tirto.id - Hari Raya Imlek selalu disambut meriah, baik bagi umat yang merayakan atau juga masyarakat yang lain. Karena selain promo dan diskon hari raya di tanggal merah tersebut, biasanya sejumlah wihara punya tradisi membagikan angpau ke warga di sekitarnya.
Satu di antaranya adalah di Wihara Dharma Bakti, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat yang tahun lalu ramai dikunjungi ratusan warga dari berbagai wilayah. Mereka rela mengantre angpau di depan wihara, bahkan sejak pukul 5 pagi. Warga mengaku bisa mengumpulkan uang hingga Rp60 ribu dari derma para jamaah.
Memberikan uang dalam amplop atau yang disebut angpau ini memang telah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia, khususnya ketika acara-acara besar. Bagaimana asal mula tradisi ini?
Di Cina, angpau ditemukan kali pertama pada masa Dinasti Han. Pada masa itu sebagian besar angpau menggunakan uang tembaga yang memiliki lubang bundar dan lubang segi empat di bagian tengah.
Biasanya pada bagian depan, terdapat kalimat keberuntungan “fu shan shou hai” yang artinya semoga berbahagia dan panjang usia, ada juga yang bertuliskan “qiang shen jian ti” yang artinya semoga sehat selalu. Sedangkan di bagian belakang terdapat lambang keberuntungan seperti harimau, kura-kura, dan sebagainya.
Warna merah sendiri melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Cina, yang menunjukkan kegembiraan dan harapan nasib baik bagi penerimanya.
Dalam tradisi orang Tionghoa, seseorang wajib memberikan angpau terutama orang yang telah menikah, pernikahan merupakan batas antara masa anak-anak dengan usia dewasa. Harapannya pemberian angpau dari orang yang telah menikah bisa memberikan nasib baik kepada orang yang menerima.
Selain di masyarakat Tionghoa, pemberian hadiah seperti angpau juga berlaku di Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Majalah Living World pernah mengulas soal tradisi ‘duit raya’ saat hari raya idul Fitri di Malaysia. Tradisi ini juga sering disebut green envelope, karena uang sebagai hadiah tersimpan dalam amplop berwarna hijau. Warna hijau melambangkan warna yang melekat bagi umat Muslim. Tradisi ini merupakan bagian dari konsep zakat, yang mengatur kaum muslim menyisihkan 2,5 persen dari kekayaan untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Selain di Indonesia, tradisi semacam ini juga berlangsung di Jepang, Tiongkok, Nigeria, dan Polandia.
Uang jadi hadiah yang sangat umum dalam sebuah perayaan pernikahan di Jepang. Orang tua mempelai pria secara tradisional memberikan uang kepada keluarga pengantin wanita dalam amplop khusus yang disebut ashugi-bukuro. Amplop itu dihiasi dengan hiasan emas dan perak yang dipilin dan diikat menjadi simpul dekoratif.
Jumlah uang di dalamnya biasanya sebesar tiga bulan gaji pengantin pria atau jumlah yang ditetapkan sebesar 500.000 yen (sekitar US$ 5.000).
Pemberian uang tidak berhenti sampai di situ saja. Para tamu juga memberikan hadiah uang tunai kepada pengantin wanita. Seorang teman pengantin wanita bisa memberi sekitar US$ 300, dan teman yang sangat dekat bisa memberi US$ 500. Pemberian dari seorang atasan, paman atau bibi bisa mencapai US$ 1.000. Biasanya nama pemberi hadiah dan jumlah keseluruhan uang di dalamnya tertulis di bagian luar amplop.
Di Jepang terdapat tradisi "Otoshidama" yaitu tradisi memberi uang sebagai hadiah kepada anak-anak setiap tahun.
Awalnya tradisi Otoshidama menggunakan kue beras yang melambangkan semangat. Pemberian uang mulai menggantikan kue beras sejak periode Edo--sekitar 410 tahun lalu. Nilai uang bisa diberikan per tahun sebanyak 5.000 yen sampai dengan 10.000 yen. Ketika anak-anak tumbuh dewasa maka gilirannya untuk memberikan "Otoshidama" untuk anak-anaknya.
Editor: Agung DH