tirto.id - Salah satu ide yang hendak dibawa Nadiem Makarim dari Gojek ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah fleksibilitas. Jika di Gojek sistem fleksibel terutama untuk para 'mitra', di Kemendikbud Nadiem hendak menerapkannya ke kurikulum dan tata kelola organisasi sekolah.
"Kami (Kemdikbud) bukan regulator saja, tapi pelayan dan pembantu sekolah dengan dengan cara membuat fleksibilitas dalam kurikulum, fleksibilitas tata kelola organisasi di suatu sekolah," kata Nadiem di Jakarta, Kamis, (28/11/2019) lalu.
Bagi Nadiem, kurikulum fleksibel dapat mengembangkan pendidikan Indonesia lebih maksimal. Sebaliknya, kurikulum yang kaku, yang "satu standar satu cara" dan "menstandardisasi", katanya, akan "berdampak buruk."
Sementara fleksibilitas dalam tata kelola organisasi dibikin agar para guru tidak terbebani dengan perkara-perkara administratif yang "tidak ada kelonggaran" dan "tanpa manfaat yang jelas."
Visi ini pada dasarnya sejalan dengan yang diinginkan Presiden Joko Widodo. Dalam rapat terbatas di Kantor Presiden, Kamis (31/10/2019), Jokowi mengatakan kurikulum harus dibuat fleksibel agar "sejalan dengan perubahan dunia yang kita alami."
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyimpulkan Nadiem tengah mengelola Kemdikbud dan pendidikan Indonesia bak sedang memimpin startup. Di satu sisi, apa yang dilakukannya cukup baik.
Pendekatan kurikulum yang lebih fleksibel memang dapat mendukung keberhasilan siswa, tulis salah satu artikel di The Conversation. Sebab, dalam kurikulum dengan pilihan terbatas, siswa "dapat merasa terjebak dalam program yang tidak lagi sesuai dengan minat atau kelebihan mereka."
Masalahnya kurikulum yang fleksibel juga meninggalkan lubang jika itu diberlakukan sepenuhnya. Ada beberapa hal yang tidak bisa diperlakukan dengan cara-cara fleksibel, misalnya, pendidikan karakter dan kepekaan sosial.
"Itu butuh praktik dan keteladanan yang enggak bisa diwakili dengan [fleksibilitas ala] startup," kata Ubaid kepada reporter Tirto, Jumat (29/11/2019).
"Kalau startup dipaksakan di semua lini, itu namanya dehumanisasi dan mencabut anak-anak dari budaya masyarakat," tambahnya.
Oleh karena itulah Ubaid mengatakan yang tidak boleh dilupakan Nadiem adalah meningkatkan kapasitas guru. "Guru-gurunya harus disiapkan dengan baik agar mampu memberikan pelajaran kepada murid-muridnya," katanya.
Kualitas guru terkait dengan visi fleksibilitas dalam tata kelola organisasi sekolah. "Belum tentu ketika beban non-pengajaran dikurangi, guru langsung bisa inovasi," kata peneliti senior di lembaga penelitian SMERU, Luhur Bima, mengutip The Conversation. "Karena itu tergantung kapasitas guru itu sendiri."
Kapasitas guru ini bahkan harus ditingkatkan saat mereka masih ada di bangku pendidikan, baik itu institut keguruan atau sejenisnya. Sebab kurikulum untuk sarjana pendidikan selama ini cenderung minim praktik, kata Edi Subkhan, dosen teknologi pendidikan di Universitas Negeri Semarang.
Disesuaikan
Nadiem belum detail menjelaskan apa yang dia maksud dengan kurikulum yang fleksibel. Tapi bagi Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti, itu salah satunya mesti dimaknai sebagai kurikulum yang menyesuaikan dan selaras dengan kondisi dan potensi di tempat siswa berada.
Misalnya, pada suatu daerah yang punya potensi di laut, sebaiknya kurikulum dibuat agar para siswa paham apa saja potensi itu dan bagaimana membuatnya jadi sesuatu yang menguntungkan. Begitu pula dengan daerah agraris, misalnya, atau di perkotaan.
"Sehingga potensi daerah tergali dan anak daerah tidak perlu merantau ke kota besar, namun berkiprah membesar daerah sesuai potensinya," kata Retno.
Retno mengatakan sekolah juga harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kurikulum fleksibel itu.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Irwan Syambudi