tirto.id - Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Ditjen P2P Kemkes) Achmad Yurianto boleh saja jadi juru bicara resmi pemerintah untuk penanganan Corona atau COVID-19. Jabatan tersebut membuatnya bisa dibilang menjadi garda terdepan komunikasi pemerintah ke masyarakat.
Namun sesungguhnya ada orang-orang yang punya tugas serupa, tapi tak pernah muncul atau dikutip media massa. Mereka juga garda depan komunikasi ke masyarakat, bahkan sifatnya langsung--tidak lewat perantara media massa. Mereka adalah operator hotline Kemkes khusus Corona.
Saya mendatangi markas mereka di Lantai 6 Gedung Suyudi, Kemkes, Jakarta Selatan, Jumat (6/3/2020) kemarin. Bahkan sebelum beberapa langkah memasuki ruangan, suara dering telepon terdengar tak berhenti bersahut-sahutan.
Jangan bayangkan ruangan ini penuh dengan bilik-bilik dan satu petugas menjaga satu telepon. Di sini hanya ada satu pesawat telepon dan satu ponsel, masing-masing bernomor 021-5210411 dan 081212123119. Ada tiga orang operator di ruangan tersebut. Dua fokus menjawab penelepon, sementara sisanya memasukkan data ke komputer.
"Kami pada dasarnya memang bukan call center," kata Kepala Sub Bidang Pemantauan dan Informasi Al Ghazali Samapta.
Karena keterbatasan itulah tak semua penelepon dilayani saat itu juga. Salah satu yang pernah merasakannya adalah jurnalis Najwa Shihab. Ia sempat menelepon call center, dan hasilnya tak mendapat jawaban apa pun.
Dua nomor itu sebenarnya adalah call center krisis kesehatan untuk kebencanaan. Nomornya disebar terbatas hanya untuk dinas kesehatan pemerintah daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Jumlah pegawainya hanya delapan orang yang seluruhnya berstatus honorer.
Seiring merebaknya virus Covid-19 di sejumlah negara, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memerintahkan instansinya membuat call center secepatnya dengan sumber daya yang ada. Sehari berselang, Selasa (28/1/2020), Kemkes langsung mengumumkan call center ini melalui akun Instagram.
Sadar atas keterbatasan itu, dua hari lalu (5/3/2020) Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengumumkan membuka call center Corona di 119. Pusat operatornya ada di Percetakan Negara, Jakarta Pusat.
Hal itu pun disambut gembira oleh para operator. "Begitu Pak Moeldoko umumkan membuka hotline 119, mereka [operator] langsung kasih tahu teman-temannya. Langsung buat status di WhatsApp," kelakar Ghazali.
Total tim ini sekarang terdiri dari 16 orang. Delapan orang tambahan itu adalah "bala bantuan" dari Sub Bidang Pemantauan dan Informasi Kemkes. Mereka bekerja dalam tiga sif yang masing-masing berdurasi 8 jam, pukul 08.00-16.00, 16.00-00.00, dan 00.00-08.00. Empat orang bertugas dalam satu sif. Mereka yang bekerja sif malam akan diliburkan untuk keesokan harinya.
Ghazali mengatakan sif ini sebetulnya "mengganggu kehidupan pribadi." Satu contoh, dia "sampai enggak bisa ambil rapot anak." "Tapi, kan," katanya, "ini namanya tugas."
Saat bicara dengan saya, salah seorang operator bernama Astika mengatakan sudah menjawab 33 panggilan. Jumlah itu, menurutnya, relatif sedikit jika dibanding hari-hari sebelumnya. Pada Senin lalu, saat Presiden Joko Widodo mengumumkan dua orang positif Corona, jumlah panggilan melonjak drastis sampai 196 per sif.
"Itu kita belum selesai telepon, sudah ada lagi telepon yang masuk. Baru mau jawab, udah ada lagi telepon yang masuk," kata Astika.
Pekerjaan baru itu sempat membuat Astika gelagapan. Maklum, ia bertugas di Sub Bidang Pemantauan dan Informasi selama empat tahun. Selama itu ia belum pernah menjadi operator call center, dan hanya dilatih satu jam sebelum menjalankan tugas ad hoc ini. Dia diajari bagaimana cara menjawab telepon, intonasi, dan sebagainya. "Kami diajarin, 'ini, ya, nanti dihafalin caranya. Nadanya kalau bicara enggak boleh turun,'" katanya.
Pelatihan kilat ini tentu saja membuatnya syok. "Kami speechless, kok kayaknya susah ya? Haha," kata Tika.
Para operator juga dibekali buku pedoman Covid-19 terbitan Kemkes yang tebalnya lebih dari 50 halaman. Beberapa bagian penting yang sering ditanyakan mereka highlight, bahkan ditempel di dinding. Seiring berjalan waktu, Tika dan kawan-kawan mulai lihai menjawab pertanyaan.
Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan yang masuk umumnya masih seputar informasi dasar penyakit ini, seperti gejala, potensi bahaya, dan langkah antisipasi. "Kalau yang sifatnya edukasi kami masih bisa untuk jelaskan," katanya.
Ada pula pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab, misal prosedur yang harus dilakukan terhadap orang yang pernah kontak langsung dengan pasien positif Corona. Biasanya ia akan meminta waktu untuk bertanya pada bagian surveilans dan epidemiologi atau ke bagian lain yang memahami hal itu. Jika sudah tahu jawabannya, ia akan menghubungi lagi si penanya itu dan mengulang apa yang dia dengar.
Kadang ada pula pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik. Misalnya, ada yang mengaku memiliki obat Corona dan meminta untuk bertemu menteri membicarakan hal tersebut.
Tika pun pernah mendapat telepon yang mengeluhkan kelangkaan masker dari seseorang di Banjarmasin. "Ada juga yang gini, 'Mbak, kalau mau beli masker di Kemkes, berapa?' Ya kita juga bingung ya."
Ada pula warga yang mengaku positif Corona, padahal belum pernah memeriksakan diri ke dokter. Selain itu, seorang penelepon pernah mencurigai tetangganya yang baru pulang umrah mengidap Corona, padahal belum ada pemeriksaan.
"Kan enggak boleh kayak gitu. Akhirnya saya arahin, 'Bu, kalau curiga dia Corona, lapor saja ke Dinas Kesehatan melalui 119, nanti diarahkan,' begitu."
Tika menyadari kebanyakan penelepon adalah warga yang panik atas kondisi diri dan keluarga mereka. Tika memahami betul perkara itu. Itu pula yang akhirnya membuat dia bertahan terus mengangkat telepon warga.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino