tirto.id - Bertahun-tahun tertutup rapat, kinerja keuangan Saudi Aramco akhirnya dibuka untuk publik pada April 2019. The New York Times melaporkan, perusahaan minyak milik pemerintah Arab Saudi itu memperoleh untung bersih sebesar $111,1 miliar pada 2018, unggul jauh dibandingkan Apple, yang disebut-sebut menjadi perusahaan paling bernilai di dunia, yang di saat bersamaan “hanya” memperoleh pemasukan senilai $59,5 miliar.
Selain uang dari minyak yang melimpah, Pemerintah Arab Saudi pun mendulang pendapatan yang tak sedikit dari statusnya sebagai tuan rumah abadi penyelenggaraan Haji dan Umrah. Dilansir Arabnews, setidaknya uang senilai $5-6 miliar dikantongi Arab Saudi hanya dari ibadah Haji saban tahun. Jika digabung dengan Umrah, negara yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Saud setidaknya akan memperoleh pendapatan hingga $150 miliar pada 2022 mendatang.
Dengan dua sumber itu, maka Saudi -- negara yang jumlah penduduknya tak lebih dari populasi Jawa Tengah -- jadi negeri kaya raya dan mampu memberikan bantuan ke banyak negara. Misalnya, Arab Saudi telah menyumbang lebih dari $60 miliar dalam tiga dekade terakhir ke berbagai negara non-muslim dan membantu membangun 850 masjid di Indonesia.
Namun, uang melimpah Arab Saudi tak sekadar digunakan untuk menyumbang “secara diam-diam karena takut dianggap riya” ke berbagai negara. Sebagaimana dilaporkan Bloomberg, melalui Public Investment Fund (PIF) yang dikomandoi putra mahkota Mohammed bin Salman, Arab Saudi mengucurkan dana senilai $45 miliar untuk mendanai SoftBank—melalui SoftBank Vision Fund—yang ditanam ke berbagai startup teknologi di seluruh dunia.
Komitmen Arab Saudi menjadi salah satu kapital ventura terbesar di dunia dilakukan selepas bos Softbank Masayoshi Son menjanjikan “satu miliar dolar per menit” sebagai keuntungan yang kelak dapat dipetik.
Jika Anda sering membeli berbagai barang via Tokopedia, dengan alasan banyaknya cashback dan potongan ongkos kirim, atau lebih senang bepergian dan membeli makanan melalui Grab karena memperoleh promo, Anda kemungkinan telah merasakan manisnya uang Arab Saudi. Sebagaimana dilansir laman resmi SoftBank Vision Fund, Tokopedia dan Grab telah menerima uang investasi mereka.
Selain melalui SoftBank, Arab Saudi pun mengucurkan dananya secara langsung ke startup-startup dunia, termasuk pelopor ride-sharing Uber yang menerima dana tunai $3,5 miliar, Magic Leap, dan Lucid Motor.
Selain dari jalur PIF atau sang Putra Mahkota, kuasa Arab Saudi di perusahaan-perusahaan teknologi dunia telah mekar sejak dekade 1990an. Khususnya melalui tangan Pangeran Alwaleed bin Talal yang mengucurkan dana segar bagi Twitter, Snap, hingga Lyft.
Dunia Digital Arab Saudi yang Terbalik
Ironisnya, dunia digital di Arab Saudi mengenaskan. Salah satu indikatornya, tidak ada startup bergelar unicorn di negeri itu. Arab Saudi bahkan dilangkahi tetangganya, Uni Emirat Arab yang memiliki Careem, semacam Gojek ala Dubai.
Mengapa demikian?
Salah satu alasannya ialah iklim digital Arab Saudi yang tidak suportif. Penyensoran telah menjadi hal lumrah di Arab Saudi, misalnya yang terjadi pada Netflix.
Dilansir Wired, beberapa tayangan Netflix tak bisa tampil di Arab Saudi. Misalnya, serial komedi Hasan Minhaj, komika Amerika Serikat asal India. Serial itu dilarang tayang di Saudi lantaran salah satu episode-nya menyindir tindakan sang putra mahkota yang diduga kuat memerintahkan pembunuhan wartawan Washington Post, Jamal Khashoggi.
Dalam Pasal 6 dari regulasi tentang Kejahatan Siber, Arab Saudi mengharamkan “produksi, persiapan, transmisi, atau penyimpanan bahan yang melanggar ketertiban umum, nilai-nilai agama, moral publik, dan privasi, melalui Jaringan informasi atau komputer.”
Dalam studi berjudul “Internet Censorship in Arab Countries: Religious and Moral Aspects” (2018) yang ditulis Alisa Shishkina, pengekangan dunia digital di Arab Saudi dilakukan dalam kerangka menjaga moralitas. Selama suatu tindakan tidak melanggar aturan agama, tindakan dapat dilakukan. Namun, jika melanggar, pentungan aparat balasannya.
Dalam kancah ride-sharing misalnya, bisnis ini sulit berkembang. Salah satu alasannya, perempuan dilarang berpergian sendirian tanpa didampingi kerabatnya. Akibatnya, ride-sharing praktis hanya memiliki pasar laki-laki Saudi. Meskipun kemudian, Mohammed bin Salman telah merevolusi kebijakan dengan membolehkan perempuan menyetir kendaraan sendiri.
Selain terkait aturan agama, sensor digital ditegakkan pula untuk melindungi elite-elite kerajaan. Merujuk laporan Freedom House 2018, Arab Saudi sangat melindung dunia komunikasi konvensionalnya. Misalnya, Saudi pernah memblokir layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) dari Viber, WhatsApp, hingga Facebook yang menurut pemikiran mereka berpotensi mengurangi kuantitas panggilan suara dan gambar melalui jalur telekomunikasi konvensional.
Akibat kebijakan-kebijakan itu, Freedom House memberikan skor 73/100 (makin besar angkanya makin buruk) untuk dunia digital Arab Saudi. Pada akhirnya, iklim yang seperti ini memang tidak baik untuk perkembangan dunia digital Arab Saudi.
Ironis. Negeri yang dapat membantu startup dunia berkembang, tidak mengembangkan pemain-pemain lokalnya sendiri.
Editor: Windu Jusuf