tirto.id - Istilah harta gono-gini sering muncul dalam kasus perceraian. Sebutan harta gono-gini merujuk pada harta yang diperoleh pasangan suami istri secara bersama sama selama masa dalam ikatan perkawinan.
Ketika perceraian terjadi, maka harta gono-gini tersebut perlu dibagi dengan adil sesuai dengan aturan yang berlaku. Di Indonesia, aturan mengenai harta gono-gini diatur dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Melalui penetapan aturan tersebut dapat dikatakan bahwa pengurusan, pembagian, dan penggunaan harta gono-gini diakui dan diatur secara resmi di Indonesia.
Ketentuan tentang harta gono-gini juga diatur dalam hukum Islam meskipun hanya bersifat umum dan tidak diakuinya percampuran harta kekayaan suami istri. Selain itu, harta bawaan dan harta perolehan juga tidak bisa dicampur.
Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif, bahwa kedua macam harta itu (harta bawaan dan harta perolehan) harus terpisah dari harta gono-gini itu sendiri.
Menurut makalah ilmiah yang diterbitkan oleh UIN Raden Intan, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Mengenal Apa Itu Harta Gono-Gini
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, harta gono-gini adalah harta yang dihasilkan suami istri selama masa perkawinan. Ini bisa dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergerak, termasuk sertifikat kepemilikan properti, surat-surat berharga, kendaraan, logam mulia, dan sebagainya.
Ketika terjadi perceraian, dua orang yang sebelumnya terlibat pernikahan tentu tidak lagi tinggal dan hidup bersama. Dengan demikian, pemanfaatan harta gono-gini tentu mau tak mau ikut terpisah.
Sayangnya, dalam banyak kasus banyak pasangan suami istri (pasutri) yang tidak menerapkan perjanjian pisah harta. Oleh karena itu, ketika terjadi perceraian, pasutri yang tidak pisah harta harus melakukan pembagian harta gono-gini secara adil.
Umumnya, gugatan harta gono-gini bisa dilakukan ke Pengadilan Agama (PA) setempat. Pasangan yang bercerai hanya akan memperoleh harta yang terbukti merupakan miliknya. Ini biaanya dibuktikan berdasarkan kepemilikan dokumen atau sertifikat kepemilikan.
Hal ini tentu akan lebih mudah jika dilakukan pemisahan harta sebelum perkawinan terjadi atau setelah perkawinan berlangsung.
Membuat perjanjian perkawinan sangat penting untuk rasa keadilan, serta tidak akan merugikan kedua belah pihak. Perjanjian pisah harta sendiri turut diatur dalam UU Perkawinan tepatnya pada pasal 29.
Aturan Harta Gono-Gini
Abd Rasyid As'ad dalam studinya yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama (PA) Muara Taweh menyebutkan setidaknya ada empat pasal yang mengatur soal pembagian harta gono-gini.
Keempat pasal itu adalah pasal 35 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 119 KUHPerdata, dan Pasal 85 dan 86 Kompilasi Hukum Islam (KHI), berikut bunyi aturannya:
1. Pasal 35 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur soal harta perkawinan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu:
- harta benda diperoleh selama masa perkawinan berlangsung
- harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
2. Menurut pasal 119 KUHPerdata pasal 119 mengatur soal definisi harta gono-gini, yang berbunyi:
“Sejak saat dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berlangsung, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. Kompilasi Hukum Islam, Pasal 85 menyebutkan:
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing–masing suami istri”
4. Kompilasi Hukum Islam, Pasal 86 Ayat 1 dan 2 menyatakan:
“Pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”
Penulis: Lucia Dianawuri
Editor: Yonada Nancy