Menuju konten utama
4 Agustus 1957

Sengkarut Penanganan Flu Asia di Indonesia

Saat Flu Asia menerjang Indonesia di era Orde Lama, pemerintah lambat bergerak dan gelagapan.

Sengkarut Penanganan Flu Asia di Indonesia
Header Mozaik Pandemi Flu Asia di Indonesia. tirto.id/Tino

tirto.id - Sudah hampir satu pekan dokter Tan Tik Hong tidak dapat tidur nyenyak. Ia yang membuka klinik pribadi di pusat kota Medan harus melayani pasien dari matahari terbit hingga tengah malam.

Pelayanan ini di luar jadwal operasional biasanya, yang dimulai pukul 08.00 dan berakhir menjelang malam. Perubahan jadwal ini disebabkan memburuknya situasi kesehatan di Medan sejak awal Mei 1957.

Dokter Tan, seperti diwartakan Waspada (21/5/1957), harus melayani hampir 100 pasien dari pukul 08.00 sampai 09.30, dan terus meningkat hingga malam hari. Angka ini sangat berbeda dibanding hari biasanya yang bisa dihitung jari.

Seluruh pasien yang datang mengalami gejala serupa: mirip pilek tetapi dengan tingkatan lebih parah, yakni disertai sakit badan, nyeri dada, muntah-muntah, batuk, bahkan sudah muncul diagnosis pneumonia.

Dokter Chen Tsen Tshui juga bernasib sama. Sebagai pemilik klinik, ia mengamini pernyataan sejawatnya itu, “[Pasiennya] keliwat banjak”. Bahkan, ia menyatakan ketidaksanggupannya mengurus pasien.

Kisah dua dokter itu hanya segelintir cerita tentang gentingnya situasi Medan pada bulan Mei 1957 saat mewabahnya virus influenza yang berbeda dari biasanya.

Permulaan Wabah

Wabah di Medan adalah bagian dari penyebaran Flu Asia di dunia. Pandemi ini bermula pada Februari 1957 di Provinsi Yunan, Cina, dan menjadi pandemi influenza kedua setelah Flu Spanyol pada 1918.

Flu Asia disebabkan oleh virus H2N2 yang berasal dari campuran unggas dan virus influenza manusia. Karena bermula dari Asia, maka kata "Asia" disematkan setelah "flu". (A. Payne, 1958, “Some Aspect of the Epidemiology of the 1957 in Influnza Pandemic”).

Bagi Indonesia, Flu Asia adalah pandemi influenza pertama yang terjadi setelah kemerdekaan. Mewabahnya H2N2 di Asia Tenggara pada akhir April 1957 menjadi sorotan pelbagai media nasional. Meski demikian, tidak ada langkah mitigasi dari pemerintah. Tidak ada satupun pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang wabah influenza di Asia.

Padahal, apabila terdampak wabah, infrastruktur kesehatan dan pelayanan medis di Indonesia belum baik. Saat itu, melansir data Biro Pusat Statistik (1957), hanya terdapat 1000-an dokter yang bekerja di sekitar 700-an rumah sakit pemerintah di seluruh indonesia. Belum lagi sektor ekonomi dan iklim politik yang tidak stabil.

Memasuki minggu kedua Mei 1957, mengutip Dunia Wanita (Juni 1957), banyak masyarakat Medan yang sakit influenza, serupa dengan di luar negeri. Tenaga kesehatan kebingungan mendiagnosis penyakit ini, sebab berbeda dari influenza pada umumnya.

Satu per satu warga tumbang dan harus dilarikan ke rumah sakit atau poliklinik. Pada 16 Mei 1957, 30 persen pasien yang datang ke rumah sakit umum mengidap influenza. Persentase ini meningkat empat hari kemudian menjadi 70 persen. Sekolah, kantor, dan pelbagai tempat publik lainnya mendadak sepi.

Surat kabar Waspada (21/5/1957) melaporkan, lima ribu dari 400 ribu penduduk Medan sudah terjangkit influenza. Kabar ini kemudian menjadi sorotan nasional, yang menandai bahwa wabah influenza sudah semakin dekat.

Pada saat bersamaan, kondisi di Medan semakin tidak karuan. Rumah sakit, poliklinik pemerintah dan swasta semakin banyak didatangi pasien influenza. Persediaan obat influenza dan vitamin C di seluruh apotek mulai menipis dan membuat harganya mahal.

Situasi ini membuat Djawatan Kesehatan Sumatera Utara mengeluarkan instruksi penutupan sekolah dan tempat-tempat umum untuk menekan laju penyebaran virus selama seminggu, dari 23 sampai 30 Mei 1957. Bersamaan dengan itu, virus sudah mulai menjangkiti penduduk di sekitar Medan. Bahkan di Bandung, Makasar, dan kota-kota di Kalimantan, sudah terdapat kasus positif Flu Asia.

Kementerian Kesehatan akhirnya mengeluarkan pernyataan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, dr. Pirngadi, berupaya menenangkan masyarakat. Kepada Sinpo (24/5/1957), ia menyebut bahwa influenza tidak berbahaya dan meminta masyarakat agar tidak panik.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Menteri Kesehatan, Abdul Aziz Saleh, pada 27 Mei 1957. "Penduduk tidak perlu khawatir dan takut akan wabah influenza. Untuk mencegahnya penting [menjaga] kondisi badan, [konsumsi] vitamin C, dan cukup tidur,” ujarnya. (Waspada, 27/5/1957)

Namun, apa yang disampaikan dua pejabat tinggi Kementerian Kesehatan itu berbeda dengan kenyataan di lapangan: wabah semakin meluas. Bahkan, beberapa hari kemudian muncul korban jiwa. Dunia Wanita edisi Juni 1957 mengkritik pemerintah yang baru bertindak dan gelagapan ketika ribuan masyarakat sudah terkulai di tempat tidur.

Puncak Penyebaran Wabah

Pada 29 Mei 1957, Kementerian Kesehatan mengeluarkan panduan penanganan wabah influenza. Panduan ini dirilis setelah Kepala Epidemiologi Kemenkes, dr. Makmoen, pergi ke Singapura untuk menyelidiki Flu Asia.

Panduan ini menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam menanggulangi wabah. Sebagaimana dipaparkan Vivek Neelakantan dalam Memelihara Jiwa Raga Bangsa (2019), masalah kesehatan saat itu menjadi urusan pemerintah daerah berdasarkan arahan pemerintah pusat.

Setidaknya ada dua poin penting seperti dikutip Antara (29/5/1957). Pertama, meminta agar masyarakat tidak panik dan tidak perlu membeli vitamin C dalam jumlah besar. Kedua, pemerintah daerah harus memikirkan dampak ekonomi dari setiap penanggulangan wabah. Pemerintah tidak mau ekonomi yang telah dibangun setelah Perang Kemerdekaan (1945-50) menjadi kacau akibat penutupan tempat umum.

Pemerintah tidak menerapkan kebijakan karantina laut atau udara bagi pendatang karena dinilai tidak efektif. Hal ini tentu kontradiktif. Sebenarnya Indonesia punya peraturan karantina yang mengadopsi aturan warisan kolonial, yakni Staatblad van Nederlandsch Indie no. 277 tahun 1911.

Aturan itu mengatur tentang prosedur karantina untuk menekan penyebaran wabah. Namun, pemerintah enggan menerapkannya. Kapal dan pesawat tetap bebas keluar masuk. Begitu pun penumpangnya. Akibatnya, wabah meluas dengan cepat di tanah air.

Puncak wabah Flu Asia di Indonesia terjadi pada bulan Juni 1957. Secara umum, wabah bermula dari kota-kota yang terletak di pesisir, lalu menyebar ke kota-kota sekitar dan pedalaman seiring masifnya pergerakan manusia.

Semua kota melaporkan kondisi serupa: tempat pelayanan kesehatan dipenuhi pasien dan fasilitas umum sepi. Di Ambon, harian Antara (16/6/1957) melaporkan, banyak guru yang tidak masuk sekolah karena sakit influenza. Surat kabar lokal pun terpaksa berhenti beroperasi dan membuat diseminasi informasi tentang wabah terputus.

Infografik Mozaik Pandemi Flu Asia di Indonesia

Infografik Mozaik Pandemi Flu Asia di Indonesia. tirto.id/Tino

Para dokter pun tidak mampu berbuat banyak. Selain karena bebannya terlalu tinggi, mereka bingung dalam memberi obat-obatan anti-influenza karena obat yang ada dinyatakan tidak mempan terhadap virus H2N2.

Masyarakat akhirnya memanfaatkan obat tradisional dan menerapkan berbagai ritual untuk menolak wabah. Di Bogor, misalnya, ada penduduk yang mengadakan selamatan agar tidak terjangkit Flu Asia (Sinpo, 7/6/1957).

Yang paling sering terjadi adalah penimbunan obat dan vitamin C. Dalam reportase Star Weekly (1/6/1957), misalnya, di Jakarta ada orang yang sengaja menimbun vitamin C untuk dijual kembali dengan harga tinggi.

Lalu dalam laporan Sinpo (5/6/1957), di salah satu kampung di Jakarta, ada penduduk yang terkena tipu. Mereka ditawari oleh seseorang yang mengaku sebagai pegawai pemerintah untuk mendapat suntikan anti-influenza dengan biaya 1 sampai 4 rupiah. Namun, suntikan ini membuat tubuh gatal-gatal dan bengkak. "Petugas" itu langsung kabur membawa uang penduduk.

Seiring waktu, ketidaktegasan Kementerian Kesehatan dalam menangani wabah terungkap (Djembatan, Juli 1957). Rupanya, pemerintah memilih fokus pada hal kuratif bukan preventif. Ini disebabkan oleh laporan penelitian dari luar negeri bahwa Flu Asia tidak berbahaya.

Meski harus melewati gejala harian yang sangat parah, penderita dapat sembuh pada beberapa hari kemudian, atau dapat sembuh dengan sendirinya tanpa obat, tergantung ketahanan tubuhnya. Pandangan ini menjadi alasan dari penolakan karantina, gencarnya pengiriman obat dan suplemen ke berbagai daerah, dan tidak adanya kegiatan vaksinasi di tanah air.

Akhir Pandemi

Berbeda dengan Flu Spanyol dan Covid-19, Flu Asia adalah pandemi yang relatif singkat. Ini disebabkan oleh genetika virus yang berbeda. Di dunia, Flu Asia terjadi dalam dua gelombang: gelombang pertama (Februari-Desember 1957) dan gelombang kedua (Januari-Februari 1958). Vaksin berhasil mengintervensi penyebaran pandemi secara global. Indonesia sendiri hanya mengalami gelombang pertama, yakni dari bulan Mei sampai Agustus 1957.

Terdapat dua versi tentang jumlah penderita kasus positif Flu Asia di Indonesia. Pertama, diungkap oleh Frederick L. Dunn dalam artikel “Review of International Spread of New Asian Strains” (1958). Dunn menyebut 6 juta dari 84 juta penduduk Indonesia terkena Flu Asia.

Kedua, berdasarkan rilis Kementerian Kesehatan yang mencatat 350.446 orang terjangkit Flu Asia di Indonesia. Data yang dirilis Kementerian Kesehatan kemungkinan bisa lebih besar, karena data tersebut hanya dari laporan orang yang datang ke pelayanan kesehatan. Sementara banyak pula penduduk yang tidak melaporkan diri. Namun, data-data ini tidak disertai angka kematian akibat wabah.

Flu Asia di Indonesia berangsur reda ketika memasuki bulan Juli. Laporan penderita terus menurun. Sampai akhirnya, pada 4 Agustus 1957, tepat hari ini 65 tahun lalu, Kementerian Kesehatan menyatakan pandemi Flu Asia di Indonesia berakhir.

Baca juga artikel terkait INFLUENZA atau tulisan lainnya dari Muhammad Fakhriansyah

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi