tirto.id - Realisme merupakan paradigma paling dominan dalam studi hubungan internasional di samping liberalisme. Paradigma ini menjadi perspektif yang dominan sejak 1940-an, menyingkirkan pengaruh idealisme yang mendominasi dalam rentang 1919 hingga 1930-an.
Perspektif idealisme kehilangan sebagian besar pengaruhnya pada saat itu. Sebab, paradigma tersebut tidak mampu menawarkan ketentuan peraturan yang menstabilkan dan mendamaikan politik internasional seusai Perang Dunia I. Ia juga gagal mencegah terjadinya Perang Dunia II.
Sementara itu, teori realisme mampu menawarkan ketentuan peraturan politik internasional pada era antarperang kala itu.
Apa Asumsi Dasar dari Pendekatan Realisme?
Jeffrey W. Legro dan Andrew Moravcsik dalam Is anybody still a realist? International Security (1999) menjelaskan bahwa realisme memiliki tiga asumsi dasar. Pertama, realisme memandang hakikat aktor adalah tunggal (unitary) dan rasional dalam dunia yang anarkis. Rasional dimaknai sifat aktor yang senantiasa mementingkan diri sendiri. Sementara anarkis diartikan ketiadaan otoritas di atas negara.
Kedua, realisme memandang hubungan internasional adalah konfliktual. Tidak ada yang menjamin negara lain akan bersikap baik. Maka dari itu, relasi antar bangsa dipenuhi rasa saling curiga terhadap maksud pihak lain.
Ketiga, realisme memandang struktur internasional ditentukan kapabilitas material. Realisme percaya bahwa perilaku negara dibentuk struktur material seperti postur militer suatu negara, pendapat perkapita, jumlah anggaran pertahanan, jumlah senjata nuklir, posisi geografis, hingga kekayaan sumber daya alam.
Lantas, bagaimana realisme memandang kerja sama internasional?
Dalam teori realisme, negara merupakan aktor utama dalam menjalankan kerja sama internasional. Perilaku negara dalam interaksi hubungan internasional digerakkan dengan kepentingan nasional secara rasional, termasuk dalam hubungan diplomatik.
Paradigma realisme melihat bahwa dunia itu konfliktual. Realisme menekankan bahwa kendala politik dalam hubungan kerja sama internasional muncul dari sifat egois manusia dan tidak adanya otoritas pusat di atas negara.
Maka dari itu, paradigma realisme mendorong negara bekerja sama karena dilema keamanan (security dilemma) guna meningkatkan sektor pertahanan. Dalam paradigma realisme, perdamaian akan terwujud, apabila negara berada dalam status balance of power (keseimbangan dalam kekuatan).
Dari berbagai penjelasan di atas, garis besar hubungan nasional perspektif realisme secara sederhana dapat dipahami melalui tabel sebagai berikut:
Variabel | Realisme |
Aktor/unit analisis | Negara |
Pandangan tentang aktor | Unitary |
Dinamika perilaku | Negara aktor rasional - konsisten memaksimalkan tujuan nasional melalui kebijakan luar negeri |
Isu utama | Keamanan nasional |
Proses yang berlangsung | Kompetisi demi kepentingan nasional |
Hasil (outcome) | Ketertiban terbatas (limited order) dalam masyarakat yang anarkis |
Struktur sistem internasional | Negara-sentris (state-centric) |
Prinsip-prinsip dasar penanda sistem internasional | Anarkis - kompetisi demi kekuatan dan pengaruh politik |
Distribusi pengaruh | Terfragmentasi - distribusi pengaruh dan kekuatan yang tidak simbang antar negara |
Contoh Realisme dalam Hubungan Internasional
Contoh realisme dalam hubungan internasional salah satunya terlihat pada kondisi dunia setelah Perang Dunia II. Kala itu, dunia mulai memasuki era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1947 hingga kehancuran Uni Soviet pada 1990-an.
Pada era Perang Dingin, negara-negara dunia terbagi menjadi tiga blok besar yakni Blok Barat, Blok Timur, dan Non-Blok.
Mulanya, hanya ada Blok Barat dan Blok Timur, yang berseteru dan bersaing dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi hingga militer. Negara-negara anggota masing-masing blok memberikan pengaruhnya untuk menyaingi satu sama lain.
Blok Barat yang berhaluan liberalisme, demokrasi, dan kapitalisme, berada di bawah pengaruh Amerika Serikat dan Inggris. Sementara itu, aliansi Blok Timur dipimpin Uni Soviet, dengan ideologi sosialis-komunisnya.
Persaingan antar-blok tersebut membuat beberapa negara lain bersikap untuk membuat gerakan netral, yang kemudian bernama Gerakan Non-Blok (GNB). Peran Indonesia cukup besar dalam hal itu, karena Presiden Sukarno merupakan salah satu pelopornya.
Perwujudan paradigma realisme terurai dalam contoh tatanan dunia di atas. Kerja sama antara negara dilandasi persaingan pengaruh terutama bidang ekonomi dan militer. Selain itu, digambarkan bahwa perdamaian dunia terbentuk ketika dunia dalam keseimbangan. Lebih lanjut, persaingan Blok Barat dan Blok Timur mewujudkan perdamaian.
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fadli Nasrudin