tirto.id - Liberalisme merupakan salah satu landasan berpikir dalam hubungan internasional sekaligus perspektif tandingan realisme.
Ide liberalisme sebenarnya telah dikemukakan oleh para filsuf dan pemikir politik sejak abad ke-17 dan 18. Dalam buku An Introduction to International Relations Theory: Perspectives and Themes (2001), diceritakan bahwa pada masa itu para pemikir telah memulai perdebatan tentang cara menciptakan keadilan, keteraturan, dan hubungan yang aman antar-manusia.
Kemudian dalam perjalanannya, liberalisme tumbuh dengan tradisi optimisme berdasarkan nilai-nilai pengendalian diri (self-restraint), moderasi, serta kompromi, demi mewujudkan stabilitas dan perdamaian.
Perspektif liberalisme dalam hubungan internasional baru mendominasi setelah Perang Dunia I. Kala itu, Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat--salah satu negara liberal--memelopori pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Perkumpulan antar-negara tersebut merupakan implementasi konsep keamanan bersama (collective security), yang bertujuan mencegah terjadinya perang serta menciptakan kedamaian dunia.
Sejak saat itu, studi akademis hubungan internasional dalam rentang periode Perang Dunia I dan II didominasi oleh perspektif liberalisme. Teori-teori liberalisme dalam hubungan internasional mulai mengemuka, juga ketentuan peraturan politik global.
Namun, pecahnya Perang Dunia II menjadi bukti kegagalan ketentuan peraturan politik global yang ditawarkan liberalisme. Pengaruh perspektif liberalisme pun mengalami keredupan, digantikan oleh perspektif realisme dalam studi hubungan internasional setelah Perang Dunia II.
Perspektif Liberalisme dalam Hubungan Internasional
Budi Handoyo dalam buku Geografi SMA/SMK Kelas XII (2022) menuliskan, liberalisme melandasi pandangan bahwa manusia bersifat baik dan dapat bekerja sama mewujudkan perdamaian tanpa kekerasan dan perang. Perspektif liberalisme mengejar kebijakan untuk kebaikan bersama, bukan berfokus pada pengaruh negara sebagai satu entitas dalam suatu kelompok.
Landasan berpikir perspektif liberalisme menyatakan bahwa peran dan konflik dapat dikurangi melalui kerja sama, reformasi, atau tindakan kolektif, yang diprakarsai para pemimpin individu. Namun, bukan berarti konflik dihilangkan. Sebab, hal itu dapat bersifat positif dan konstruktif.
Perspektif liberalisme mengasumsikan bahwa kerja sama dan keterlibatan internasional mungkin terjadi, selama seluruh pihak mematuhi norma-norma global dasar.
Robert Jackson dan Georg Sorensen dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional (1999) menjelaskan bahwa perspektif liberalisme percaya hubungan internasional bersifat kooperatif, alih-alih konfliktual seperti yang dijelaskan dalam perspektif realisme.
Perspektif liberalisme dalam hubungan internasional secara garis besar dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut:
Variabel | Liberalisme |
Aktor/unit analisis | Negara dan Organisasi Non-negara |
Pandangan tentang aktor | Negara terdiri atas berbagai komponen; sebagian beroperasi lintas batas negara |
Dinamika perilaku | Keputusan tidak selalu optimal; perundingan, tawar-menawar, kompromi |
Isu utama | Bervariasi, isu-isu sosial-ekonomi, dan kesejahteraan mendahului keamanan nasional |
Proses yang berlangsung | Manajemen isu-isu global |
Hasil (outcome) | Perilaku berdasarkan aturan di dalam masyarakat yang poliarki |
Struktur sistem internasional | Transnasional- banyak pusat kekuatan |
Prinsip-prinsip dasar penanda sistem internasional | Saling ketergantungan |
Distribusi kekuatan dan pengaruh | Relatif terdistribusi secara merata |
Contoh Liberalisme dalam Hubungan Internasional
Dalam perspektif liberalisme, kerja sama antarnegara tumbuh karena kebutuhan negara itu sendiri, bukan dari faktor eksternal atau tekanan dari luar. Maka dari itu, perspektif liberalisme memunculkan banyak kerja sama bilateral dan regional. Contoh liberalisme dalam hubungan internasional sebagai berikut:
- Liberalisasi perdagangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Afrika.
- Perdagangan bebas membuat masyarakat Asia Afrika bebas melakukan perdagangan luar negeri secara sekuler.
- Negara-negara Asia Afrika mulai mengembangkan produk industri masing-masing.
- Taraf kehidupan masyarakat Asia Afrika meningkat.
- Hadirnya sistem pendidikan egaliter di negara-negara Asia Afrika.
- Berkembangnya budaya populer di negara-negara Asia Afrika.
- Keikutsertaan negara-negara Asia Afrika dalam kancah fashion, olahraga, dan kesenian internasional. Misalnya, ajang Piala Dunia sepak bola, Piala Dunia Basket, Miss Universe, dan lain sebagainya.
- Beragamnya sekolah dan perguruan tinggi yang bebas dipilih oleh masyarakat Asia Afrika.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin