tirto.id - Pada 6 Juli 2012, media Inggris The Telegraph memuat surat yang ditulis 16 tokoh terkemuka industri hiburan dan olahraga kepada pemerintah. Surat itu menyerukan agar pemerintah, selaku pemangku kebijakan, mengakui industri hiburan (leisure industry) sebagai salah satu sektor penting perekonomian Inggris.
“Kami menyerukan kepada pemerintah untuk ... menerapkan beberapa rekomendasi utama yang terkandung dalam laporan ini, antara lain menunjuk seorang Menteri Hiburan di tingkat kabinet.”
Sebulan sebelumnya, editor bisnis The Telegraph, Alistair Osborne, menyebut bahwa industri hiburan Inggris menyediakan lebih dari 1 (dalam skala 1-5) pekerjaan untuk tenaga kerja berumur 16-25 tahun. Capaian tersebut lebih tinggi ketimbang gabungan sektor jasa manufaktur, konstruksi, dan keuangan.
“Itu menunjukkan bahwa industri hiburan dapat menjadi pendorong utama untuk pertumbuhan ekonomi dengan potensi 440.000 pekerjaan baru pada tahun 2020,” demikian surat tersebut berupaya meyakinkan pemerintah.
Pertumbuhan leisure economy—yang secara sederhana berarti pergeseran pola konsumsi berbasis barang menjadi konsumsi berbasis pengalaman—tidak hanya berlaku di Inggris. Di Indonesia, sebagaimana dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2008-2018 pola konsumsi masyarakat mengalami perubahan dari komponen non-leisure (kebutuhan pokok seperti makan dan minum) ke tahap leisure (kebutuhan mengisi waktu luang seperti rekreasi).
Pernyataan BPS didukung keterangan Kementerian Bappenas/PPN yang menyebut konsumsi transportasi dan komunikasi meningkat dari 23,4% pada 2008 menjadi 24,7% pada 2018. Sementara konsumsi restoran dan hotel meningkat dari 9,1% (2008) menjadi 9,3% (2018). Pada saat bersamaan, konsumsi masyarakat untuk kebutuhan makanan dan minuman menurun dari 39,2 (2008) menjadi 36,7 persen (2018).
“Kita, semasa kecil dan remaja, menganggap baju baru penting dan membanggakan, namun sekarang tidak begitu,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Yang tergolong konsumsi leisure menurut BPS antara lain restoran, hotel, tempat rekreasi, dan kegiatan budaya. Dan berdasarkan kajian Nielsen (2015), kaum milennial—yang kini mencapai lebih dari 60% jumlah penduduk—adalah kalangan yang paling ringan mengeluarkan biaya untuk keperluan-keperluan leisure dan gaya hidup (46%).
Pergi Dahulu Bayar Kemudian
Menjelang libur akhir tahun 2018, Zenith Luthfia, pekerja swasta yang sehari-hari bertungkus lumus di Jakarta, bermaksud menghabiskan waktu luangnya di Yogyakarta. Dan karena tiket pesawat Jakarta-Yogya yang biasanya berkisar di rentang harga 400-600 ribu habis, Zenith pun mencoba peruntungan mencari tiket kereta. Namun, alih-alih murah, tiket kereta dengan gerbong prioritas yang tersedia justru dibanderol 1,4 juta rupiah.
“Mending naik pesawat,” katanya.
Terbentur ongkos mahal manakala hendak bepergian bukan derita Zenith seorang. Awal tahun ini, media sosial sempat diramaikan oleh tagar #tiketpesawatmahal. Penyababnya: harga tiket untuk penerbangan domestik meningkat dua kali lipat. Dan mengikuti hukum ekonomi dasar, semakin tinggi permintaan, semakin mahal pula harganya.
Penyedia tiket pesawat dan hotel Traveloka memiliki layanan #PayLater sebagai solusi untuk keperluan-keperluan bepergian yang mendesak. Ya, sesuai namanya, pengguna Traveloka bisa bepergian dengan pembayaran ongkos yang ditangguhkan antara 1 hingga 12 bulan.
Dilansir dari blog resmi Traveloka, layanan PayLater--tidak mengharuskan penggunanya memiliki kartu kredit--dapat digunakan semua pengguna Traveloka yang berumur 21-70 tahun. Syaratnya terbilang sederhana: pengguna tinggal mengisi formulir yang disediakan Traveloka dan menyertakan KTP serta dokumen pelengkap seperti SIM, NPWP, BPJS, atau Kartu Keluarga (KK). Adapun plafon untuk layanan ini mencapai 10 juta rupiah.
Melihat kecenderungan masyarakat kiwari membelanjakan uangnya untuk leisure activity, kehadiran Traveloka PayLater—terutama bagi orang-orang yang sudah lama mengidamkan pelesir—adalah solusi.
“Salah satu tantangan dalam dunia e-commerce adalah kemudahan dalam pembayaran dan akses terhadap produk-produk finansial. Dengan metode cicilan dan persetujuan yang cepat, kehadiran Traveloka PayLater diharapkan bisa memudahkan konsumen—mereka bisa mengatur keuangannya,” ujar Alvin Kumarga, Senior Vice President Financial Products Traveloka.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis