Menuju konten utama

Apa Jadinya Bila Unicorn Traveloka Melantai di Bursa?

Kabar unicorn Traveloka akan melantai di bursa saham cukup santer. Apakah bisnis Online Travel Agencies (OTA) menarik bagi pasar? Bagaimana fundamental bisnisnya?

Apa Jadinya Bila Unicorn Traveloka Melantai di Bursa?
Logo traveloka. FOTO/Traveloka.com

tirto.id - Belum lama ini ranah bursa saham diramaikan dengan kabar akan melantainya Traveloka di bursa saham. Perusahaan unicorn asal Indonesia ini dikabarkan tengah menjajaki peluang untuk pelepasan saham perdana atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

“Iya [minat ada]. Namun, untuk jangka pendek ini, kami belum ada rencana [IPO]. Saat ini, masih fokus membesarkan platform kami,” kata Sufintri Rahayu, PR Director Traveloka kepada Tirto.

Otoritas bursa memang saat ini tengah gigih untuk menggaet calon-calon perusahaan untuk melantai di bursa, tidak terkecuali perusahaan-perusahaan unicorn atau memiliki nilai valuasi di atas US$1 miliar.

Traveloka adalah satu dari tiga perusahaan di Indonesia yang berlabel unicorn. Sebelumnya ada empat unicorn, namun Go-Jek sudah naik peringkat menjadi deracorn atau memiliki nilai valuasi di atas US$10 miliar.

Respons pasar tentang minat Traveloka untuk IPO secara umum tentu disambut positif. Hanya saja, ada keraguan dari pasar terkait jumlah saham yang bakal dilepas Traveloka, jika benar-benar menggelar IPO.

Hal itu dikarenakan perusahaan sejenis yang sudah melantai di bursa selama ini cenderung tidak likuid. Namun, daya tarik Traveloka di mata pasar tetap tinggi mengingat merek Traveloka saat ini cukup populer di kalangan pengguna travel online.

“Traveloka juga berbeda dengan emiten sejenis yang sudah ada. Mereka menghasilkan jasa dengan mengandalkan perangkat lunak. Ini menarik,” tutur Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital kepada Tirto.

Namun, pelaku pasar untuk saat ini masih meraba-raba prospek Travelola lantaran informasi perusahaan, terutama kinerja keuangan masih tertutup. Namun secara umum, bisnis travel online cukup cerah ke depannya.

Nama besar Traveloka memang sudah tidak asing lagi. Meski terbilang pemain baru, pangsa pasar Traveloka di bisnis travel domestik saat ini sekitar 30-40 persen, menurut Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo).

Astindo malah cukup khawatir dengan ekspansi Traveloka selama ini. Adanya dukungan modal yang besar termasuk bila bersumber dari IPO, ditambah harga jasa yang lebih murah ketimbang agen travel lainnya, Traveloka berpotensi semakin mendominasi pasar Online Travel Agencies (OTA).

“Pemerintah perlu turun tangan, karena agen travel konvensional tidak bisa bersaing dengan online. Kalau dibiarkan, pasar agen travel konvensional akan hanya 10 persen dalam 10 tahun ke depan,” tutur Wakil Ketua Astindo Rudiana kepada Tirto.

Di ajang persaingan Asia Tenggara, perusahaan travel dengan nilai valuasi US$2 miliar itu—menurut perusahaan riset CB Insight—juga sudah cukup dikenal. Selain Indonesia, Traveloka juga membuka layanan di Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia.

Sepak terjang Traveloka di Asia Tenggara juga terbilang agresif. Menurut riset Google dan Temasek berjudul e-Conomy SouthEast Asia 2018, Traveloka memiliki kontribusi yang besar terhadap nilai pasar travel online di Indonesia, Thailand dan Vietnam.

“Traveloka memiliki peranan penting dalam bisnis travel online domestik lantaran membuat nilai pasar travel online di Indonesia tumbuh paling kencang ketimbang tetangganya, yakni tumbuh 20 persen,” sebut riset tersebut.

Prospek Traveloka semakin cerah mengingat permintaan travel online bakal terus meningkat ke depannya. Menurut riset Google dan Temasek, travel online akan menjadi bisnis terbesar dan paling mapan dalam ekonomi digital di Asia Tenggara.

Nilai pasar travel online di Asia Tenggara pada 2018 ditaksir mencapai sekitar US$30 miliar, dan bakal naik 15 persen setiap tahun. Pada 2025, nilai pasar travel online ditaksir menembus angka US$78 miliar.

Infografik Traveloka

undefined

Para Penantang Traveloka

Prospek bisnis Traveloka sebagai OTA terbilang cukup cerah, tapi perusahaan tidak bisa santai-santai. Hal itu dikarenakan pemain OTA lainnya juga semakin banyak, dari dalam negeri maupun di luar negeri.

Misalnya ada Tiket.com. Saat ini, Traveloka dan Tiket.com menjadi travel paling populer menurut DailySocial. Dalam survei, antara 50-70 persen responden menggunakan Traveloka atau Tiket.com untuk mereservasi tiket pesawat, kereta, dan hotel.

Di Asia Tenggara, persaingan bisnis travel online jauh lebih ketat. Traveloka harus bersaing dengan pemain-pemain besar seperti Agoda, yang merupakan bagian dari perusahaan asal AS yakni Booking Holding, atau Expedia yang juga berasal dari AS.

Belum lagi, perusahaan-perusahaan besar—di luar bisnis travel online—juga mulai tertarik untuk ikut bergabung dalam persaingan travel online. Salah satunya adalah perusahaan asal AS, Google.

Google mulai menancapkan kukunya dalam pasar travel online di Asia Tenggara, melalui Google Flights. Saat ini, Google Flights baru melayani para pengguna jasa travel online di Singapura.

Dengan Google Flights, pengguna bisa membandingkan jadwal penerbangan dan harga yang ditawarkan maskapai penerbangan. Fitur itu bisa diakses melalui perangkat mobile, seperti tablet dan laptop.

Namun penantang yang paling mengancam justru datang dari maskapai penerbangan. Salah satu grup maskapai penerbangan di dunia, yakni AirAsia Grup mulai melirik pasar bisnis travel online.

AirAsia Grup tiba-tiba tertarik untuk ikut serta membangun sebuah travel online tentu ada alasan. Pasalnya, AirAsia saat ini memiliki basis pelanggan dan data yang sangat besar, serta nama merek yang cukup populer.

“Saya memiliki 65 juta pengguna aktif per bulannya. Mengapa tidak, jika saya memonetisasi itu,” tutur Tony Fernandes, Pemilik AirAsia Grup dikutip dari Skiftpada 3 April 2019.

“Kami belum pernah menawarkan hotel, liburan dan lain sebagainya. Sekarang, kami akan tawarkan itu. Kami juga akan melakukan hal yang keren dengan AI, machine learning and voice yang belum pernah dilakukan OTA"

Rencana maskapai tersebut tentu bisa mengancam penghasilan agen travel online. Pasalnya, sebagian besar penghasilan agen travel online berasal dari maskapai, yakni pemberian komisi dari setiap tiket yang terjual.

Dalam riset Google dan Temasek 2018, pesanan tiket pada OTA untuk pesawat di Asia Tenggara berkontribusi sebanyak 61 persen atau sebesar US$18,4 miliar. Sementara pesanan hotel sebesar 36 persen dan sisanya 3 persen disumbang dari pesanan lain-lain.

Bila dicermati posisi Traveloka, bisnis perusahaan cukup prospektif. Apalagi pemerintah Indonesia saat ini juga terus menggenjot pasar pariwisata, tentu akan berdampak positif bagi Traveloka.

Bila minat IPO terealisasi, maka yang pasti terjadi perusahaan OTA seperti Traveloka akan menggurita, karena dukungan modal dan citra sebagai perusahaan terbuka yang makin kuat. Ini tentu bakal jadi bencana bagi perusahaan travel agen lainnya apalagi yang masih konvensional.

Baca juga artikel terkait TRAVELOKA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra