tirto.id - Hari Pahlawan yang diperingati setiap tanggal 10 November dicetuskan oleh sosok yang ternyata tidak terlalu dikenal dalam pembelajaran sejarah bangsa Indonesia. Namanya tentu saja tidak sefamiliar Bung Tomo yang kerap melekat dengan Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Tokoh ini bernama Soemarsono.
"Dia yang kita bicarakan ini tentu tokoh yang amat terkenal kala itu," tulis Dahlan Iskan dalam memoar bertajuk "Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya" yang terbit di Jawa Pos tanggal 9 Agustus 2009.
"Namun, namanya tidak masuk buku sejarah. Bahkan, tidak pernah lagi disebut-sebut orang, entah sudah berapa puluh tahun. Namanya pendek: Soemarsono. Bisa dipanggil Marsono, Mar, atau bahkan Son saja," lanjut Dahlan Iskan.
Biografi Singkat Soemarsono
Soemarsono lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, tanggal 22 September 1921. Sejak muda, Soemarsono sudah terjun ke dunia politik. Ia tergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), organisasi politik pimpinan Amir Sjarifoeddin, yang kelak duduk sebagai menteri lalu menjabat perdana menteri setelah Indonesia merdeka.
Saking dekatnya dengan Amir Sjarifoeddin, Soemarsono muda bahkan sudah diberi mandat sebagai staf pengajar Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) pada 1946.
Soemarsono memang dikenal sebagai pengikut Amir Sjarifoeddin yang setia. Ia sering hadir pada rapat-rapat Gerindo bersama Sjarifoeddin di Gang Kenari Salemba atau di Gereja Kwitang, Jakarta.
Bahkan, Amir Sjarifoeddin mendapat tempat yang cukup spesial dalam karya pribadi Soemarsono yang berjudul Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (2008).
Melalui karyanya itu, Soemarsono menukil kesaksiannya terhadap perdebatan pelaku Proklamasi Kemerdekaan RI. Ia menuturkan, sempat terjadi pertemuan para pemuda faksi sayap kiri pada 14 agustus 1945 di Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut, golongan muda faksi sayap kiri, termasuk termasuk Soemarsono, sepakat mengusulkan nama Amir Sjarifoeddin sebagai pendamping Ir. Soekarno untuk menyatakan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Namun, usul tersebut ditolak lantaran Amir Sjarifoeddin masih menjadi tawanan politik Jepang. Hingga akhirnya, yang mendampingi Soekarno saat proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 adalah Mohammad Hatta.
Peran Soemarsono dalam Pertempuran Surabaya 10 November
Dalam Revoloesi Pemoeda (2018) yang ditulis oleh Ben Anderson, Soemarsono disebut sebagai salah satu pemuda paling vokal di Surabaya. Ia hampir tidak pernah absen pada setiap peristiwa penting jelang 10 November 1945. Salah satunya terlibat dalam insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945.
Soemarsono turut mendirikan perserikatan Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada 23 September 1945. Gerakan itu dinilai oleh Ben Anderson cukup progresif. PRI turut menyerbu pasukan Inggris ketika perang tengah bergejolak di Surabaya.
Di samping itu, Soemarsono disebut Ben Anderson juga aktif melantangkan seruan kepada republikan Surabaya lewat radio, persis seperti apa yang dilakukan pula oleh Soetomo alias Bung Tomo.
"Lebih baik kita mati berkalang tanah daripada kehormatan dan kemerdekaan RI diinjak-injak. Merdeka atau mati!" pekik Soemarsono demi membakar semangat arek-arek Suroboyo.
Walaupun begitu, nama Soemarsono jarang disebut sebagai salah satu aktor penting dalam Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Padahal, ia yang merupakan Ketua Bidang Penerangan PRI, punya basis massa cukup besar di Surabaya.
Soemarsono masih ingat secara rinci tentang pertempuran itu. Namun, ia enggan menonjolkan diri. ”Saya tidak ingin ada orang yang dipahlawankan dalam pertempuran Surabaya itu. Pahlawan sebenarnya adalah rakyat,” ujarnya kepada Dahlan Iskan.
Nasib Soemarsono: Pencetus Hari Pahlawan yang Dilupakan
"Peran saya dihilangkan karena saya [dianggap] komunis," terang Soemarsono dalam kesaksiannya di memoar Dahlan Iskan.
Kendati tak berterus terang, jejak Soemarsono dalam tabir komunisme di Indonesia lumayan mentereng, terlebih ia adalah pengikut setia Amir Sjarifoeddin.
Soemarsono sering dikaitkan dengan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa di Madiun tahun 1948, seperti yang dituturkan Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya (1985).
Kendati begitu, Nugroho Notosusanto -yang kerap disebut sebagai sejarawan Orde Baru- mengakui peran penting Soemarsono dalam Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Hal tersebut ternukil dalam buku Pertempuran Surabaya terbitan tahun 1985.
Soemarsono memang mengusulkan agar setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Itu dicetuskannya dalam Rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) tanggal 4 Oktober 1946.
Menurut Soemarsono, Pertempuran Surabaya sangat perlu untuk selalu dikenang karena heroiknya perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan RI.
Usulan Soemarsono kemudian disetujui oleh forum dan direstui Presiden Sukarno. Maka, pada 10 November 1946 di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota sementara RI, untuk pertama kalinya Hari Pahlawan diperingati.
Namun, jalan sejarah berkata lain. Terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 membuat PKI dan segala sesuatu yang berbau komunis terkubur dalam-dalam, terlebih selama pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Dampaknya, nama Soemarsono sebagai pencetus Hari Pahlawan pun benar-benar tenggelam. Namanya tidak muncul dalam diorama monumen 10 November di Surabaya. Profilnya juga tidak banyak disebut di buku-buku sejarah.
Tak hanya itu, pada masa Orde Baru, Soemarsono dituding terlibat dalam G30S 1965 yang membuatnya dibui selama 9 tahun.
Setelah bebas pada 1978, Soemarsono memutuskan pindah dan menetap di Australia hingga akhir hayatnya. Soemarsono sang pencetus Hari Pahlawan yang dilupakan itu wafat di Australia dalam usia 97 tahun pada 8 Januari 2019.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Iswara N Raditya