tirto.id - Shalat tarawih hukumnya tidak wajib, namun sunnah muakkad, yakni sangat dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Hukum qiyamul lail (shalat malam) pada bulan puasa sangat dianjurkan karena mengandung banyak keutamaan. Bila seorang muslim ingin menjalankan qiyamul lail, pelaksanaan salat witir berjamaah setelah tarawih dapat diubah waktunya menjadi setelah salat tahajud.
Shalat tarawih merupakan ibadah salat sunah khusus yang dilaksanakan pada malam hari bulan Ramadan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum pelaksanaan salat tarawih adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan oleh syariat Islam).
Apakah Shalat Tarawih Wajib atau Sunnah?
Salat tarawih boleh ditunaikan baik secara berjamaah maupun sendirian (munfarid). Hal ini merujuk riwayat Aisyah, bahwa sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah saw. justru tidak keluar menemui mereka.
Pagi harinya beliau bersabda, 'Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, "Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa hukum salat tarawih adalah sunnah kifayah, sehingga harus ada yang mewakili untuk menunaikan secara berjamaah di masjid, musala atau tempat lainnya. Ini dikutip dari "Tata Cara Shalat Tarawih: Hukum, Keutamaan, dan Teknisnya" oleh Sunatullah (NU Online), pendapat Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islam wa Adillatuh.
Sunah kifayah berarti bahwa jika semua jemaah masjid meninggalkan salat tarawih berjamaah, maka semua orang di daerah tersebut akan mendapatkan dosa. Sementara apabila sudah ada yang melaksanakan secara berjamaah, maka gugur dosa-dosanya.
Istilah salat tarawih baru muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sebelumnya salat tarawih hanya dianggap sebagai salat sunah yang dikerjakan ketika malam hari Ramadan oleh Nabi Muhammad saw.
Salat sunah tarawih pada masa Umar bin Khatab dikerjakan untuk pertama kalinya secara berjamaah sebanyak 20 rakaat tanpa witir. Kesepakatan pelaksanaan 20 rakaat pada masa ini juga diikuti oleh mayoritas para sahabat dan telah disepakati oleh umatnya.
Kesepakatan itu datang dari mayoritas ulama salaf dan khalaf, mulai masa sahabat Umar sampai sekarang ini, bahkan ini sudah menjadi ijma’ sahabat dan semua ulama mazhab: Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki.
Terdapat ulama mazhab Maliki yang memiliki perbedaan pendapat antara 20 rakaat atau 36 rakaat. Sementara itu, Imam Malik memilih menggunakan salat tarawih sebanyak 8 rakaat. Mayoritas mazhab Maliki bersama mayoritas mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Hanafi sepakat jika salat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat.
Hukum Qiyamul Lail di Bulan Ramadan
Salat tarawih adalah salah satu ibadah qiyamul lail pada bulan Ramadan. Penyebutan salat tarawih sebagai qiyamul lail termuat dalam hadis riwayat Ahmad dan Tirmidzi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
“Siapa yang salat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (H.R. Ahmad, Tirmidzi).
Akan tetapi, pertanyaan yang sering muncul bukanlah tentang salat tarawih, melainkan salat qiyamul lail selepas bangun tidur, yakni salat tahajud. Sebagimana salat tarawih umumnya dilaksanakan bergandengan dengan salat witir.
Tidak hanya itu, para ulama dari Mazhab Syafi’i dan Hanbali juga menganjurkan jika pelaksanaan salat witir terkhusus di bulan Ramadan ditunaikan setelah tarawih secara berjamaah.
Meskipun demikian, ajuran ini tidaklah bersifat mutlak. Seorang muslim yang yang berniat bangun untuk melaksanakan ibadah salat tahajud setelah bangun tidur sepanjang Ramadan, dapat mengerjakan salat witir itu sendiri, setelah semua salat sunnah lain dikerjakan.
Salat witir memang salat yang sebaiknya dikerjakan setelah mendirikan salat-salat sunah di waktu malam. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
“Barang siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama,” (Hadis Shahih Muslim Nomor 1256).
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus