tirto.id -
Terutama, imbasnya terhadap peningkatan biaya logistik hingga berkali-kali lipat dari dan ke negara-negara terdampak, seperti ketika perang Rusia-Ukraina meletus dua tahun yang lalu.
“Karena kan mereka khawatir asuransi meningkat dan lain sebagainya. Kita kali ini berharap jangan sampai terjadi terus-menerus (perang) ini,” ujarnya.
Lebih jauh Adhi menerangkan, dengan meningkatnya biaya logistik maka harga produk makanan dan minuman juga berpotensi mengalami kenaikan.
Hal ini, sambungnya, akan sangat berdampak ke konsumen secara langsung. “Saya kira itu (berdampak),” ucapnya.
Untuk itu, dia berharap agar pemerintah terus menguatkan sektor pertanian di dalam negeri untuk menjaga ketersediaan bahan baku industri mamin nasional.
Dengan begitu, ketergantungan terhadap impor akan menurun dan dampak dari gonjang-ganjing geopolitik akan menyempit.
“Kita enggak bisa apa-apa ya (dengan kondisi sekarang), tapi kita berharap. Makanya tadi itu ketergantungan impornya harus kita tekan ke depan lebih sedikit,” tuturnya.
Menurut catatannya, saat ini Indonesia masih mengimpor pangan olahan sebesar 12 miliar dolar AS atau setara Rp200 triliun. Nilai tersebut setara dengan 10-12 persen dari total market produk mamin nasional.
Meski kecil, gap tersebut seharusnya dapat dipersempit lagi dengan dukungan terhadap rantai pasok bahan baku yang lebih baik dari pemerintah. Sehingga, industri mamin nasional dapat menghasilkan produk yang berdaya saing.
“Kalau bisa pengembangan di hulunya didukung supaya kita tidak tergantung dari impor seperti itu,” tegasnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana