Menuju konten utama

Dihajar Flu Asia, Indonesia Pilih Upaya Kuratif Ketimbang Vaksinasi

Vaksin menjadi harapan untuk menghentikan laju pandemi Flu Asia 1957. Namun, Pemerintah Indonesia lebih memilih upaya kuratif karena keterbatasan.

Dihajar Flu Asia, Indonesia Pilih Upaya Kuratif Ketimbang Vaksinasi
Header Mozaik Ketika Pemerintah Menolak Vaksinasi. tirto.id/Ecun

tirto.id - Sejak COVID-19 mewabah di Indonesia sampai sekarang, vaksin menjadi satu topik yang tak bosan dibacarakan. Ia adalah salah satu solusi dan harapan terbaik di tengah gangguan ekonomi, sektor kesehatan yang kolaps, juga kegagapan pemerintah menangani pandemi.

Karenanya, saat vaksin tiba di Indonesia setahun sejak kemunculan virus SARS-CoV-2, masyarakat menyambutnya dengan gegap gempita.

Pemerintah kemudian menggencarkan dan mewajibkan vaksinasi kepada seluruh masyarakat. Per 1 September 2022, vaksin COVID-19 telah disuntikkan kepada 203 juta penduduk. Atau, 86 dari 100 penduduk sudah menerima vaksin dosis pertama.

Vaksin memang salah satu penemuan medis terbaik sepanjang sejarah. Berkatnya, beberapa penyakit bisa ditekan laju penyebarannya dan bahkan dieradikasi. Sejarah pun telah membuktikan bahwa vaksin adalah intervensi terbaik dalam menangani beberapa penyakit.

Maka tak heran negara selalu mengutamakan vaksinasi dalam upaya-upaya pemberantasan penyakit. Namun, catatan sejarah juga menunjukkan bahwa ada kalanya pemerintah tidak memilih vaksinasi sebagai upaya menyudahi pandemi.

Masa pandemi Flu Asia (1957-1958) menjadi contoh atas hal ini.

Kasus Flu Asia di Indonesia

Pandemi Flu Asia merupakan pandemi influenza terbesar kedua di abad ke-20 setelah pandemi Flu Spanyol 1918. Pandemi ini bermula di Cina pada Februari 1957 dan merembet ke Indonesia dua bulan kemudian.

Medan menjadi kota pertama yang dihinggapi Flu Asia tepat di minggu kedua Mei 1957. Saat Flu Asia merebak, Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Anne Booth dalam The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998) mencatat Indonesia baru pulih dari luka-luka Perang Kemerdekaan (1945-1949). Di dekade 1950, perekonomian Indonesia pun belum benar-benar baik.

Sektor politik pun masih tidak stabil. Sementara itu, sektor kesehatan masih serba terbatas dan kekurangan. Mengutip data Biro Pusat Statistik (BPS) 1957, Indonesia hanya memiliki 852 dokter, 1.550 bidan, dan 8.770 perawat.

Lalu, hanya ada 712 rumah sakit dan 3 ribuan balai pengobatan. Ini tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat itu mencapai 84,9 juta jiwa. Itu pun belum lagi menyoal ketimpangan antarwilayah.

Di sampung soal keterbatasan itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) nyatanya tidak membuat langkah pencegahan yang jelas. Tidak ada satu pun rilis dari Kemenkes untuk memitigasi wabah. Inilah yang kemudian membuat Flu Asia sangat mudah merajalela.

Kesempatan emas memerangi virus di masa awal pandemi sudah dilewatkan. Dalam studiPandemi Flu Asia 1957 di Indonesia” (2022), saya mencatat penyakit yang disebabkan oleh virus influenza A subtipe H2N2 itu hanya butuh waktu kurang dari dua minggu untuk menjangkiti seluruh wilayah Indonesia.

Seluruh daerah mengalami situasi serupa: tempat umum sepi dan fasilitas kesehatan dibanjiri pasien. Di Banjarmasin pada 15 Juni 1957, misalnya, Flu Asia tercatat telah menginfeksi sekira 70 ribu orang. Hampir seluruh rumah sakit dan praktik dokter diramaikan oleh pasien influenza. Sekolah dan tempat publik pun sepi pengunjung (Suara Merdeka, 16 Juni 1957).

Kegagapan Penanganan

Ketika pandemi Flu Asia meledak di Indonesia, masyarakat dan pemerintah daerah khususnya masih asing dengan situasi seperti ini. Tidak ada satu pun yang mengetahui penyebab wabah atau tingkat keparahannya jika terkena.

Ketidaktahuan ini membawa konsekuensi pada penanganan wabah. Masyarakat menuntut pemerintah tegas, tapi pemerintah daerah juga tidak tahu apa yang harus dilakukan dan tidak ingin salah langkah. Ini membuat respons penanganan menjadi lambat dan terkesan tidak terukur.

Kasus di Medan bisa jadi contohnya. Seturut pemberitaan harian Waspada (23 Mei 1957), Pemerintah Daerah Medan melakukan semi-lockdown dengan menutup sekolah dan fasilitas umum selama seminggu guna mengurangi penyebaran virus. Namun, upaya itu tidak berhasil.

Kondisi justru semakin parah. Malah, Pemda Sumatera Utara kena sentil pemerintah pusat karena melakukan karantina wilayah yang dikhawatirkan berdampak pada pemulihan ekonomi nasional (Antara, 29 Mei 1957).

Meski begitu, kesalahan tidak dapat dilimpahkan kepada otoritas Medan semata. Saat itu, urusan kesehatan memang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, tulis Vivek Neelakantan dalam Memelihara Jiwa Raga Bangsa (2019), kebijakan daerah mesti berpedoman pada arahan pemerintah pusat.

Maka tongkat komando penanggulangan pandemi semestinya dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Sayangnya, Kemenkes tidak punya arah kebijakan yang jelas. Dalam kurun waktu sebulan sejak kasus Flu Asia pertama terdeteksi, kebijakan yang keluar hanya bersifat himbauan.

Setidaknya ada empat pejabat tinggi negara yang berulang kali menyampaikan kondisi wabah. Mereka adalah Menteri Kesehatan Aziz Ali, Kepala Epidemiologi Kemenkes Makmoen Kosoemadilaga, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, dan Sekjen Kemenkes R. Pingardi.

Secara garis besar, isi himbauan mereka sama: 1) Meniadakan karantina wilayah dan penutupan tempat umum; 2) Agar pemerintah daerah memikirkan dampak ekonomi dari kebijakan kesehatan; 3) Menghimbau penduduk agar menjaga kebersihan diri; 4) Jangan takut terhadap keberadaan virus (Waspada, 27 Mei 1957; Antara, 29 Mei 1957; Sinpo, 6 Juni 1957).

Kebijakan yang seperti ini lantas menuai kritikan dari anggota DPR Fraksi Masyumi Ali Akbar. Pada 8 Juni 1957 lewat koran Indonesia Raja, dia menganggap pemerintah telah gagal karena lambat mengatasi penyebaran wabah.

Selain itu, pemerintah juga dianggapnya tidak mengeluarkan langkah konkret. Padahal, semakin hari infeksi virus kian menyusahkan hidup masyarakat.

Persoalan Vaksinasi

Seiring memburuknya situasi pandemi Flu Asia, pembicaraan terkait vaksin juga semakin ramai. Saat itu, vaksin bukan barang yang asing dan sudah dipakai untuk memberantas beberapa penyakit di Indonesia.

Banyak juga media nasional yang memberitakan tentangnya. Namun, seluruhnya menyebut bahwa vaksin influenza tidak berguna untuk mengatasi wabah saat itu karena berbeda genetika.

Harian Antara (27 Mei 1957), misalnya, mengabarkan bahwa “virus berlainan dari jang sudah umum” dan karenanya vaksin harus dibuat dari awal. Kabar ini tentu mengurangi harapan untuk memanfaatkan vaksin sebagai intervensi menyudahi Flu Asia.

Meski demikian, secercah harapan pun muncul ketika Maurice Hillman, virolog asal Amerika Serikat, memulai penelitian vaksin Flu Asia. Hillman adalah salah satu yang pertama menyadari bahwa wabah di Hongkong akan menjadi pandemi global. Atas sebab itulah, dia segera memulai membuat antivirusnya.

Pada 22 Mei 1957, proyek pembuatan vaksin influenza H2N2 dimulai di Pusat Kesehatan Walter Reed, AS. Secara sederhana, proyek vaksin Hillman menggunakan dasar vaksin influenza yang sudah diteliti sejak 1940-an.

Hillman hanya menambahkan genetik virus H2N2 ke dalamnya. Dalam uji coba, vaksin buatannya berhasil mencatat kenaikan antibodi hingga mampu menangkal infeksi virus dengan efektifitas mencapai 53%-60% (Maurice Hillman, 1957, “Asian Influenza: Initial Identification of Asiatic Virus and Antibody Response in Volunteer of Vaccination” dalam Special Conference on Influenza).

Kabar keberhasilan proyek vaksin itu kemudian sampai ke Indonesia dan menjadi gembar-gembor media tanah air.

Harian Antara (8 Juni 1957) memberitakan bahwa vaksin Flu Asia akan segera hadir pada Juli 1957. Ini jelas menjadi angin segar bagi Indonesia. Artinya, masyarakat bakal mendapat vaksin dalam beberapa bulan ke depan dan wabah lambat laun akan hilang.

Infografik Mozaik Ketika Pemerintah Menolak Vaksinasi

Infografik Mozaik Ketika Pemerintah Menolak Vaksinasi. tirto.id/Ecun

Sayangnya, harapan ini tidak terkabul karena pemerintah memutuskan untuk meniadakan vaksinasi Flu Asia di Indonesia.

Dalam wawancara khusus dengan majalah Djembatan (Juli 1957), Makmoen Kosoemadilaga berujar pemerintah memiliki alasan kuat atas keputusan ini. Sedikitnya pabrik farmasi, sulitnya distribusi, dan minimnya tenaga medis, menjadi beberapa sebabnya.

Seturut hitungan teoretis, dibutuhkan setidaknya 56 juta dosis vaksin (70 persen dari total jumlah penduduk Indonesia) untuk menghentikan laju pandemi di Indonesia.

Dengan berbagai keterbatasan yang ada, angka sebesar itu cukup sulit untuk dicapai. Jika dipaksakan pun, vaksinasi akan berjalan lama hingga bertahun-tahun—dan ini tidak sesuai dengan urgensi vaksin yang harus dilaksanakan secara cepat.

Singkatnya, daripada mengurusi vaksinasi yang sulit dilakukan, Pemerintah Indonesia memilih untuk fokus pada langkah-langkah kuratif dengan sumber daya yang ada. Bagi pemerintah, langkah pencegahan, seperti karantina wilayah, tidak efektif dan justru berpotensi menghancurkan ekonomi negara.

Jadi, pemerintah secara tidak langsung membiarkan angka penderita naik, tapi mencoba mengimbanginya dengan tindakan kuratif di saat yang sama.

Pemerintah meyakini meski harus melewati gejala harian yang sangat parah, penderita dapat sembuh pada beberapa hari kemudian atau dapat sembuh dengan sendirinya tanpa obat—tergantung pada ketahanan tubuhnya.

Apalagi, ada penelitian ilmiah yang jadi rujukan pemerintah bahwa H2N2 tidak berbahaya, jika tidak ada komorbid dan komplikasi.

Lalu, apakah kebijaan kuratif itu dilaksanakan dengan baik?

Pemerintah melaksanakan kebijakan kuratif dengan segala keterbatasan yang ada. Banyak pemerintah daerah membuka poliklinik darurat untuk menjangkau masyarakat yang sulit mengakses fasilitas kesehatan modern.

Di Jakarta, misalnya, pemerintah provinsi membuka puluhan poliklinik darurat dengan bantuan mahasiswa kedokteran UI, PMI, dan militer (Indonesia Raja, 13 Juni 1957).

Selain itu, meski cukup telat, Kemenkes tercatat melakukan pengiriman obat-obatan influenza dan vitamin ke gudang obat di berbagai daerah untuk disebarluaskan (Sinpo, 12 Juni 1957). Semua kebijakan ini disokong oleh solidaritas masyarakat dan organisasi yang bersedia menjadi relawan penanggulangan Flu Asia.

Dampak dari kebijakan kuratif yang serba terbatas dan lambat itu pada akhirnya cukup buruk. Banyak orang yang terpaksa menghentikan aktivitas dan pekerjaannya. Selama berminggu-minggu, mereka menanggung gejala yang parah, bahkan banyak juga yang akhirnya meninggal dunia.

Kementerian Kesehatan mengonfirmasi ada 350.446 penderita Flu Asia di Indonesia. Mayoritas penderitanya adalah anak-anak karena imunitasnya belum optimal.

Namun, peneliti asing dan independen Frederick L. Dunn mengungkap terdapat 2 juta orang yang mengidap H2N2 di Indonesia.

Sayangnya, Kemenkes tidak merilis angka kematian akibat Flu Asia. Namun, jika mengacu pada pemberitaan surat kabar, banyak juga daerah yang melaporkan kenaikan mortalitas selama masa pandemi (Mei-Agustus 1957).

Laporan BPS 1957 juga mencatat adanya kenaikan jumlah penduduk yang meninggal. Meski begitu, statistik ini tidak mutlak disebabkan oleh Flu Asia semata. Sebab, ada banyak faktor yang juga memengaruhi angka kematian dalam populasi penduduk.

Baca juga artikel terkait PANDEMI atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi