirto.id - Pada Selasa malam 30 Oktober 1945, sekitar pukul 20.30, terjadi sebuah insiden menggemparkan di Surabaya. Komandan Brigade Infanteri India ke-49, A.W.S. Mallaby terbunuh secara misterius di depan Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah.
Pembunuhan perwira tinggi militer Inggris setelah Perang Dunia II ini segera menjadi berita hangat di publik internasional. Kematian Mallaby pun membikin petinggi militer Sekutu di Indonesia marah besar. Insiden ini menjadi pintu gerbang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Roeslan Abdulgani menulis di Surabaia Post tentang pembunuhan ini sebagai, " ... a disaster that decided the course of the history of Surabaya and also the course of our freedom struggle throughout Indonesia."
Catatan "Report Proceedings for November 1945, Public record office, ref N0 203/5384/X/3.1426" menyebut, Inggris kelewat geram dengan insiden pembunuhan Mallaby. Sebanyak 30 ribu prajurit diturunkan, lengkap dengan pasukan darat tank, panser, hingga meriam artileri. Barisan serdadu Angkatan Udara dan Angkatan Laut Inggris juga disiapkan untuk membombardir Surabaya.
Puncaknya, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh yang mengambil alih tugas Mallaby di Surabaya mengeluarkan ultimatum pada 9 November 1945. Ultimatum itu berisi ancaman agar All Indonesians of Surabaya segera menyerahkan senjata, selambat-lambatnya 10 November 1945, pukul 06.00 pagi. Selain itu, pembunuh Mallaby juga harus diserahkan kepada Inggris.
Ultimatum Mansergh, oleh Ben Anderson dianggap sebagai bentuk ejekan sarkasme kepada arek-arek Suroboyo. "Jangka waktu yang diberikan sangat tidak cukup untuk mengumpulkan senjata-senjata yang begitu banyak. Kecil sekali kemungkinan akan diserahkan 'pembunuh-pembunuh' Mallaby; bahkan tidak pasti bahwa ia tidak ditembak oleh orang-orangnya sendiri," tulisnya dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-4946 (1988).
Ancaman Mansergh sama sekali tidak digubris, ia malah disambut dengan kesiapan tempur. Maka, terjadilah pertempuran paling mematikan dalam sejarah revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak 10 November 1945 hingga 3 pekan berikutnya, Surabaya beralih menjadi palagan antara 30 ribu pasukan Inggris melawan dua puluh ribu tentara Republik dan 100-an ribu pemuda.
Profil Brigadir Jenderal Mallaby
Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby merupakan perwira militer kelahiran Inggris, 12 Desember 1899. Dia memimpin Brigade Infanteri India ke-49 yang merupakan bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), pasukan Sekutu yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang usai Dai Nippon tumbang di Perang Dunia II.
Kedatangannya perdana kali di Tanjung Perak, Surabaya pada 25 Oktober 1945, bersama dengan 4000-an prajurit Inggris berdarah India dari 2 batalion Indian Army (Mahratta dan Rajput). Selain melucuti senjata bala tentara Jepang di Jawa Timur, pasukan Mallaby juga bertugas mengamankan rombongan tawanan Perang Dunia II.
Kolonel A.J.F. Doulton, staf senior di Divisi Infanteri India ke-23 mendiskripsikan Mallaby sebagai sosok, "A highly intelligent, quiet, pleasant, unassuming officer,” tulis J.G.A. Parrott dalam "Who Killed Brigader Mallaby?" yang terbit di Jurnal Indonesia (1975). Nukilan itu ia salin dari surat khusus (1973)yang diterimanya dari Doulton.
Sebelum datang ke Surabaya, Mallaby telah makan banyak asam garam di dunia militer. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Operasi Militer (DOM) di Markas Besar Umum Delhi, India.
Selain itu, dalam catatan Report to the Combined Chiefs of Staff by the Supreme Commander, South-East Asia, 1943-1945 (1969) ia sempat menjadi penasihat pribadi Laksamana Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara. Bahkan ketika berada di DOM--dengan gelar mayjen--ia rela menurunkan pangkatnya demi mengambil alih Brigade Infanteri India ke-49.
Satu hal yang luput dari pengalaman Mallaby ialah dia belum pernah menangani operasionalisasi brigade. Hal ini berakibat pada kekikukannya mengomandoi resimen kecil.
Inilah yang dinilai oleh Sumarno dkk., dalam The Killing of Brigadier General A.W.S. Mallaby in Allied Duty in Surabaya 1945 sebagai "perwira yang menarik untuk diteliti." Di samping itu, ia meninggal di usia primanya sebagai perwira, 45 tahun.
Nahas, tidak seperti perwira militer Inggris kebanyakan yang terbunuh saat perang atau dipicu penyakit serta faktor usia, Mallaby terbunuh karena insiden yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Bagaimana Mallaby Tewas di Surabaya?
Penugasan Mallaby ke Surabaya di bawah komando Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, Kepala Divisi India ke-5 menetaskan malapetaka. Mallaby harus menghadapi suasana Surabaya yang telah memanas sejak arek-arek Suroboyo aktif merampas senjata tentara Jepang pada bulan September 1945.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia membangkitkan semangat antipenjajahan di kalangan rakyat Surabaya, dan tentara Dai Nippon adalah representasi nyata kekejaman penjajah masa itu. Tidak mengherankan, kedatangan Mallaby di Surabaya bersama pasukan dua batalion Indian Army dari Brigade Infanteri India ke-49 disambut dengan cacian.
P.R.S. Mani, perwira penerangan tentara Sekutu dari India menggambarkan suasana pelabuhan sewaktu Mallaby datang dalam Jejak Revolusi 1945: Sebuah Kesaksian Sejarah (1989).
Kedatangannya di Tanjung Perak disambut dengan coretan-coretan berbahasa Indonesia "Merdeka atau Mati", berbahasa Urdu "Ayadi ya Kunrezi", dan Inggris "Freedom of Death". Mallaby sadar jika orang-orang Surabaya tidak hanya bernyali, tetapi juga nekat. Apalagi dengan kalkulasi 4000-an pasukan yang dibawanya tidak cukup membendung perlawanan ratusan ribu barisan siap mati.
Maka itu, ia menempuh jalan moderat demi menjaga keamanan dirinya dan pasukannya. Beberapa kali Mallaby berdiskusi dengan Komandan BKR, Moestopo dan Gubernur Jawa Timur, Soerjo. Upaya negosiasi itu bahkan sudah dilakukan sehari usai Mallaby tiba di Surabaya.
Namun, langkah Mallaby sia-sia karena sekira pukul 11.00, 27 Oktober 1945, ribuan pamflet berisi ultimatum ditebarkan lewat pesawat Dakota. Ultimatum itu membuat sebagian besar masyarakat Surabaya bergerak mengusir tentara Sekutu.
Rupanya, ultimatum itu dilayangkan secara sepihak oleh atasan Mallaby, Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn, Panglima Divisi Inggris-India ke-23. Hawthorn menilai Mallaby terlalu lamban. Dia ingin Mallaby bersama pasukannya menduduki Surabaya dalam tempo yang singkat.
Arek-arek Suroboyo menjawab ultimatum tersebut dengan pertempuran hebat selama 3 hari pada 27-29 Oktober 1945. Di pertempuran, pasukan Mallaby terdesak, membuat Hawthorn--sebagai penanggung jawab--harus putar otak.
J.G.A. Parrott (1975) menilai Inggris terlalu meremehkan kepemimpinan, kekuatan, dan semangat juang arek-arek Suroboyo. Bahkan komunikasi antara pasukan Inggris di Surabaya dengan Markas Komando Divisi ke-5 Asia Tenggara di Singapura sangat minim. Kolonel Doulton menambahkan dalam The Fighting Cock (2009) bahwa, "Brigadier Mallaby walked into a hornet's nest unawares."
Selain itu, formasi brigade yang sering terpecah dan disebar di beberapa titik makin melemahkan kekuatan peleton. Kekuatan brigade terbagi karena pasukan Mallaby harus berjaga di sejumlah titik rawan, seperti pembangkit listrik, dan saluran air. Kapten Smith, perwira yang semobil dengan Mallaby sewaktu insiden pembunuhannya, mengatakan melalui suratnya (4 Agustus 1973) kepada Parrot bahwa pasukan Indonesia dengan mudah membabat peleton-peleton yang lemah itu.
Hawthorn tidak mengira Surabaya sulit dikendalikan. Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995) menulis Hawthorn terpaksa memohon pada Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno-Hatta untuk meredakan amarah massa di Surabaya.
Kehadiran Soekarno-Hatta di Surabaya pada 29 Oktober 1945 hanya meredakan perang sesaat. Kesediaan Hawthorn datang ke Surabaya sehari berselang untuk mencabut pamflet 27 Oktober juga belum benar-benar meredakan situasi.
Bersama sejumlah petinggi Surabaya, Mallaby lantas berkeliling naik mobil untuk mengumumkan adanya gencatan senjata. Namun, begitu mendekati Gedung Internatio, mobil Mallaby terjebak di tengah kerumunan massa yang mengepung pasukan Inggris. Saat letupan senjata yang entah siapa memulai terdengar, baku tembak tidak terhindarkan.
Selasa malam 30 Oktober 1945, jasad Mallaby ditemukan di mobil Buick 8 yang ditumpanginya. Dadanya terhunjam 4 timah panas. Mobilnya ringsek akibat ledakan granat.
Kematian Mallaby digambarkan oleh Parrott sebagai "the unlucky Mallaby." Pasalnya, Mallaby dihadapkan pada posisi yang sulit. Mau tak mau, ia harus mematuhi atasannya, Hawthorn dan Panglima AFNEI, Sir Philips Christison. Seandainya selamat, Mallaby dipastikan harus menemui Pengadilan Penyelidikan 'Court of Enquiry'. Besar kemungkinan, ia juga diadili di pengadilan militer lantaran kekikukannya mengomandoi operasi di Surabaya.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom