tirto.id - Saat Sir Arthur Conan Doyle membunuh tokoh rekaannya, Sherlock Holmes, dalam The Final Problem yang terbit di majalah Strand, Desember 1893, pembaca setia serial detektif itu meradang. Jennifer Keishing Armstrong dari BBC menyebut reaksi publik sungguh tidak lazim untuk ukuran peristiwa fiksional.
“Lebih dari 20.000 pembaca Strand membatalkan langganannya, marah karena kematian premateur Holmes. Majalah itu nyaris tak bisa bertahan. Stafnya bahkan menyebut kematian Holmes sebagai ‘peristiwa mengerikan,’” kata Armstrong.
Alkisah, detektif Holmes meninggal setelah didorong musuh utamanya, Professor Moriarty, di tebing air terjun Reichenbach, Swiss. Konon kematian itu membuat anak-anak muda London berkabung selama sebulan. Mereka melingkarkan sutra dan pita hitam pada topi dan lengan. Hanya, versi ini kemudian disangsikan karena dianggap sebagai pernyataan hiperbolis salah seorang keturunan Arthur Conan Doyle di hadapan media.
“Aku telah menderita overdosis karenanya sebagaimana aku menderita overdosis karena terlalu banyak menyantap paté de foie gras. Nama itu membuat aku sungguh kesakitan hingga hari ini,” tulis Conan Doyle di catatan hariannya: ‘Membunuh Holmes’.
Berhadapan dengan tekanan publik, pada 1903, atau sepuluh tahun setelah Holmes meninggal, Conan Doyle kembali menghidupkan Sherlock lewat The Adventure of Empty House. Di situ ia menjelaskan bahwa hanya Moriarty yang mati pada musim gugur, sedangkan Holmes memalsukan kematiannya sendiri. Penggemar Holmes bertempik sorak.
Relasi yang terjalin antara Sherlock Holmes dan pembacanya, sambung Armstrong, telah membantu menciptakan praktik komunitas penggemar (fandom) modern, bahkan super-fandom. Sebagai gambaran, di Negeri Tirai Bambu, dalam bentuk fan fiction, karakter Sherlock Holmes (kemudian dikenal dengan nama Curly Fu) dan sahabatnya, Dr. Watson, menjelma jadi pasangan gay.
Di Jepang, serial manga detektif yang terinspirasi darinya, misalnya Detective Conan, diteliti para pengagum hingga ke putih-tulang. Di Negeri Ginseng, kelompok K-Pop SHINee membuat lagu penghormatan terhadapnya. Para penggemar Benedict Cumberbatch—aktor pemeran Sherlock Holmes dalam serial BBC—menjuluki diri Cumberbitches, dan itu melambangkan ‘kecintaan tingkat The Beatles’ terhadap sang bintang.
Dalam ulasannya terhadap buku The Ascent of The Detective: Police Sleuths in Victorian and Edwardian England(Oxford University Press: 2012), Dr Joon Carter Wood menyebut fiksi-fiksi detektif lahir pada masa transisi. Paling tidak, genre tersebut digemari karena dua hal: menggambarkan tempat-tempat eksotik di negeri jauh dan melambungkan harapan akan keamanan dan ketertiban pada masa-masa peralihan yang meresahkan.
Pada 1951, The Sherlock Holmes Society of London berdiri. Di Indonesia, terhitung sejak era kolonial, petualangan Sherlock Holmes menginspirasi lahirnya sejumlah roman detektif versi penulis-penulis Cina-Melayu. Dan kini Tuan Holmes muncul kembali. Ia menginspirasi Traveloka untuk menciptakan karakter Sherloka dan Watwatson, pasangan detektif yang merepresentasikan komitmen serius perusahaan dalam menangani kasus-kasus kriminal yang mengatasnamakan layanan mereka.
Tiga Modus Dominan
Dilansir dari blog resmi Traveloka, ada tiga modus yang biasa dilakukan pelaku untuk menjerat pengguna aplikasi Traveloka: pengumuman pemenang hadiah; agen travel; dan pegawai minimarket.
“Halo?” “Halo, selamat! Anda mendapatkan hadiah senilai 10 juta rupiah dari Traveloka!Untuk konfirmasi, silakan sebutkan nomor yang dikirimkan via SMS, ya.”
Nomor yang dikirimkan via SMS, istilahnya OTP (On-Time Password), adalah celah yang kerap dimanfaatkan pelaku untuk menggasak akun Traveloka calon korban. Teknisnya, sebelum menelepon, pelaku lebih dulu log in ke Traveloka menggunakan nomor hp korban. Lantaran tidak tahu passwordnya, pelaku memilih opsi “Lupa Password” sehingga pihak Traveloka secara otomatis mengirimkan kode OTP ke nomor tersebut. Pelaku memerlukan kode OTP untuk log in ke akun itu.
Hal serupa berlaku manakala pelaku pura-pura menjadi pegawai minimarket.
“Pak/Bu, saya X dari Modumart. Barusan saya salah mengirimkan kode voucher game Traveloka ke HP Bapak/Ibu, tolong kirimkan kodenya ya, saya ditunggu pelanggan.”
“Cepat Pak/Bu, kodenya hanya valid 3 menit!”
“Tolong Pak/Bu, saya bisa dipecat kalau begini…”
“Untuk menghindari penipuan dengan modus minta OTP tersebut, perhatikan baik-baik SMS yang masuk—kode OTP jangan diberikan pada siapa pun,” kata Busyra Oryza, PR Manager Traveloka.
Modus lain yang kerap digunakan pelaku untuk mengelabui korban adalah dengan berpura-pura menjadi travel agent, di mana korban diiming-imingi tiket perjalanan murah, misalnya tiket pesawat Jakarta-Bali PP seharga Rp500 ribu. Berbeda dari modus sebelumnya yang meminta korban memberikan kode OTP, pada aksi semacam ini korban diminta pelaku mentransfer uang langsung ke nomor rekening Traveloka.
“Sang penipu memang melakukan pembelian produk dari Traveloka, tapi bukan produk yang dipesan oleh korban. Misalnya, pelaku pura-pura menjual tiket pesawat yang ditawarkan dihargai Rp500 ribu. Penipu akan melakukan pembelian pulsa untuk dirinya sendiri seharga Rp500 ribu melalui Traveloka, dan meminta korban mentransfer ke PT Trinusa Travelindo dengan iming-iming membayar tiket pesawat, padahal yang korban transfer tersebut sebenarnya adalah pesanan pulsa dari pelaku,” terang Busyra.
Terkait modus demikian, Busyra mengimbau agar konsumen memesan tiket langsung melalui aplikasi atau situs web Traveloka—sebisa mungkin tidak melakukannya via perantara—dan memeriksa ulang seluruh transaksi sebelum melakukan pembayaran. Kalaupun pelanggan penasaran dengan iming-iming promo murah tersebut, lakukan konfirmasi terlebih dulu ke CS Traveloka.
Dari mana pelaku mendapatkan nomor pelanggan Traveloka? “Di luar sana ada oknum-oknum yang menjualbelikan data nomor telepon, sumbernya bisa dari database nasabah kartu kredit, konter pulsa, dan lain-lain,” ujar Busyra.
Dalam artikelnya di Forbes, Steve Culp, senior managing director of Accenture Finance and Risk Services, menyebut seiring meningkatnya ancaman kejahatan dunia maya, perhatian terhadap sistem keamanan digital pun meningkat. Perusahaan-perusahaan bahkan menghabiskan uang hingga miliaran dolar untuk membangun sistem keamanan yang maksimal. Namun demikian, celah untuk membobol sistem itu selalu ada, dan faktor paling rentan justru manusia—misalnya kelalaian karyawan atau kecerobohan pelanggan.
“Penjahat siber mengincar titik paling rawan pada pertahanan institusi, dan itu seringkali berarti pelanggan,” kata Culp. Dalam konteks itulah sosok Sherloka dan Watwatson dihadirkan Traveloka untuk mengedukasi pelanggannya.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis