Menuju konten utama
Gelembung Startup

Apakah Gelembung Startup Mengintai di Hadapan Resesi Ekonomi?

Perusahaan rintisan yang lebih bisa kuat bertahan di Indonesia adalah yang bisnisnya memiliki link dengan sektor riil ekonomi.

Apakah Gelembung Startup Mengintai di Hadapan Resesi Ekonomi?
Ilustrasi bisnis startup. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tahun 2019 seharusnya bisa menjadi tahun unjuk gigi para perusahaan rintisan alias startup. Setidaknya tiga startup asal Amerika Serikat (AS) berencana melakukan debut go public kendati hanya dua yang akhirnya terealisasi.

Lyft menjadi yang pertama melakukan IPO, yakni pada Maret 2019. Perusahaan serupa Uber yang bermarkas di San Francisco, California, AS, ini mengklaim memiliki 39 persen pangsa pasar AS. Tapi di atas kertas, perusahaan menderita kerugian sampai dengan $911,3 juta meski di saat bersamaan membukukan pendapatan sebesar $2,2 miliar per akhir 2018.

Satu setengah bulan pasca IPO, Lyft dalam laporan keuangannya menyatakan rugi untuk kinerja yang berakhir Maret 2019. Nilai saham turun 27 persen dengan valuasi pasar menjadi $15 miliar. Pekan pertama September 2019, harga saham Lyft turun hingga ke posisi $45 per saham dibanding pembukaan saat IPO $72 per saham.

Hal yang sama terjadi pada Uber yang juga bermarkas di San Francisco, California, AS. Dilansir The Verge, Uber menjadi perusahaan teknologi bernilai tinggi yang melakukan IPO setelah Facebook dan Alibaba. Valuasi pasar perusahaan dihargai $120 miliar pada Oktober 2018. Namun, ketika perusahaan go public pada Mei 2019, nilainya susut menjadi hanya $75 miliar dengan harga saham $45 per saham.

Pada hari perdana IPO, harga saham Uber bahkan terperosok 7,6 persen di New York Stock Exchange (NYSE), seperti dilansir CNBC. Nilai saham Uber ditutup di bawah $42 per saham dengan kapitalisasi pasar susut ke $69,7 miliar. Penurunan valuasi pasar sebesar 38 persen itu dipengaruhi goyahnya kinerja Lyft yang membuat investor ragu karena kedua perusahaan ini memiliki model bisnis yang sama.

Selain itu, laporan kerugian Uber pada kuartal II-2019 senilai $52 miliar menimbulkan lampu merah di Wall Street untuk perusahaan yang baru saja go public. Sepanjang September 2019, nilai saham Uber menjadi $33 per saham.

Di bulan yang sama, startup dengan bisnis model berbagi ruang kerja bersama WeWork menyatakan menunda pelaksanaan IPO mereka. Valuasi pasar WeWork yang sempat menyentuh $47 miliar pun terjun payung ke posisi $6,94 miliar (PDF). Penyebabnya adalah investasi tidak pada tempatnya yang kerap dilakukan Adam Neumann, mantan CEO sekaligus pendiri WeWork. Buntutnya, sejumlah 2.400 karyawan WeWork secara global kehilangan pekerjaan.

Gelembung Startup?

Ibarat buah yang masih muda dan mengkal namun dipetik dan diperam agar lekas matang untuk memenuhi tingginya permintaan pasar. Kira-kira, seperti itulah kondisi sebagian besar perusahaan rintisan atau kerap disebut startup.

Kamus referensi Merriam-Webster mengartikan startup sebagai perusahaan bisnis yang masih baru. Tak jauh beda, American Heritage Dictionary mengartikannya sebagai bisnis atau usaha yang baru-baru ini mulai beroperasi, yang tumbuh dari perusahaan kecil menjadi perusahaan besar.

Di dunia, ada lebih dari 4.000 perusahaan rintisan dengan 429 diantaranya menyandang status 'unicorn' karena memiliki nilai valuasi setidaknya $1 miliar menurut data CBInsights per Desember 2019. Total nilai valuasi secara kumulatif sekitar $1,33 triliun. Di Indonesia, terdapat 992 perusahaan rintisan dengan 552 diantaranya berada di Jabodetabek per 2018.

Kemunculan masifnya perusahaan rintisan serta anjloknya berbagai kinerja mereka, membuat banyak pihak khawatir kondisi ini merupakan gelombang gelembung lain seperti yang pernah terjadi pada 1999 dan 2000, yakni gelembung dot-com. Di medio tersebut, bermunculan banyak perusahaan berbasis internet yang bahkan ramai-ramai go public meski tidak memiliki catatan keuangan mumpuni.

Bedanya, medio gelembung dot-com, perusahaan-perusahaan tersebut menyasar investor publik. Sementara itu, di era kiwari, perusahaan-perusahaan rintisan menyasar kucuran dana dari perusahaan modal ventura. Per Oktober 2019, pembiayaan atau penyertaan modal ventura di Indonesia mencapai Rp11,23 triliun. Angka itu naik 38,13 persen dibanding Oktober 2018 yang sebesar Rp8,13 triliun menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) (PMV1).

Salah satu venture capital asing di Indonesia, Convergence Ventures telah menyuntikkan dana sekitar Rp10 miliar di lebih dari 10 perusahaan rintisan di Indonesia. "Tahun 2020, Convergence Ventures akan mengucurkan dana lebih banyak di lebih banyak perusahaan," jelas Donald Wihardja, Partner di Convergence Ventures kepada Tirto.

Gelontoran dana investasi yang lebih banyak di tahun 2020 meski Indonesia dan dunia dibayangi resesi bukan tanpa alasan. Donald bilang perusahaan rintisan yang utamanya berbasis teknologi aplikasi, benar-benar mampu mengubah landscape atau peta jalan bisnis di Indonesia. Oleh karena itu, nilai valuasi startup tersebut terbilang riil.

"Industri startup di Indonesia terus berkembang pesat dan kami rasa tantangan yang dihadapi oleh pelaku bisnis startup dan juga perusahaan modal ventura bukanlah resesi, melainkan kurangnya talent (bakat)," imbuh Donald.

Convergence Ventures menurut Donald terus memantau perkembangan di sektor financial technology (fintech) yang berkembang pesat di Indonesia. Selain sektor tersebut, sektor e-commerce, logistik, kesehatan dan juga pendidikan, memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia.

"Pendek kata, di Indonesia, industri startup berbasis teknologi dan aplikasi maju terus. Kami invest terus," tulis Donald melalui aplikasi pesan instan kepada Tirto.

Tak jauh berbeda, perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures mengaku masih percaya jika potensi bisnis industri digital Indonesia masih besar. Oleh karena itu, pihaknya akan terus melakukan pendanaan bagi startup yang menurut mereka memiliki kualitas mumpuni dan potensial.

Meski demikian, pemodal ventura yang menggelontorkan dana ke startup Goola milik Gibran Rakabuming ini tidak percaya pada pendekatan 'jor-joran' dalam melakukan investasi. Managing Partner sekaligus Co-Founder Alpha JWC Ventures Jefrey Joe mengaku pihaknya selalu melakukan due diligence secara komprehensif dalam setiap aksi pendanaan yang dilakukan.

"Setelah itu kami juga memberikan bantuan dari segi operasional dan strategi bagi startup kami, agar terus berkembang," tutur Jefrey kepada Tirto.

Infografik Startup di dunia

Infografik Startup di dunia. tirto.id/Quita

Lebih lanjut Jefrey menekankan pentingnya perhitungan fundamental finansial dan akuntabilitas bagi startup yang disuntik modal sejak awal. "Karena itu, kami tidak begitu khawatir akan isu pecahnya bubble tren startup yang kini banyak beredar," imbuh Jefrey.

Sektretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo) Rimawan Yasin mengungkapkan, tantangan perusahaan modal ventura di Indonesia bukanlah pada kondisi ekonomi yang tengah berhadapan dengan resesi, melainkan pada kemampuan startup untuk menggerakkan roda ekonomi nasional dengan lebih baik. Sehingga, kejelian modal ventura dalam memilih startup yang dibiayai menjadi kunci sukses.

"Prinsip kehati-hatian merupakan salah satu cara mitigasi risiko. Jadi, sudah tentu pemodal ventura akan berhati-hati dalam melakukan pembiayaan. Ada perbaikan dalam menilai kemajuan startup yang tidak saja dilihat dari pertumbuhan valuasinya, tetapi juga tingkat profitabilitasnya," jelas Rimawan kepada Tirto.

Pakar Ekonomi Digital Ibrahim Kholilul Rohman mengungkapkan, perusahaan rintisan yang mampu bertahan di Indonesia adalah yang memiliki ukuran jaringan (network size) yang besar dan juga memiliki dasar kegiatan ekonomi riil dalam bisnisnya.

"Startup yang memiliki link dengan riil sektor, misalnya, bidang jasa, transportasi, pertanian, dan sebagainya itulah yang bisa lebih kuat bertahan di Indonesia dan di tengah bayang-bayang resesi," ungkap Ibrahim kepada Tirto.

Tantangan perusahaan rintisan saat ini adalah untuk dapat membuktikan performa baik secara finansial. Sehingga, ukurannya tidak lagi hanya berdasarkan valuasi pasar yang sangat fluktuatif. "Ini adalah hal yang harus dicapai startup bahwa perusahaan rintisan juga harus memiliki income statement yang sehat," jelas Ibrahim.

Baca juga artikel terkait BISNIS STARTUP atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina & Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dea Chadiza Syafina & Vincent Fabian Thomas
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara