tirto.id - Meski pasien pertama baru diumumkan di hari kedua Maret ini, kepanikan akibat virus COVID-19 sudah lebih dulu tiba. Pasalnya, angka suspek dan korban yang terinfeksi terus naik tiap hari di seluruh dunia sejak Desember lalu, tapi pemerintah mengklaim Indonesia aman. Padahal jumlah korban sebelum 2 Maret, sudah lebih dari 86 ribu orang dari 63 negara.
Banyak orang yang sanksi kalau Indonesia betulan seaman itu.
“Under reported. Boleh jadi ada terduga, orang yang sudah terinfeksi, cuma karena tidak pernah periksa,” ujar Hermawan Saputra, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan RS Seluruh Indonesia, Sabtu, 29 Februari kemarin.
Saat itu, Hermawan menilai, isu Corona cenderung ditanggapi santai oleh masyarakat, terlihat dari candaan yang banyak dilontarkan terhadap virus Corona. Bentuk serupa pun terjadi saat flu burung tengah dalam keadaan genting.
“Yang dapat menjadi bencana saat yang menganggap remeh itu malah stakeholder, pemerintah. Panik memang tak baik, tapi tetap perlu waspada,” tegasnya.
Beberapa kali Menteri Kesehatan Terawan bahkan jadi suara paling nyalang yang ingin meredamkan kewaspadaan itu. Ia tak ingin penduduk Indonesia panik. Bahkan sempat meminta masyarakat berdoa dan salat istigasah untuk menghadapi virus COVID-19.
Pada 23 Januari lalu, saat outbreak COVID-19 di Wuhan—tempat asal virus ini berkembang—dan kota mulai diisolasi, Menkes Terawan justru mendatangi Gedung BRI di Jakarta karena kabar seorang pegawai perusahaan Huawei yang bekerja di sana dilarikan ke rumah sakit karena demam. Ia melakukan sidak sendiri untuk membuktikan bahwa demam itu bukan karena virus COVID-19.
Kesungguhan Menkes Terawan untuk melindungi masyarakat Indonesia dari kepanikan tak berjalan baik. Sempat terjadi penumpukan masker yang akhirnya bikin komoditasnya langka di pasar. Sejumlah orang bahkan sempat memborong sembako di swalayan untuk menimbun persediaan di rumah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dari PBB juga sempat menyangsikan kejemawaan Indonesia. Perwakilan World Health Organization (WHO) untuk Indonesia, Navaratnasamy Paranietharan bilang bahwa semua negara perlu untuk mempersiapkan diri. Persiapan yang perlu dilakukan dimulai dari deteksi dini, manajemen kasus, hingga pencegahan.
“Kami deklarasi bukan hanya karena outbreak di Cina, tapi [karena] transfusi ke negara-negara lain di luar Cina. Yang terjadi di Cina memang penting, tapi deklarasi outbreak itu penting untuk memproteksi negara-negara lain,” katanya, Senin, 24 Februari kemarin.
Sampai akhir Februari kemarin, fokus pemerintah terkait virus COVID-19 tampak hanya berotasi pada dampak ekonomi saja. Presiden Joko Widodo bahkan dalam rapat terbatas sehari setelah WHO memberikan statemen, hanya fokus pada dampak ekonomi, daripada mitigasi kesehatan.
“Siapkan seluruh instrumen, baik moneter maupun fiskal untuk digunakan dalam rangka memperkuat daya tahan dan daya saing ekonomi negara kita,” demikian salah satu poin arahan Jokowi kepada para pembantunya soal virus Corona ini.
Sementara poin kedua, Jokowi menekankan soal memaksimalkan kegiatan konferensi dalam negeri, MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition). Selain itu, ia juga meminta agar meningkatkan promosi untuk menyasar ceruk pasar wisman yang mencari alternatif destinasi wisata karena batal mengunjungi Cina, Korea, dan Jepang. Ketiga negara itu memang tercatat sebagai negara dengan wabah Corona cukup akut.
Di hari yang sama, WHO merekam 80.239 kasus terinfeksi Corona dan 2.700 kematian di seluruh dunia. Negara lain juga ketar-ketir menangani virus Corona dan mulai memberlakuan travel banned di sana sini, Indonesia justru melakukan sebaliknya: pemerintah menganggarkan Rp72 miliar untuk mendanai pengguna media sosial atau influencer dalam paket insentif pariwisata guna menangkal efek negatif penyebaran virus Corona atau COVID-19.
Anggaran senilai Rp72 miliar ini diklaim dapat meningkatkan promosi pariwisata, sehingga lebih banyak orang mau bepergian ke destinasi di Indonesia.
“Kemudian ada untuk anggaran promosi Rp103 miliar dan juga untuk kegiatan turisme sebesar Rp25 miliar. Dan influencer sebanyak Rp72 miliar,” ucap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Negara, Selasa, 25 Februari.
Di saat bersamaan, tengah beredar kabar bahwa seorang suspect COVID-19, yang belakangan dikabarkan telah negatif Corona, dikabarkan meninggal di RS Kariadi, Semarang. Namun, otoritas membantah bahwa kematian itu karena terinfeksi COVID-19.
Simpang Siur Klaim Penelurusan oleh Pemerintah
Yang tak banyak diketahui orang, Menkes Terawan telah mengeluarkan Permenkes “Penetapan Infeksi Corona Virus sebagai Penyakit Dapat Menimbulkan Wabah dan Penanggulangannya” pada 4 Februari, hampir 30 hari sebelum kasus pertama diumumkan langsung Presiden Joko Widodo.
Seorang pejabat di Kemenkes mengatakan Permenkes itu sengaja dikeluarkan untuk mempermudah urusan mengevakusi 238 WNI di Wuhan dan evakuasi ABK Kapal Diamond di Jepang.
Dengan aktifnya permenkes tersebut, maka komando tentang penanggulangan virus COVID-19 ditumpu pada pemerintah pusat, termasuk pembiayaan, penyiapan fasilitas layanan, dan pelaksanaan koordinasi. Keluarnya permenkes itu mengingat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Hal serupa juga sempat terjadi ketika wabah SARS sampai ke Indonesia pada 2003. Wakil Presiden Hamzah Haz pada Kamis, 3 April, menyatakan SARS merupakan wabah penyakit yang harus ditanggulangi secara nasional. “Ini (SARS) tak bisa tidak harus kita tanggapi secara nasional. Sebab bagaimanapun juga kalau itu sampai terjadi, maka akan merupakan beban baru bagi kita semua,” kata Wapres.
Menkes Achmad Sujudi sendiri yang mengaktifkan UU itu usai mengikuti rapat koordinasi di Kantor Menko Kesra, April 2003. Menurut Menkes Sujudi, UU itu diperlukan karena di dalamnya ada unsur pemaksaan. Misalnya, pendatang yang baru turun dari pesawat harus mau diperiksa dan harus masuk ke rumah sakit tertentu.
“Orang tersebut tidak bisa menolak karena undang-undangnya sudah ada,” cetus Sujudi.
Dalam Pasal 1 undang-undang produk rezim Soeharto itu, wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan lazim, pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
UU tersebut menyebut Kemenkes punya kuasa untuk menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) atau daerah dalam wabah. Lengkap dengan syarat-syaratnya, misalnya jumlah kematian, jumlah penderita, dan angka penularan.
Novel Coronavirus (2019-nCoV) sendiri adalah jenis virus baru, satu keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS. Orang yang terinfeksi virus ini akan memiliki gejala demam, batuk, sesak napas dan kesulitan bernapas. Virus dapat menyebar dari manusia ke manusia lewat batuk, bersin, atau kontak dekat. Orang yang kebetulan berdekatan dengan objek yang tertempel virus juga bisa terinfeksi.
Dalam Pasal 5 upaya penanggulangan wabah meliputi: penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah; penyuluhan kepada masyarakat; upaya penanggulangan lainnya.
Penyelidikan epidemiologis dilakukan untuk mengenal sifat-sifat penyebabnya serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya wabah. Dengan penyelidikan tersebut, wabah dapat ditanggulangi dalam waktu secepatnya, sehingga meluasnya wabah dapat dicegah dan jumlah korban dapat ditekan serendah-rendahnya.
Pada 2 Maret, hari di mana Presiden Jokowi mengumumkan dua pasien pertama positif virus Covid-19, ia mengklaim bahwa pendeteksian dua pasien itu adalah hasil penelusuran pemerintah. “Tim dari Indonesia sendiri yang menelusuri,” ungkapnya.
Namun, menurut keterangan Pasien 1 sendiri lewat siaran pers, ia tahu bahwa dirinya mungkin terinfeksi Covid-19 karena ditelpon seorang warga Jepang, yang sempat berjumpa di sebuah bar di Kemang, Jakarta pada 14 Februari. WNI asal Depok itu masih didiagnosis Bronkitis pada 26 Februari di RS Mitra Keluarga Depok. Sehari kemudian, rekannya yang warga negara Jepang, menelponnya untuk mengabarkan kalau dirinya positif terinfeksi Covid-19 dan dirawat di sebuah RS Swasta di Malaysia.
Mereka ditransfer ke RS Sulianti Suroso pada 29 Februari, tanpa diberitahu bahwa hasil pemeriksaan spesimennya positif virus COVID-19.
Usai pengumuman oleh Presiden Jokowi, pasien ini lalu mengkonfrontir kepada dokter yang menanganinya. Barulah dokter memberi tahu bahwa pasien ke-1 dan ke-2 tersebut positif Corona.
Perbedaan pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: betulkah pemerintah, terutama Kemenkes telah aktif menyelenggarakan penelurusan?
Kegaduhan informasi itu konon jadi salah satu alasan Presiden Jokowi menunjuk satu juru bicara khusus untuk penanganan virus COVID-19. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Achmad Yurianto resmi ditunjuk pada Selasa, 3 Maret, sehari setelah Presiden mengumumkan pasien 1 dan pasien 2.
Yuri, Sang Jubir Penyelamat
Kabar tentang penunjukkan seorang jubir ini sudah muncul sehari sebelumnya. Seorang pejabat di Kemenkes bilang jubir ditunjuk agar keran informasi dari pemerintah lebih teratur, sebab sentimen negatif dari masyarakat muncul karena pernyataan Menkes Terawan, yang sempat membeberkan lokasi tinggal dua pasien kasus 1 dan 2.
Pada hari pertama pelantikannya jadi jubir COVID-19, Yuri—sapaan sehari-hari Achmad Yurianto—sempat menepis kabar tidak diberitahunya dua pasien kasus pertama itu, tentang diagnosis positif mereka.
“Soal [dua] pasien tidak tahu, kalau dia tidak tahu bahwa dia positif, tidak mungkin dia mau masuk ke ruang isolasi. Ada informed consent bahwa anda akan diperiksa ini, nanti kalau anda hasilnya begini positif, anda harus masuk ruang isolasi,” kata Yuri pada konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan, Kuningan, Jakarta Selatan.
Namun, sehari kemudian, Direktur RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril membawa permenkes yang dikeluarkan Menkes Terawan pada 4 Februari lalu, sebagai alasan tidak memberitahu pasien tentang status positifnya.
Menurut Syahril, karena status COVID-19 yang merupakan wabah, maka berlaku aturan soal siapa yang harus mengumumkannya pertama kali. Dalam hal ini ialah Presiden Jokowi. Bahkan, kata Syahril, pihaknya pun tidak berwenang mengumumkan itu ke pasien.
“Luar biasa kemarin presiden yang mengumumkan dan itu sudah ada undang-undangnya. Kami pun tidak memberi tahu ke pasien sebelum presiden mengumumkan,” kata Syahril di RSPI Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Rabu, 4 Maret.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Achmad Yurianto enggan berkomentar soal hal tersebut. Dia memilih menyerahkan penjelasannya pada Syahril.
Di hari pertama penunjukkannya sebagai jubir, Yuri juga sempat membantah kabar yang menyebutkan 238 WNI yang dipulangkan dari Wuhan, China tidak dites Covid-19 karena tidak adanya gejala dan biaya pemeriksaan yang mahal.
Sehari sebelumnya, sejumlah media mengutip artikel The Economist yang menulis demikian. Dikutip dari Suara, para WNI yang telah dievakuasi dari Wuhan menjalani karantina di Natuna selama dua pekan. Selama itu pula mereka tidak dites virus corona. Kementerian Kesehatan berdalih pengujian tidak dilakukan lantaran harga alat pengujian yang mahal. Untuk reagen ditaksir dengan harga kisaran Rp 1 miliar.
“Negara segini kok dibilang enggak punya duit. Nggaklah kalau masalah biaya,” kata Yuri.
Ia menjelaskan bahwa 238 WNI yang diobservasi dan dikarantina 14 hari di Natuna suah sesuai dengan standar global yang ditetapkan WHO. Mereka semua sama sekali tidak menunjukkan gejala atau indikasi yang menuntut pemeriksaan lanjut.
Saya mengonfirmasi hal ini pada MS, salah satu mahasiswa di Wuhan yang kini menetap di Malang, sepulangnya dari Natuna. “Kami itu yang dievakuasi pulang memang negatif dan tidak menunjukkan gejala terinfeksi Corona [virus COVID-19],” kata MS yang enggan disebut nama panjangnya. “Sudah dicek berkali-kali, sejak di bandara Wuhan, di Batam, dan di Natuna,” tambahnya.
Terkait pendanaan, pada Senin, 2 Maret kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang telah menyebut kemungkinan menambah anggaran Kemenkes untuk mengatasi virus Covid-19.
“Ini semuanya ranah Menteri Kesehatan, jadi bagaimana Bapak Menkes melakukan langkah-langkah untuk pertama mengidentifikasi, mendeteksi containment, atau mencegah penyebarannya. Itu semua akan kita dengar dari Pak Menkes nanti, soal anggaran yang dibutuhkan, anggaran tambahan, nanti kita lihat,” kata Sri Mulyani.
Hingga saat ini, Menkes Terawan masih belum menjawab pertanyaan Tirto tentang anggaran, yang terus naik seiring peningkatan jumlah pasien positif.
Saat saya tanya pada Yuri, ia bilang sejauh ini dana yang digunakan adalah dana siap pakai BNPB. Jumlahnya? “Berapa pun kita minta sesuai kebutuhan,” sahut Yuri lewat pesan singkat. Namun, ia enggan menjawab nominal.
Selepas ditunjuknya Yuri jadi jubir, informasi penelurusan suspek dan orang dalam pantauan menjadi lebih rapi. Tak sampai seminggu ia menjabat gelar itu, korban positif Covid-19 terus bertambah. Pada 6 Maret, Yuri mengumumkan dua orang lagi positif terjangkit Covid-19 dan dalam pengawasan pemerintah.
Angka itu didapat dari penelurusan kontak kasus 1. Yuri bilang kasus 3 dan 4 masih terkait dengan kasus 1. Kasus 1 terinfeksi Corona saat berada dalam sebuah acara yang dihadiri 80an orang, termasuk orang asing. Total 80 orang ini termasuk pegawai tempat acara berlangsung. Mereka kemudian diidentifikasi satu per satu oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kepolisian, juga BIN. Kemudian terdeteksi ada 20 orang yang berhubungan langsung dengan kasus 1.
Tepat seminggu pasca jadi jubir, Yuri naik pangkat, dilantik jadi Direktur Direktorat P2P pada pagi Senin, 9 Maret. Sorenya, masih dengan jas yang sama dengan jas saat ia dilantik, dan potongan rambut baru, Yuri mengumumkan temuan baru,
“Hari ini, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif sebanyak 19. Ini adalah penjumlahan dari awal: pasien nomor 1 sampai 6. Hari ini saya menyampaikan nomor 7 sampai dengan nomor 19.”
Penelurusan COVID-19, tampaknya masih berlanjut panjang.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Mawa Kresna