tirto.id - Gangguan ginjal akut misterius yang terjadi pada anak ramai menjadi perbincangan warganet beberapa hari terakhir.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat setidaknya ada 131 kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak yang tidak diketahui penyebabnya (unknown origin) atau Acute Kidney Injury (AKI) Progresif Atipikal.
Ketua Pengurus Pusat IDAI dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) menjelaskan, sebanyak 131 kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak ini terjadi pada periode Januari hingga Oktober di 14 provinsi di Indonesia.
"Per 10 Oktober, yang masuk ke kami, tentu saja ini mungkin tidak representatif seluruh Indonesia, tetapi data yang melaporkan ke IDAI dan berhasil kami kumpulkan dari IDAI cabang itu ada kumulatif 131 kasus," kata Piprim seperti dilansir dari Antara.
Daftar wilayah di Indonesia yang terdapat kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak
Piprim menjelaskan, ke 131 kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak yang tidak diketahui penyebabnya (unknown origin) atau Acute Kidney Injury (AKI) Progresif Atipikal ini terjadi di 14 wilayah, yaitu,
1. DKI Jakarta
2. Jawa Barat
3. Jawa Tengah
4. Banten
5. Bali
6. Kalimantan Timur
7. Kalimantan Selatan
8. Sulawesi Selatan
9. Aceh
10. Sumatera Barat
11. Jambi
12. Kepulauan Riau
13. Papua Barat
14. Nusa Tenggara Timur (NTT)
Kronologi kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak
Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K) mengatakan kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury/AKI) tersebut mulanya dilaporkan muncul hanya satu atau dua per bulan pada Januari hingga Juli. Namun kasus menjadi melonjak pada Agustus hingga September.
"Di Agustus itu kami catat ada 35 kasus. Kemudian di September meningkat menjadi 71 (kasus). Di Oktober ini, sampai tanggal 11 sembilan kasus," ujarnya.
Menurutnya, sejauh ini IDAI mencatat kasus gangguan ginjal misterius tersebut, terutama kasus di Jakarta, banyak terjadi pada anak dengan usia di bawah lima tahun.
Apa penyebab gangguan ginjal akut misterius pada anak
IDAI menyatakan gangguan ginjal akut tersebut sebagai penyakit yang tidak diketahui penyebabnya (unknown origin) karena sesungguhnya kondisi gangguan ginjal akut umumnya memiliki sejumlah penyebab.
"Pada anak-anak ini (yang menderita gangguan ginjal akut misterius), kami tidak mendapatkan penyebab yang biasanya timbul pada anak-anak yang mengalami AKI,” katanya.
Piprim mengatakan awalnya IDAI menduga kasus tersebut terkait dengan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) karena COVID-19. Namun berdasarkan diskusi dan analisis, kasus yang ditemukan ternyata terdapat pula anak yang tidak positif COVID-19 sebelumnya.
Eka menambahkan, berdasarkan data-data yang dikumpulkan IDAI, sejauh ini pihaknya juga belum menemukan bahwa gangguan ginjal akut misterius ini terkait dengan obat-obatan tertentu seperti yang terjadi di Gambia, Afrika Barat.
"Sudah dicek mengenai peredaran obat-obat. Dan obat-obat yang diproduksi di India itu tidak beredar di Indonesia. Bahan baku obat Indonesia juga tidak ada yang berasal dari India. Tapi ini mungkin nanti akan lebih detail oleh Kemenkes karena mereka yang menginvestigasi," katanya.
IDAI memperkirakan angka kematian kasus gangguan ginjal akut misterius cukup tinggi. Akan tetapi, Eka menegaskan pihaknya tidak bisa memastikan persentasenya mengingat IDAI adalah organisasi profesi dan bukan lembaga resmi untuk mengumpulkan data di seluruh provinsi.
“Kami berusaha mengumpulkan data (dari IDAI cabang), tetapi sebetulnya data itu hanya sukarela. Kami tidak bisa memaksa juga kepada semua orang yang punya pasien (gangguan ginjal akut) untuk memasukkan data ini,” kata Eka.
Ia berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atau setidaknya Dinas Kesehatan di masing-masing provinsi dapat memberikan data yang lebih akurat sehingga IDAI mengetahui seberapa besar masalah yang terjadi.
Apa saja gejala gangguan ginjal akut misterius pada anak
Eka mengatakan, salah satu gejala gangguan ginjal akut misterius pada anak yang paling spesifik adalah penurunan volume urine atau air seni.
Menurutnya, anak-anak yang mengalami gangguan ginjal tersebut hampir semuanya datang dengan keluhan tidak buang air kecil atau buang air kecil yang sangat sedikit.
"Maka mungkin itu yang menjadi, kami ingin menyampaikan kewaspadaan, adalah bahwa kalau ada penurunan jumlah volume buang air kecil pada anak-anak maka itu harus segera diperiksakan ke rumah sakit," kata Eka seperti dilansir dari Antara.
Mengingat IDAI masih mendalami akar masalah penyakit tersebut, Eka mengatakan pihaknya hanya dapat mengimbau agar orang tua waspada apabila gejala spesifik tersebut muncul. Selain itu, gejala spesifik berupa penurunan volume urine atau air seni, gejala gangguan ginjal akut misterius pada anak yang perlu diwaspada adalah,
1. Batuk-pilek
2. Diare
3. Muntah
4. Demam
"Kurang lebih seragam gejalanya. Mereka ini diawali dengan gejala infeksi seperti batuk-pilek atau diare dan muntah. Dan infeksi tersebut tidak berat, maksudnya bukan tipikal infeksi yang kemudian harusnya menyebabkan AKI secara teoretis di kedokteran. Jadi itulah yang membuat kami heran," katanya.
Menurut Eka, pasien hanya beberapa hari timbul gejala batuk-pilek, diare, muntah, dan demam. Kemudian mendadak anak tidak memproduksi urine atau hanya sedikit urine dalam 3-5 hari.
Eka mengatakan, umumnya kondisi AKI disebabkan karena kehilangan cairan berlebihan yang banyak. Dalam Kondisi tersebut, biasanya pertolongan pertama dilakukan dengan pemberian cairan secepatnya. Namun kondisi itu berbeda pada gangguan ginjal akut misterius.
"Pada AKI yang berbeda kondisinya, kami tidak melihat ada kehilangan cairan yang berlebihan. Maka tidak disarankan untuk memberikan cairan yang berlebihan, tetapi disarankan untuk segera ke rumah sakit untuk diberikan terapi obat, dipantau, kemudian bila tidak berhasil maka kami akan melakukan cuci darah," kata Eka.
Sementara ini, Eka mengatakan dokter anak saat ini juga tengah melakukan berbagai intervensi seperti terapi obat atau cairan agar urine kembali diproduksi pada beberapa kasus pasien yang ketika datang ke rumah sakit dalam kondisi tidak ada produksi urine.
"Untuk pasien yang seperti ini, artinya kami hanya memberikan pengobatan konservatif tanpa terapi cuci darah," tambah dia.
Namun, untuk pasien yang tetap tidak memproduksi urine setelah diberikan obat, maka tindakan cuci darah diperlukan seperti hemodialisis, dialisis peritoneal (cuci darah lewat perut), ataupun metode lain yang lebih canggih dan kontinu. Selain itu, dokter juga melakukan transfusi tukar (plasma exchange).
Editor: Iswara N Raditya