tirto.id - Kita berada di dunia yang tak sedang baik-baik saja. Kehancuran, atau kita sebut saja "kiamat" akibat krisis iklim, mengancam manusia dari segala lini: lingkungan, ekonomi, pangan, sosial, dan kesehatan.
Selain itu, di masa depan bukan tidak mungkin "kiamat" terjadi akibat kebangkitan virus-virus masa lampau.
Pertengahan November lalu ramai pemberitaan mengenai virus “zombi” yang bangkit dari lapisan es purba di Siberia. Informasi ini tak sepenuhnya benar karena virus yang ditemukan tidak mati dan hidup kembali. Mereka hanya tertidur (inaktif) dan bisa bangun (aktif) ketika menemukan inang yang tepat. Plus, mereka hanya menginfeksi ameba, organisme bersel tunggal.
Penelitian yang dimuat dalam jurnal bioRxiv ini mengamati beberapa sampel bulu, kotoran mamut (mammoth), dan isi perut serigala Siberia dalam lapisan tanah beku permanen yang disebut permafrost dari Zaman Es. Kemudian peneliti menghidupkan kembali virus-virus dari sampel tersebut dalam skema laboratorium.
“Virus-virus ini dimasukkan dalam kultur ameba hidup, dan masih mampu menyerang sel dan bereplikasi,” tulis penelitian tersebut.
Tim peneliti mampu menghidupkan dan mengidentifikasi 13 virus purba yang terdapat di berbagai sampel permafrostdari tempat yang berbeda.
Tiga di antaranya berasal dari sampel kotoran dan bulu mamut berusia 27 ribu tahun. Ketiga virus ini diberi nama Pithovirus mammoth, Pandoravirus mammoth, dan Megavirus mammoth.
Dua virus lain berasal dari isi perut beku serigala siberia (Canis lupus), diberi nama Pacmanvirus lupus dan Pandoravirus lupus.
Satu virus tertua yang berhasil dihidupkan berusia 48.500 tahun. Spesimen ini ditemukan di kedalaman 176 meter di dasar danau Yukechi di Yakutia, Rusia. Suhu rendah permafrost membuat bentuk fisik virus tetap utuh.
Meski saat ini virus purba tersebut hanya menginfeksi ameba, tak menutup kemungkinan ada kebangkitan virus lain yang bisa menjadi pandemi di masa depan.
Para peneliti studi secara khusus memperingatkan perusahaan tambang di daerah dingin untuk tidak sembarangan mengeksploitasi. Merekalah yang berpotensi melepaskan pandemi baru dari masa lampau.
Peringatan ini bukan isapan jempol karena ada presedennya. 2016 lalu, terjadi endemi antraks di Siberia yang membunuh 2 ribu rusa dan seorang anak. Virus tersebut diyakini pernah menyerang tempat yang sama satu abad lalu, inaktif di permafrost, dan menginfeksi kembali saat lapisan es mencair.
“Segala macam virus bisa terawetkan (dalam permafrost), termasuk patogen manusia dan vertebrata. Jadi tetap ada risiko partikel virus purba menular dan kembali ke sirkulasi karena permafrost kuno mencair.”
Tim peneliti di Aix-Marseille University Prancis ini juga pernah menghidupkan kembali virus berusia 30 ribu tahun di permafrost Siberia pada tahun 2014.
Krisis Iklim dan Ancaman Virus Purba
Seleksi alam membentuk evolusi manusia, tanaman, dan semua makhluk hidup di planet ini. Seleksi alam juga mengubah virus.
Virus terus bermutasi dan mengembangkan model baru pada generasi berikutnya ketika masuk ke inang dan beradaptasi melawan sistem imun. Sebelum membunuh inangnya, virus harus menemukan inang baru agar mutasinya berkembang.
Dalam kondisi inilah ancaman virus anyar muncul, persis seperti Covid-19 yang sudah mengalami mutasi dari generasi Corona sebelumnya.
Sekarang bisa saja virus-virus dari zaman lampau hanya menginfeksi ameba. Namun mutasi sangat mungkin membuat mereka lebih kebal, kuat, dan mampu menginfeksi makhluk hidup lain.
Mutasi virus dapat terjadi antar hewan maupun manusia (zoonosis). Virus influenza, misalnya, bisa menginfeksi burung, babi, dan manusia. Ketika virus flu babi dan virus flu manusia bergabung di burung, maka kedua virus ini akan menghasilkan jenis flu yang berbeda. Virus juga bisa melompat antar organisme, contohnya dari burung ke manusia.
Jika virus menginfeksi manusia dan ditransmisikan secara efisien, juga terjadi dalam wilayah luas, maka terjadilah pandemi.
Saat ini, lantaran perubahan lingkungan besar-besaran, manusia sedang menghadapi ancaman mutasi virus yang lebih besar, bahkan virus purba. Kenaikan suhu akibat perubahan iklim cenderung membangkitkan kembali banyak mikroba yang mengancam, termasuk virus patogen dari masa lampau, karena memicu lapisan-lapisan es purba mencair.
Temuan kemarin itu bukanlah yang pertama.
Pada 1992, sekelompok peneliti mengumpulkan sampel inti es dari gletser di dataran tinggi Guliya, Tibet Barat. Di tahun 2015, tim berbeda dari Amerika Serikat dan Cina mengambil sampel es yang sama. Mereka memprediksi sampel tersebut berumur sekitar 520-15 ribu tahun.
Para ilmuwan mengambil sampel dua inti es dengan cara mengebor gletser hingga kedalaman 50 meter. Agar sampel tidak terkontaminasi, mereka memotong beberapa lapisan luar setiap sampel kemudian mencucinya dengan etanol. Lapisan es mencair sekitar 0,2 inci. Lapisan es yang tersisa dicuci lagi menggunakan air steril agar mencair 0,2 inci.
“Mulanya peneliti hanya ingin mencari petunjuk tentang iklim masa lalu. Tapi kami justru menemukan jendela evolusi mikroba (virus),” ungkap studi yang dipublikasikan dalam repositori pracetak bioRxiv.
Mereka menemukan 33 generasi virus. Sebanyak 28 tidak teridentifikasi.
Dari serangkaian penelitian, tim menduga perubahan lingkungan yang membikin es bumi mencair dapat membebaskan perangkap yang membekukan mikroba dan virus purba. Skenario terburuknya: suatu hari nanti, patogen tersebut mungkin saja dapat kembali ke lingkungan dan membuat pandemi pada hewan atau manusia.
Sebab itulah, selain mutasi virus, manusia juga harus bersiap menghadapi ancaman virus purba.
Editor: Rio Apinino