tirto.id - Jackie Elliot amat marah saat mengetahui anak lelakinya, Billy, suka menari balet. Bagi Jackie, balet adalah kegiatan untuk perempuan. Anak laki-laki seharusnya bermain bola, tinju, atau gulat. Namun, Billy tetap saja menganggap balet merupakan sesuatu yang normal untuk siapapun.
Begitu salah satu adegan dalam film berjudul Billy Elliot. Dirilis pada 2000, film ini dengan lugas menggambarkan bagaimana potensi seseorang di suatu bidang tertentu harus menemui hambatan hanya karena persoalan stereotip.
Saat film Billy Elliot dirilis, salah satu tujuannya adalah sebagai kritikan kepada sebagian masyarakat Inggris yang masih sering membeda-bedakan olahraga dan seni berdasarkan jenis kelamin.
Kritikan dalam film ini berbuah kesetaraan yang pada akhirnya tidak hanya berlaku bagi perempuan, tapi juga untuk kaum transgender. Cabang olahraga seperti sepakbola, angkat beban, balap sepeda, dan lainnya, perlahan mulai memberi ruang bagi mereka.
Rachel McKinnon adalah salah satu atlet yang merasakan manfaat kesetaraan di dunia olahraga. Pada Oktober 2018 lalu, perempuan transgender asal Kanada ini berhasil menjadi juara dunia turnamen balap sepeda bertajuk UCI Masters Track Cycling World Championships untuk kategori 30-34 tahun di Los Angeles, Amerika Serikat.
Kendati juara, McKinnon tidak lantas menjadi idola semua orang. Kemenangannya dinilai tidak adil. McKinnon dituding mendapatkan keunggulan secara biologis dan psikologis yang juga membuatnya lebih kuat dan cepat, karena pada hakikatnya, ia dilahirkan sebagai laki-laki, sementara lawan-lawannya adalah perempuan.
McKinnon tidak tinggal diam. Ia menyebut orang-orang yang mengecam kemenangannya telah melanggar poin keempat Piagam Komite Olimpiade Internasional yang berbunyi “Kegiatan olahraga adalah hak manusia”.
Hal serupa juga pernah terjadi pada Mei 2018. Kala itu, Terry Miller dan Andraya Yearwood berhasil mengalahkan lawan-lawannya dalam kompetisi lari perempuan. Miller juara satu, Yearwood finish sebagai runner-up.
Kemenangan dua remaja transgender ini tak pelak menjadi isu yang cukup menghebohkan di Amerika Serikat. Bahkan, seorang ibu yang putrinya kalah dalam perlombaan itu membuat petisi untuk menuntut diubahnya aturan tentang penentuan fisik dalam olahraga antar sekolah.
Tanggapan Psikolog & Ahli Medis
Beth Jones, psikolog dari Nottingham Trent University, mengatakan, perempuan secara psikologis mampu bersaing dengan perempuan lain. Akan tetapi, jika berhadapan dengan laki-laki, mereka cenderung akan meningkatkan kemampuan. Secara biologis, laki-laki memang memiliki keunggulan.
Dikutip dari The Guardian, dalam aktivitas seperti lari 100 meter, laki-laki 11 persen lebih cepat dibandingkan perempuan. Tubuh laki-laki memiliki 80 persen massa otot lebih banyak pada bagian atas dan 55 persen pada bagian bawah, dari perempuan.
Maka, muncul kritikan terkait gagasan untuk menggabungkan laki-laki dan perempuan dalam satu kategori. Isu inilah yang sedang dihadapi para atlet perempuan saat mereka dihadapkan dengan perempuan transgender.
Fakta ini tidak ditampik oleh Joanna Harper, ahli medis terkemuka asal Amerika Serikat yang kerap meneliti tentang atlet transgender. Namun, Harper juga mengatakan, atlet perempuan transgender pun punya kelemahan.
“Saat menjalani masa transisi, perempuan transgender kehilangan massa otot dan kapasitas aerobik yang mengurangi kecepatan, stamina, dan kecerdasan mereka. Tapi, saya rasa masih perlu lebih banyak penelitian lagi untuk hal ini,” papar Harper.
Sebelum perdebatan apakah atlet perempuan dan atlet perempuan transgender perlu dipisahkan mencuat, Komite Olimpiade Internasional telah membuat aturan untuk mengakomodasi hak atlet perempuan transgender.
Sekurangnya dalam 12 bulan, atlet perempuan transgender diwajibkan menjaga kadar testosteron di bawah 12 nanomoles per liter. Dengan adanya aturan ini, McKinnon merasa atlet transgender tak seharusnya menjadi ancaman bagi atlet perempuan.
Editor: Iswara N Raditya