tirto.id - "Benar-benar, deh, kayak asal gitu brosurnya. Enggak siap (pemerintah), masak kartu kuningnya bahas soal virus MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah), SARS (sindrom pernapasan akut), dan H7N9 (flu burung Tiongkok)? Enggak ada tentang COVID-19"
Pengalaman Apriyani bersama keluarga kecilnya pulang dari Hong Kong - Kuala Lumpur ke kampung halamannya di Palembang membuatnya kaget. Bukan tanpa alasan, berkaca pada perjalanan ke Hong kong pada 18 Januari lalu, Bandara Internasional Hong Kong memberlakukan pengawasan ketat terhadap warga negara asing karena wabah virus COVID-19 menyebar ke berbagai negara.
COVID-19 pertama kali muncul Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Tiongkok, pada Desember 2019. Virus ini menyebabkan batuk, flu, demam dan gangguan pernapasan akut parah (SARS-Cov-2) yang menyebabkan kematian.
Di Hong Kong, pendatang wajib melewati thermal scanner dan thermo gun serta memakai masker dan diberi buku kecil alur penanganan COVID-19 oleh petugas bandara. Pihak bandara juga melakukan pencegahan dengan menyemprotkan disinfektan selama dua jam sekali di sudut ruangan. Mereka membersihkan lebih sering tombol lift dan pegangan eskalator.
Di Bandara Internasional Kuala Lumpur, pengawasan ketat hampir serupa. Bedanya, penumpang masih ada yang tidak menggunakan masker.
Bagaimana dengan Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang?
Empat jam sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien 01 dan pasien 02 positif Corona di Indonesia, Ema tidak melihat petugas bandara yang memeriksa suhu tubuh secara manual dengan thermo gun. Lalu, pengisian data tidak diperiksa seperti nomor telepon penumpang. Padahal Ema dengan keluarganya baru saja dari Hong Kong dan Malaysia, dua negara yang terpapar COVID-19.
"Di brosur Malaysia, kalau datang dari negara terpapar COVID-19, disuruh pakai masker selama 14 hari di publik. Di Indonesia, brosurnya ngomongin virus lain. Isinya enggak serius juga," kata Apriyani mempertanyakan kebijakan pemerintah. "Malah lebih ketat urusan bagasi dan cukai dibandingkan soal Corona."
Apriyani bukan satu-satunya orang masuk ke Indonesia saat dunia heboh dengan wabah Corona. Data Badan Pusat Statistik Nasional per Januari 2020 menyebut 796.934 wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia melalui 32 bandara internasional.
Bandara Internasional Ngurah Rai di Denpasar menjadi pintu masuk tertinggi (526.823 orang), berikitnya Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (173.453 orang), Bandara Internasional Juanda, Surabaya (17.047 orang), dan Bandara Internasional Kualanamu, Medan (19.327 orang).
Adita Irawati, juru bicara Kementerian Perhubungan, berkata pengawasan penumpang luar negeri sudah diterapkan sejak Februari lalu. Namun, ia mengakui pengetatan pengawasan bandara baru dijalankan setelah Indonesia mengumumkan ada dua pasien positif Corona pada 2 Maret lalu.
"Kalau yang dikeluhkan adalah petugas (bandara) dianggap kurang serius, kami lakukan evaluasi," kata Adita kepada Tirto, 3 Maret lalu. "Ini menjadi masukan dan bandara memperketat penanganan (pengawasan). Kami sadar banyak yang harus diperbaiki. Itu kemudian menjadi prioritas kami."
Penyebaran COVID-19
Lemahnya pengawasan bandara berdampak pada terpaparnya korban positif Corona di Indonesia. Dua warga Indonesia dinyatakan positif COVID-19 pada 2 Maret lalu oleh Presiden Joko Widodo. Panularan terhadap pasien 01 dan 02 terkait kasus ke-24 Malaysia yang dinyatakan positif Corona pada 27 Februari lalu setelah pulang dari Indonesia.
Kasus warga negara asing positif Corona setelah pulang dari Indonesia bukan kali pertama terjadi. Ada delapan kasus lain. Warga negara Tiongkok asal Wuhan positif COVID-19 setelah berkunjung ke Bali selama seminggu.
Ia dinyatakan positif pada 4 Februari. Lalu warga Jepang berusia 60 tahun positif Corona pada 22 Februari setelah berkunjung ke Bali selama tiga hari.
Tiga kasus lain, yakni warga negara Singapura dan Myanmar positif Corona, setelah tiga hari berkunjung ke Batam. Pasien 101 Singapura dinyatakan positif pada 25 Februari; pasien 103 dan 104 dinyatakan positif pada 1 Maret lalu.
Kasus warga Singapura lain atau disebut pasien 107 positif Corona setelah berkunjung ke Jakarta selama empat hari. Perempuan 68 tahun dinyatakan positif pada 2 Maret oleh Kementerian Kesehatan Singapura.
Selandia Baru mengonfirmasi kasus pertama virus Corona pada 28 Februari. Riwayat perjalanan pasien 01 itu dari Iran, yang transit di Bandara Ngurah Rai. Ada sekitar dua jam pasien itu transit sebelum terbang ke Auckland, kota Metropolitan terbesar di Selandia Baru.
Begitu pula warga Australia, perempuan 30 tahun yang positif Corona setelah kembali dari Iran melalui Denpasar. Pemerintah Negara Bagian Victoria sedang mencari data seluruh penumpang pesawat Malindo Air nomor penerbangan OD 177 rute Denpasar-Melbourne pada 28 Februari 2020.
Kepala otoritas kesehatan Victoria Dr Brett Sutton mengatakan perempuan itu sudah merasakan gejala-gejala sakit ketika akan menaiki pesawat dari Denpasar. Ia meminta seluruh penumpang yang duduk satu-dua baris di kiri-kanan perempuan itu agar melakukan karantina di rumah masing-masing.
Sementara pada 24 Februari, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto dengan percaya diri membantah warga Jepang yang datang ke Bali terjangkit COVID-19.
Data ini berdasarkan komunikasi antara Kemenkes dengan otoritas kesehatan Jepang. Setelah diperiksa, yang bersangkutan terjangkit virus Corona tipe II (SARS CoV-2).
Padahal, menurut situs resmi Badan Kesehatan Dunia (WHO), kedua virus itu sama saja. SARS CoV-2 merupakan penyebutan untuk nama virus, sementara COVID-19 merujuk pada penyebutan penyakit.
Sehari kemudian, Yurianto meralat bahwa warga Jepang tersebut positif Corona. Namun, Kemenkes memiliki pandangan berbeda mengenai SARS CoV-2 dan Virus Corona yang menyebabkan infeksi COVID-19. Mereka meyakini SARS CoV-2 adalah bentuk mutasi virus corona penyebab COVID-19 atau yang sebelumnya disebut 2019-nCo.
Untuk kasus Wuhan, Kemenkes mengklaim warga Tiongkok bukan terjangkit COVID-19. Kemenkes mengklaim itu hanya flu biasa. Ia menyatakan pria Tiongkok itu masuk rumah sakit pada 4 Februari dan pulang pada 10 Februari.
Pada awal Maret, Kemenkes sudah melacak orang yang pernah kontak langsung dengan warga Jepang positif Corona. Ada 11 orang yang dicurigai dan dalam pemantauan. Ia berkata Kemenkes sudah melakukan pengambilan spesimen terhadap 11 orang tersebut.
"Alhamdulillah, 11 negatif untuk klaster Bali," kata Yurianto pada 4 Maret.
Tak hanya itu. Di hari yang sama, Yurianto, yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Corona, mengklaim klaster Batam sudah selesai karena orang yang "kami curigai tidak ada kontak langsung dengan warga Singapura positif Corona."
Berbeda dengan pernyataan Dinas Kesehatan Kepulauan Riau, ada 15 orang yang pernah berinteraksi dengan pasien 103 asal Singapura; 13 di antaranya sudah dinyatakan negatif. Sementara dua lainnya masih menunggu hasil laboratorium.
Penyebaran COVID-19 bisa saja bertambah bila pemerintah tak serius menanganinya.
Misalnya, "kartu kuning" yang disiapkan pemerintah tidak efektif sebab banyak di antaranya tidak diisi lengkap oleh penumpang, bahkan ada yang dibawa pulang.
Menurut Yurianto, "kartu kuning" memang dibawa pulang. Bila 14 hari pertama ada gejala sakit seperti influenza, ujarnya, langsung dibawa ke rumah sakit atau Puskesmas. Data kartu ini akan diinput ke komputer Kemenkes.
Temuan Tirto menunjukkan fakta berbeda. Beberapa penumpang justru membawa pulang semua lembaran kartu kuning.
Lalu, bagaimana pemerintah mendeteksi kasus seperti ini?
“Kami punya paspor dan bandara terintegrasi dengan customs (bea cukai),” klaim Yuri.
Bea cukai merilis ada 261 warga negara Tiongkok masuk ke Indonesia pada 6 Februari dan 8 Februari 2020. Padahal, pemerintah Indonesia pada 5 Februari pukul 00.00 sudah melarang penerbangan langsung dari dan ke Cina setelah mendapat rujukan Public Health Emergencies of International Concoer IPHEIC) WHO.
Fakta itu justru membuat Yuri bertanya: “Bea cukai mengurusi orang datang, gimana ceritanya?”
Ia tidak tahu bagaimana caranya mendeteksi kesehatan WNA Tiongkok itu.
“Di mana? Tanyakan Kemenkeu (bagian Bea Cukai) di mana? Saya harus mendeteksi di mana? Kalau kami tidak tahu di mana, gimana deteksinya, dong?”
Pasien COVID-19 Bertambah
Pasien 01, perempuan berusia 31 tahun, memiliki riwayat perjalanan ke beberapa lokasi. Pada 14 Februari, pasien 01 pergi ke Restoran Amigos; pada 15 Februari ke Restoran Paloma Bistro di Hotel Des Indes Menteng untuk menjadi pembawa acara. Di dua lokasi itu, ada pasien positif Corona kasus ke-24 Malaysia.
Pada 16 Februari, pasien 01 batuk dan demam. Sejak itu pasien tidak pernah keluar rumah.
Sementara pasien 02 berusia 64 tahun masih terkait dengan pasien 01 karena satu rumah. Pada 21 Februari, pasien 02 mulai meriang, selanjutnya mulai mudah lelah dan puncaknya demam 38 derajat celsius pada 24 Februari.
Pasien 01 dan 02 memutuskan pergi ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok. Akhirnya, mereka dirawat oleh dokter. Hasil laboratorium medis menunjukkan pasien 01 terserang broncho pneumonia dan pasien 02 terkena tifus. Kedua pasien itu tidak ada pikiran apa pun meskipun dirawat.
Pada 28 Februari, pasien 01 mendapatkan kabar dari temannya bahwa kasus ke- 24 di Malaysia positif Corona.
"Demi keamanan dan kesehatan nasional, saya info ke dokter agar saya diperiksa (virus Corona)," kata pasien 01.
Pada Senin, 2 Maret, Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien 01 dan 02 positif Corona. Sementara pasien 01 dan 02 kaget karena informasi itu mereka dapatkan dari media massa, bukan dokter yang menanganinya.
Empat hari kemudian, 6 Maret, Achmad Yurianto mengumumkan dua pasien baru positif Corona. Dua pasien itu masih terkait dengan pasien 01 di Jakarta.
"Kami dapatkan dua orang konfirmasi sebagai kasus 3 dan 4," kata Yurianto di Kantor Staf Kepresidenan.
Ia menambahkan ada lima pasien suspect Corona yang menjalani perawatan di RSPI Sulianti Saroso terkait dengan pasien 01. Kemenkes masih memantau kondisi fisik mereka. Yurianto enggan gegabah memulangkan pasien sebab masih menderita batuk dan pilek. Bila tidak hati-hati bisa menjadi subklaster baru seandainya positif, katanya.
Berdasarkan data Kemenkes per 7 Maret 2020, jumlah orang di Indonesia yang diperiksa terkait infeksi COVID-19 berjumlah 483 orang. Sementara yang positif COVID-19 ada 6 orang, negatif ada 445 orang, dan dalam proses pemeriksaan ada 32 orang.
Mempertanyakan Kematian Suspect Corona
Sejak virus Corona menyebar ke 93 negara, Kementerian Kesehatan telah mengonfirmasi 6 kasus positif Corona di Indonesia. Namun, sebelum kasus positif Corona diumumkan, ada pasien suspect Corona meninggal di Batam.
Pria 61 tahun asal Singapura diisolasi di RS Badan Pengusahaan Batam. Pihak Dinas Kesehatan Kota Batam menyebut hasil tes dia tak terjangkit COVID-19 alias negatif. Pasien suspect itu disebut menderita pneumonia.
Serupa, pasien berusia 37 tahun meninggal saat status suspect Corona di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi, Semarang. Pasien diisolasi sejak 19 Februari dengan keluhan pernapasan akut.
"Pasien itu datang dengan keluhan menyerupai gejala terpapar virus corona, tapi penyebabnya bukan virus Corona seperti yang kami khawatirkan," kata Nurdopo Baskoro, Kepala Bidang Pelayanan Medik RSUP Dokter Kariadi Semarang. Lagi-lagi hasil hasil laboratorium yang dikirim ke Litbangkes Jakarta negatif alias tidak terpapar COVID-19.
Kementerian Kesehatan juga mengklaim pasien suspect Corona yang meninggal di Rumah Sakit Dr Hafiz (RSDH) Cianjur tidak terjangkit Covid-19. Pria berusia 50 tahun itu meninggal setelah dirawat tiga hari di ruang isolasi RSDH Cianjur. Meski begitu, Achmad Yurianto berkata belum mengetahui secara pasti penyebab kematian pasien tersebut.
Kasus suspect Corona meninggal terjadi i RSPI Sulianti Saroso pada 5 Maret. Pasien berusia 65 tahun ini harus memakai alat bantu pernapasan sejak satu minggu sebelum dilarikan ker RSPI Sulianti Saroso.
Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso, Mohammad Syahril, menampik pasien itu meninggal karena COVID-19. Pasalnya, belum ada hasil uji laboratorium yang menyatakan positif atau negatif.
Berulang kali bantahan pemerintah terhadap pasien suspect Corona yang meninggal bukan karena terjangkit COVID-19 menimbulkan tanda tanya.
Misalnya, pria asal Singapura yang meninggal di Batam memiliki risiko terjangkit COVID-19 karena negara itu sedang terjangkit virus asal Wuhan tersebut. Kedua, warga Semarang yang meninggal karena suspect Corona juga memiliki riwayat perjalanan pada 10 Februari ke Dubai dan Spanyol, kedua negara itu masing-masing terpapar positif Corona pada 29 Januari dan 31 Januari.
Setelah tiba di Indonesia pada 12 Februari, pasien yang dirawat di Semarang itu mulai menunjukkan demam, batuk, pilek, dan sesak nafas. Anehnya, meski pemerintah membantah dia terpapar COVID-19, penanganan pemakaman jenazah tidak dilakukan dengan cara biasa, akan tetapi dibungkus plastik dan dimasukkan ke dalam peti. Ini berbeda dengan suspect Corona yang meninggal di RSPI Sulianti Saroso; jenazah tidak dibungkus plastik.
Prof. Chaerul Anwar Nidom, Ketua Riset Corona dan Formulasi Vaksin di Profesor Nidom Foundation (PNF), mengatakan wajar publik meragukan klaim pemerintah bahwa para pasien suspect Corona yang meninggal itu disebut negatif terjangkit COVID-19.
Ia berkata bisa saja negatif karena pengambilan sampelnya keliru. Teknik pengujian dan rentang waktu pengambilan sampel bisa memengaruhi hasil laboratorium, ujarnya.
Karena itu, seharusnya pemerintah meredam keraguan itu dengan melakukan pengujian lagi agar hasilnya transparan. Misalnya, uji sampel berapa kali, dari situ bicara fakta.
"Bila disebut negatif, negatif seperti apa?" kata Nidom.
Bagi Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga ini, proses pengujian sampel tak asing karena 15 tahun lalu Nidom menguji virus flu burung.
"Kalau masyarakat ingin tahu, ya wajar-wajar saja dan tidak perlu disembunyikan. Justru saat ini masyarakat diberi tahu risiko sebenarnya. Supaya tanggung jawab pengendalian dan pencegahan itu bukan hanya bertumpu pada pemerintah tapi masyarakat juga ikut," kata Nidom kepada Tirto.
Demi menghapus keraguan di masyarakat, pemerintah perlu membangun kriteria suspect Corona: ada dugaan kontak pasien positif, berkunjung ke wilayah terpapar virus, dan gejala klinis menyerupai COVID-19. Oleh sebab itu pemerintah perlu mengklarifikasi karena korban berikutnya bukan siapa-siapa melainkan masyarakat.
Pengorbanan pasien 01 dianggap luar biasa. Saat informasi pribadi yang memojokkan menyerang kedua pasien itu, baik dari Kemenkes, Pemerintah Kota Depok, dan pemberitaan sensasional, pasien meminta seluruh keluarga dan teman-temannya menguji sampel untuk memastikan virus COVID-19 tidak tersebar.
"(Pasien) 01 dan 02 adalah sebuah 'wake up call' bagi seluruh komponen bangsa. Pasien 01 & 02 adalah penyelamat kesehatan nasional," ujar Ah Maftuchan, pengamat kebijakan publik dari The Prakarsa.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna