tirto.id - Amir Sjarifoeddin menghadapi regu tembak yang berdiri di hadapannya tanpa wajah takut. Ia tak sendiri, ada 10 orang rekannya yang juga tengah menyongsong maut. Sebelas lelaki itu berbaris sejajar, masing-masing berdiri di sisi lubang yang telah dipersiapkan untuk tempat peristirahatan terakhir mereka nantinya.
Malam itu tanggal 19 Desember 1948 menjelang pergantian hari. Di area pemakaman di pedalaman Desa Ngaliyan, Karanganyar, belasan kilometer arah timur Surakarta, Jawa Tengah, Amir dan 10 orang lainnya bersiap menjalani eksekusi mati. Mereka dituding terlibat pemberontakan PKI Madiun yang terjadi beberapa bulan sebelumnya.
Ke-11 terhukum itu dengan serempak menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dilanjutkan dengan mengumandangkan “Internationale,” tembang kebesaran solidaritas kaum komunis sejagat raya. Setelah itu, Amir meminta izin untuk membaca Alkitab dan memanjatkan doa. Ia juga memohon agar kitab suci itu ikut dikuburkan bersama jasadnya nanti.
Para algojo menuruti permintaan terakhir itu, dan setelah selesai dengan ritualnya, Amir kembali ke barisan. Ia menghela nafas, memantapkan nyali, dan berseru lantang: “Kaum buruh sedunia, aku mati untukmu!”
Dor! Peluru ditembakkan ke arah sebelas orang itu, termasuk Amir yang langsung terkulai tak bernyawa lagi.
Ya, ia adalah Amir Sjarifoeddin, salah seorang bapak bangsa pertama penegak kedaulatan Republik Indonesia. Ia dua kali menjabat sebagai menteri, bahkan pernah menjadi perdana menteri. Hidupnya berakhir pada usia 41 tahun dengan cap pengkhianat, kendati ia tidak pernah diadili.
Pejuang-Komunis-Religius
Amir Sjarifoeddin lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 dari keluarga Batak-Muslim. Ayahnya, Djamin bergelar Baginda Soripada, adalah bangsawan adat Tapanuli. Sedangkan sang ibunda berasal dari keluarga Batak yang telah berbaur dengan orang-orang Islam-Melayu di Deli. Maka, sesuai dengan aturan adat, ibu Amir pun memeluk Islam (Sejarah Peristiwa Madiun 1948, 2001:121).
Pada akhirnya nanti, Amir Sjarifoeddin justru memilih berpindah keyakinan yang berkebalikan dari pilihan sang ibu. Ia memeluk Kristen pada usia 24 tahun (Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, 1987:172). Sebelum dibaptis di sebuah gereja di Batavia (Jakarta) pada 1931, Amir adalah seorang muslim taat.
Ketertarikan Amir pada ajaran Kristen sebenarnya bermula ketika ia masih sekolah di Belanda sejak 1921. Menariknya, proses ini terjadi seiring perkenalannya dengan paham kiri. Pada 1923, Amir bertemu dengan Semaoen yang kala itu diasingkan ke Belanda. Semaoen adalah salah satu pendiri PKI yang muncul dari perpecahan Sarekat Islam (SI).
Meskipun memilih beraliran kiri, bukan berarti Amir tidak mengenal Tuhan. Justru sebaliknya, ia menjadi penganut Kristen yang sangat religius. Ini persis seperti yang menjadi pilihan Mohammad Misbach, seorang muslim, haji, sekaligus aktivis komunis yang sempat berbareng bergerak bersama Semaoen.
Sama seperti Haji Misbach yang memadukan Islam dengan sosialisme untuk melawan penindasan, Amir pun begitu. Baginya, Kristen dan komunisme tak perlu dipertentangkan karena sama-sama membicarakan kemanusiaan (Martin Hutagalung, Islam Bergerak, 2016, mengutip Pdt. Dr. SAE Nababan dalam acara bedah buku Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, di Jakarta, 26 November 2009).
Melawan Belanda dan Jepang
Perjuangan Amir Sjarifoeddin melawan penjajahan Belanda semasa era pergerakan nasional maupun selama pendudukan Jepang sejatinya tidak perlu diragukan lagi. Amir adalah salah satu tokoh bangsa yang turut mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Benar, Amir Sjarifoeddin adalah pahlawan sebelum blunderpada 1948 itu terjadi.
Amir Sjarifoeddin ikut ambil bagian dalam peristiwa monumental Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Ia juga sempat bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. Setelah PNI dibubarkan, Amir turut menggagas berdirinya Partai Indonesia atau Partindo (Martin Hutagalung, 2016).
Melalui orasinya di berbagai forum, Amir kerap mengecam pemerintah kolonial Belanda, terutama kebijakan penguasa yang merampas paksa tanah rakyat dan pajak yang terlalu tinggi. Pernah suatu kali Amir diturunkan dari podium oleh aparat kolonial saat berpidato karena dianggap menghasut (John Ingleson, Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1979:214).
Amir bahkan pernah masuk bui lantaran tulisannya yang tajam dan dimuat di banyak surat kabar. Salah satu artikelnya yang dituding menista pemerintah kolonial Belanda adalah ”de Viere Vlaamsche Leeuw.” Gara-gara ini, Amir dipenjara selama 1,5 tahun.
Tanggal 24 Mei 1937, Amir turut menggagas Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) bersama A.K. Gani, Mohammad Yamin, Mr. Sartono, Sanusi Pane, Wikana, dan lain-lain. Gerakan ini nantinya berkembang menjadi partai nasionalis sayap kiri (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, 2008: 66).
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia setelah Belanda menyerah sejak 1942, Amir Sjarifoeddin bahkan pernah divonis mati. Amir yang kala itu memimpin Gerakan Anti Fasis (GERAF) tertangkap di Surabaya pada Januari 1943 dan dijatuhi hukuman mati dalam sidang yang beberapa kali digelar pada 1944.
Berkat lobi-lobi politik, vonis mati itu akhirnya diringankan menjadi hukuman penjara seumur hidup. Namun, Amir beruntung. Tak lama kemudian, Jepang mengalami kekalahan dari Sekutu di Perang Asia Timur Raya yang merupakan bagian dari Perang Dunia Kedua. Jepang hengkang, Amir bebas, Indonesia pun merdeka.
Akhir Tragis Mantan Perdana Menteri
Awal berdirinya negara Republik Indonesia menjadi era baru bagi perjuangan Amir Sjarifoeddin. Oleh Presiden Sukarno, ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Penerangan dari 2 September 1945 hingga 12 Maret 1946, kemudian menjadi Menteri Pertahanan Indonesia periode 14 November 1945 sampai 29 Januari 1948.
Bahkan, Amir Sjarifoeddin pernah menjadi orang nomor dua di Republik Indonesia saat mengemban jabatan sebagai Perdana Menteri. Ia memimpin pemerintahan dalam dua "sesi", yakni Kabinet Amir I sejak 3 Juli 1947, yang pada akhir tahun dirombak dan dikenal dengan nama Kabinet Amir II.
Masa-masa Kabinet Amir disibukkan dengan berbagai polemik dengan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia, baik pecahnya konflik bersenjata maupun urusan-urusan diplomasi, termasuk Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Kesepakatan Perjanjian Renville yang diteken Amir ternyata menuai banyak kecaman karena dinilai merugikan Indonesia. Desakan agar Amir mundur dari posisinya sebagai perdana menteri pun menyeruak. Untuk menenangkan situasi, pada 29 Januari 1948 Presiden Sukarno meminta Amir meletakkan jabatannya.
Amir Sjarifoeddin mengembalikan mandat tersebut dengan rasa marah. Setelah itu, terjadi tarik-ulur di kabinet terkait jatah menteri untuk golongan kiri yang diwakili Amir. Kesepakatan tidak tercapai yang membuat sayap kiri, termasuk Amir, memutuskan keluar dari kabinet.
Selanjutnya, terjadilah pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948. Amir yang ditengarai terlibat upaya melawan pemerintahan yang sah itu turut menjadi target pengejaran.
Tanggal 1 Desember 1948, Amir bersama lebih dari 800 pengikutnya ditangkap. Dan yang terjadi kemudian, tanpa melalui pengadilan, sang mantan perdana menteri dinyatakan bersalah dan divonis mati.
Presiden Sukarno berusaha menggunakan hak veto-nya agar hukuman mati Amir dianulir. Tapi, upaya itu sia-sia. Tanggal 19 Desember 1948, tepat hari ini 71 tahun lalu, Amir Sjarifoeddin tetap dieksekusi.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 27 April 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan